Intisari-Online.com - Tidak dapat diingkari bahwa identitas dalam sepakbola bukan hanya selalu dianggap ada, tetapi bahkan menjadi proyek agar dengan identitas itu kemenangan dapatlah dipastikan.
Katakanlah ketika Brasil merebut Piala Dunia untuk pertama kalinya pada 1958 di Swedia, seperti terungkap dalam 100 Years of Football: The FIFA Centennial Book (2004) yang digarap Pierre Lanfranchi, Christiane Eisenberg, Tony Mason, dan Alfred Wahl. Ternyata tidaklah benar bahwa mentang-mentang mereka seniman bola "alamiah", lantas tidak peduli kepada latihan dan pengetahuan dalam sepakbola.
(Ramai-ramai mengejek Brasil.)
Tak kurang dari jasa psikologi dimanfaatkan untuk menyiapkan mental para pemain, dalam suatu pusat pelatihan yang dipilih dengan cermat. Piala Dunia 1958 bagaikan suatu proyek nasional. Dalam pengamatan, terbukti bahwa ternyata kesebelasan Brasil pun peduli kepada pertahanan, memiliki kiper sehebat Gilmar, dua back tangguh Djalmar dan Nilton Santos, serta tak pernah kemasukan gol sampai semifinal.
Sebetulnya mereka menggunakan taktik 4-2-4 yang juga dipakai kesebelasan lain, tetapi adalah lima gol ke gawang Prancis di semifinal dan lima lagi ke gawang Swedia dalam final yang membuat para komentator bicara tentang sepakbola "orisinal". Mungkinkah?
Memang benar aksi individual Pele yang saat itu masih 17 tahun sangat mencengangkan. Ia menerima bola dengan paha yang langsung diteruskan ke belakang, melewati kepalanya sendiri, melewati back Swedia yang dipunggunginya, sebelum memutar ke belakang back itu untuk menendang bola yang tak sempat menyentuh tanah, langsung masuk ke gawang!
(Mengapa nama-nama pesepakbola Brasil diambil dari nama populernya?)
Tetapi sebagai sistem dan taktik sama saja - yakni pendekatan untuk menang. Dengan kegagalan dalam lima Piala Dunia sebelumnya, sebetulnya sudah lama Brasil kapok bermain cantik. Pada Piala Dunia 1978, pelatih Cloudio Coutinho bahkan mengandalkan sistem Cooper Test untuk meningkatkan daya tahan fisik.
Betapapun, percabangan gaya bermain sepakbola memang bermula dari Amerika Selatan. Iklim kompetisi di Inggris telah membuat penekanan pada kecepatan dan kekuatan tenaga dalam permainan, ketika sepakbola berkembang dari permainan individual menjadi kolektif, sejak 1880. Maka pada tahun '20-an, cara bermain Inggris menjadi acuan di mana-mana, meskipun di Inggris sendiri perubahan terus berlangsung.
Kejutan besar terjadi di Eropa ketika medali emas sepakbola Olympiade 1924 jatuh kepada Uruguay. Para komentator terkagum-kagum dengan virtuositas para pemain ini ketika menerima dan menggiring dalam keterampilan tertinggi, yang membuat mereka dapat mengoper ke posisi terbaik.
Dalam Olympiade 1928 final berlangsung antara Uruguay dan Argentina. Dalam Piala Dunia 1930, berlangsung adegan yang sama. Disebutkan keduanya sudah selalu berhadapan sejak 1902, sehingga menemukan gaya baru yang disebut Sepakbola River Plate.
(Inilah negara dengan pendukung terbanyak di Piala Dunia 2014.)
Lantas pada Piala Dunia 1938 giliran para pemain Brasil membuka mata dunia, melalui penyerang Leonidas dengan bicycle kick dan pemain bertahan elegan Domingos da Guia. Antropolog Brasil kenamaan, Gilberto Freye, menyebutkan bahwa Brasil telah mengubah permainan Inggris yang biasa menjadi "tari kejutan-kejutan irasional".
Sementara itu penyempalan dari gaya Inggris juga berlangsung di Eropa Tengah, dengan label Sekolah Donau (Danube School), oleh Austria, Hongaria, dan Cekoslovakia. Mereka semakin saling terikat ketika negara-negara sekutu tak sudi ikut bertanding setelah Perang Dunia I.
Pada 1927, dengan tambahan Yugoslavia, mereka berkompetisi sendiri. Sekolah Donau ini, dengan segala peningkatan keterampilannya, lebih taktis daripada permainan Inggris, dan ternyata dikembangkan oleh Jimmy Hogan, orang Inggris juga. Dengan mengalahkan Inggris maupun Italia menjelang Piala Dunia 1934, maka Hongaria dan blok Eropa Tengah muncul dalam peta sepakbola.
Tercatat bahwa gaya Eropa Tengah inilah, yang kuat, cepat, dan cerdik, dipadukan dengan gaya Inggris yang mengandalkan dimensi fisik, telah diolah pemerintah Fasis sebagai identitas baru Italia. Dengan generasi baru pemain-pemain asal Argentina yang bermain di Italia, teknik mengesankan dan operan-operan pendek digabungkan dengan keunggulan atas bola di udara, serta pertahanan yang solid, membuat Italia langsung menyodok sebagai juara berturut-turut Piala Dunia 1934 dan 1938.
Sampai di sini, terlihat peran besar negara dalam urusan sepakbola. Ada kepentingan ideologis untuk berbicara kepada dunia, bahwa sistem politiknyalah yang terbukti juara. Hubungan antara sepakbola dan politik itu mungkin ajaib, tetapi dalam kenyataannya menjadi proyek yang resmi.
Saat Partai Komunis mengambil alih pemerintahan Hongaria pada 1948, sepakbola tidak luput dari jaringan kekuasaan. Pendekatan "ilmiah" a la Lobanovsky memberikan Hongaria medali emas Olympiade 1952. Pada masa ini pula Inggris mereka sikat dua kali dengan 6-3 di Wembley dan 7-1 di Stadion Nep.