Advertorial

Tambang Freeport: Sebuah Ironi Perampasan Gunung Suci Milik Suku Amungme

Muflika Nur Fuaddah
Moh. Habib Asyhad
Muflika Nur Fuaddah
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com- Kontak pertama Bumi Papua dengan orang asing terjadi pada tahun 1912 selama Ekspedisi Eropa pertama.

Selanjutnya dalam Ekspedisi Cartensz, pada 1936, seorang ahli geologi Dozy menemukan gunung setinggi 3600 meter.

Dia memperkirakan bahwa gunung ini mungkin berisi endapan bijih tembaga terbesar yang pernah ditemukan.

Kemudian pada tahun 1954, suku Amungme dipanggil untuk pindah ke Akimuga, daerah di sepanjang pantai, oleh Franciscan Michael Cammerer dan Mozes Kilangin, ketua suku.

Baca Juga:Insiden Bendera Zohri: Meski Mirip, Ada Perbedaan Antara Bendera Indonesia, Monako, dan Polandia yang Dibalik, Lo!

Alasannya adalah pertumbuhan iman Katolik dan akses yang sulit untuk melayani masyarakat di wilayah suku Amunme.

Kemudian tanpa diketahui suku Amungme, pada April 1967, ternyata pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya eksplorasi konsentrat tembaga di Nemangkawi atau Grasberg, untuk 30 tahun (1967-1997).

Ini adalah penghinaan bahwa gunung-gunung mereka bersama dengan roh nenek moyang mereka sedang digali.

Upaya demontrasi pun sering dilakukan, namun setiap yang melawan akan dianggap sebagai separatis dan dikaitkan dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Baca Juga:Inilah Daftar Rezeki Nomplok yang Sudah Menanti Zohri Setelah Jadi Juara Dunia Lari

Banyak penangkapan dan beberapa orang harus meregang nyawa akibat konflik ini.

Bahkan suami Mama Yosepha, seorang demonstran, dibotaki dengan tangan dibungkus kain merah untuk dibunuh.

Sedangkan Mama Yosepha sendiri setidaknya 18 kali keluar masuk tahanan.

Perlawanan yang sia-sia seiring berjalannya waktu menimbulkan pencemaran serius.

Baca Juga:Memilih untuk Dirawat di Rumah, Bayi Berwajah Dua dari Batam Ini Kerap Alami Sesak Nafas

Freeport membuang sekitar 300.000 ton limbah beracun per hari di sungai Aijkwa yang mengalir melalui wilayah Amungme.

Tanaman tidak dapat dibudidayakan lagi karena banjir dan pihak berwenang Indonesia telah memerintahkan orang untuk tidak minum air.

Residu beracun dan sulfida terus menyusup ke ekosistem yang telah menjadi bom waktu ekologis.

Sejak awal tahun 1968, ribuan Amungme dan juga suku Kamoro yang miskin telah diusir paksa dari area penambangan.

Baca Juga:Freeport, Gunung Emas yang Rutin Dihujani Peluru-peluru Pencabut Nyawa

Amungme juga dilarang memasuki benteng-benteng Freeport seperti Tembagapura, Bandara Timika, dan daerah-daerah lain 'milik' perusahaan.

Militer yang didanai satu juta dolar juga melakukan operasi penutupan daerah dengan dalih takut akan serangan OPM.

Menurut ahli etnografi Amerika, Alice Gibbons, kedatangan Freeport mengakibatkan keserakahan yang tak terkendali di antara beberapa penduduk.

Alkoholisme pun mulai menjangkit disertai prostitusi dan penyakit kelamin.

Baca Juga:Di Balik Truk Raksasa Tambang Freeport, Ada Perempuan-perempuan Tangguh di Belakang Setir

Para pemimpin suku juga mengkonfirmasikan bahwa komunitas itu berantakan karena kehadiran Freeport.

"Karena tambang, bentuk pekerjaan tradisional kami telah lenyap. Banyak orang kami yang kecanduan alkohol. Standar hidup kita rendah dan pengangguran tinggi."

Baca Juga:OPM, Pemberontak 'Warisan' Belanda Yang Kerap Serang Freeport untuk 'Cari Perhatian'

Artikel Terkait