Advertorial
Intisari-Online.com – Kisah mistik dalam peradaban suku bangsa Pintubi, penduduk asli Australia yang dituangkan dalam Majalah Intisari edisi Februari 1978.
--
Sudah berabad-abad suku bangsa Pintubi berjuang mati-matian untuk kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu penduduk asli Australia ini masih hidup dengan hukum-hukum yang berlaku di zaman batu.
Mereka duduk sambil bernyanyi. Lagunya monoton dan membuat orang ngantuk. Badan-badan yang tanpa baju itu bergerak-gerak mengikuti irama nyanyian kuno. Ke depan dan kembali lagi. Seakan-akan mereka tidak berada di dunia ini lagi.
Baca juga: Puluhan Tahun Sering Susur Gua, Dokter Australia Ini pun Ikut Selamatkan Remaja Thailand
"Kini saya pergi ke alam mimpi", kata Tshaparoulla Nosepeg. "Saya pergi ke leluhur".
Nosepeg duduk di antara para pria, memejamkan mata dan berada di dalam keadaan "trance". Ia nampak bahagia dan berada jauh, entah di mana.
Mungkin besok ia sudah kembali, di dunia yang tidak disenangi di Australia ini. Atau boleh jadi baru lusa. Atau minggu yang akan datang.
Nosepeg termasuk sesepuh dari sekelompok suku bangsa Pintubi di benua ke lima. Baru pada tahun 1959 mereka diketemukan. Sekelompok yang terdiri dari 200 lelaki, wanita dan anak-anak yang sebelumnya belum pernah melihat seorang laki-laki kulit putih.
Musyawarah sesepuh itu adalah badan yang tertinggi pada orang-orang ini yang masih hidup di zaman batu. Musyawarah itu menentukan semua hal di dalam masyarakat yang kecil itu. Mengenai perang atau damai. Mengenai hidup atau mati. Keputusannya adalah yang terakhir dan tidak bisa dilawan.
Baca juga: Diduga dari Indonesia, Pantai Australia Ini Dipenuhi Bermacam Limbah
Maut mempunyai peran yang besar pada bangsa Pintubi. Katatschi, dapat dibandingkan dengan "woo-doo" di Afrika, upacara maut yang hanya masih dilakukan pada orang-orang Pintubi. Pengejaran yang keji dilakukan pada seseorang yang melanggar hukum.
Ia mengetahui bahwa maut itu menantinya, akan tetapi tidak berusaha melarikan diri. Sudah sejak berabad-abad upacara ini masuk dalam kehidupan orang Pintubi.
Hal yang tidak dapat diterangkan, sebagaimana kehidupan orang-orang ini tidak dapat dibandingkan dengan cara berpikir kita. Mereka mencari kekuatan hidup dari keadaan mistis yang tidak akan dimengerti orang lain.
Sudah berpuluh tahun pemerintahan Australia mencoba untuk menemukan sisa-sisa suku bangsa ini yang masih mengembara dan merupakan penduduk asli di benua ke lima, agar dikumpulkan di dekat misi-misi untuk diperadabkan.
Baca juga: Ini Bukti Bahwa Australia Pantas Disebut Sebagai Salah Satu Tempat Berbahaya di Dunia
Akan tetapi kelompok kecil yang terisolir ini baru sangat lambat diketemukan. Mungkin karena mereka hidup di sebuah daerah di mana semula disangka bahwa manusia tidak dapat hidup di sana.
Orang-orang zaman batu itu mengembara di Australia Tengah di dekat Laut Garam Amadeus. Padang gersang yang langka tumbuh-tumbuhan dan tidak berpenduduk. Hidup di sana sangat berat. Musim panas menyengat dan musim dingin mencekam.
Keadaan yang selalu kekurangan makan dan kekukurangan air menyebabkan kelompok kecil itu tidak pernah melebihi jumlah 200 orang.
Hidup mereka adalah alam. Alam yang kejam bagi mereka. Oleh karenanya suku bangsa Pintubi belajar menggairahkan kekuatan mistis mereka, mungkin lebih kuat dari pada bangsa-bangsa lain di Australia.
Mereka menghindari pertemuan dengan penduduk asli lain. Dan yang lainpun menghindari mereka. Alam pikiran Pintubi dan apa yang telah dijadikannya dari itu beraneka warna dan mengerikan.
Di dalam sejarah mereka, yang sudah setua umat manusia, mereka belum pernah menemukan sesuatu. Waktu diketemukan, mereka belum mengenal besi dan barang-barang terbuat dari tanah liatpun tidak dikenal mereka.
Tombak dengan ujung dari batu adalah senjata jarak jauh satu-satunya dan untuk perkelahian jarak dekat, digunakan kapak batu.
Akan tetapi mereka sudah pandai mengalahkan alam untuk meneruskan hidup. Tentu saja bangsa Pintubi makan segala. Binatang berkantong, Dingo, semut, walang hijau dimakan mentah-mentah. Pada masa "paceklik", tanahpun mereka makan.
Jika melihat binatang buronan di padang pasir, mereka menjadi pemburu ulung yang tidak dapat dikalahkan. Misalnya jika mereka memburu kanguru, diikutinya berhari-hari hingga binatang itu jatuh terkulai kehabisan kekuatan.
Mereka pandai menarik binatang dengan perangkap optik dan akustik. Mereka mengoles diri dengan sejenis lumpur agar binatang tidak dapat mencium jejak mereka. Dan dengan gelas pembesar yang terkuat sekalipun, mereka tidak dapat dilihat dari kejauhan jika laki-laki yang umumnya setinggi 1.67 m itu sedang mengintai binatang buronan.
Air bisa mereka cium dari jarak berkilometer. Orang Pintubi mengetahui di dalam akar mana mereka akan menemukan air. Dan mereka juga mengetahui kebiasaan-kebiasaan hidup seekor katak besar yang sebelum mata air mengering sudah meminum banyak sekali dan sesudah itu menutup diri di bawah tanah dan tidur untuk jangka waktu panjang. Orang Pintubi tahu caranya menemukan sumber hidup ini.
Memang perjuangan untuk hidup sangat berat. Segala sesuatu yang mereka kerjakan, di arahkan ke situ. Mungkin satu saja yang tidak, yakni "alam mimpi". Alam leluhur mereka, ke mana mereka pergi jika mereka inginkan.
Baca juga: Indomie Berusaha Mencetak Rekor Dunia di Australia, Apa yang akan Mereka Lakukan?
Untuk itu mereka mengunyah Mingulpa, buah pohon Pitschuri yang merupakan obat perangsang. Mereka menyanyikan lagu kuno, yang maknanya dan perkataannya tidak dikenal. Mereka jatuh dalam keadaan "trance" dan bermimpi. Hanya badan mereka yang masih berada di dalam dunia yang kejam.
Para cendekiawah telah menyelidiki "pelarian diri" ke "alam mimpi" ini. Dan mereka menemukan hal-hal yang aneh.
Sesudah kembali ke alam yang nyata, mereka dapat melukiskan keadaan alam di mana mereka mengembara, yakni hijau, subur dan sangat-nyaman seperti berribu tahun yang lampau.
Alam waktu itu masih datar. Gunung-gunung padang pasir itu "baru terjadi beberapa ribu tahun yang lampau."
Baca juga: Walah, Gara-gara Bau Durian Ratusan Orang di Australia Dievakuasi Sampai Panggil Pemadam Kebakaran
Cendekiawan-cendekiawan lain memberitakan, bahwa ada Pintubi yang pergi ke "alam mimpi" untuk meminta badai dan hujan pada leluhur. Dan memang turun hujan dan datang badai. Betapa mungkin belum dapat diterangkan.
Akan tetapi kini hanya yang tua-tua saja yang mengenal "alam mimpi". Sesudah peradaban, datanglah penjauhan dari alam mistik dan alam yang masih murni. Mungkin hanya beberapa dasawarsa, mungkin hanya satu generasi lagi sampai para Pintubi sudah lupa akan apa yang tadinya merupakan dunia mereka.
Sebab yang muda-muda menganggap bahwa tempat yang terbaik adalah di depan gelas minuman keras.
Alkohol menemui korban-korban yang tidak melawan. Dalam beberapa tahun saja, anak-anak padang gersang tadi telah bertukar kehidupan. Apa yang menjadi kebudayaan mereka dan yang mereka hargai diganti dengan kehidupan yang tidak menentu di samping masyarakat beradab.
Perjuangan untuk kelanjutan hidup kini tidak usah dilakukan lagi. Mereka mendapat pakaian, makan dan uang dari pemerintah.
Mereka hidup tanpa tujuan. Manusia-manusia zaman batu yang terlampau lekas dipindahkan ke zaman atom. Yang tua-tua dengan sia-sia ingin mempertahankan identitas, rituil-rituil yang mistis dan semua yang mereka percaya serta alam dan kekuatannya yang misterius.
Kadang-kadang mereka masih berhasil melakukan hukum-hukum suku bangsa. Sebab Katatschi masih ada. Kataschi itu berarti maut bagi orang yang melanggar hukum kemasyarakatan kelompok. Dan Kataschi itu sama misteriusnya dengan "pelarian" dari dunia yang nyata ke dunia mimpi.
Apakah akan dilaksanakan hukuman mati atau tidak, itu diputuskan oleh musyawarah sesepuh sebagaimana juga terjadi pada semua hal yang dianggap penting. Sebab-sebab untuk hukuman demikian adalah mungkin melarikan seorang wanita, pembunuhan di dalam kelompok sendiri, pencurian milik bersama.
Waktu hukuman dijatuhkan, seorang dari musyawarah sesepuh menunjuk ke arah korban. Tidak perduli di mana ia berada, mungkin 100 meter, mungkin 100 kilometer dari situ, korban akan merasa musibah datang. Meskipun demikian, ia tidak akan mencoba untuk melarikan diri.
Dari hari ke hari yang dihukum menjadi pendiam. Seakan-akan ia sedang mempersiapkan diri bagi maut. Anak-anak menertawakannya jika ia berjalan acuh tak acuh lewat desa. Matanya memandang ke kejauhan dan gerakan menjadi kaku.
Kemudian pada suatu hari ia meninggalkan desa. Tidak seorangpun yang berbicara dengannya sesudah ia dijatuhi hukuman. Ia pergi ke hutan seorang diri.
Ia berhari-hari duduk sendiri di padang rumput, ia berbicara sendiri. Ia tidak makan dan minum lagi. Ia tidak ada hubungan lagi dengan hidup ini. Ia percaya bahwa ia akhirnya akan pergi ke "alam mimpi" untuk selama-lamanya.
Baca juga: Fenomena Aneh Apa Ini? Ratusan Paus Terdampar di Pesisir Pantai Australia, Separuhnya Tewas
Ia tidak takut lagi menghadapi maut. Tidak seorangpun mengetahui kapan hukuman dilaksanakan. Korban tidak mengetahuinya dan para algojo juga tidak. Mungkin hanya beberapa hari dan mungkin beberapa minggu, sampai musyawarah sesepuh memberikan isyarat.
Lalu Upacara maut dimulai. Dua anggauta suku bangsa dari generasi yang berlainan dipilih untuk membunuh yang telah dihukum. Dari tungku api si korban yang sementara itu telah diisolir, mereka mengambil abu, mencampurkannya dengan darahnya sendiri dan mengoleskan campuran ini di badan.
Bulu perut burung elang atau angsa hitam yang ditaruh para pembunuh itu di badan, merupakan simbol-simbol yang lain pertanda maut.
Mereka mendekat perlahan-lahan pada korban, seperti kucing dan menurut cara yang telah ditentukan. Korban tinggal diam dan menunggu maut. Mautpun datang dengan segera.
Baca juga: Empat Orang Meninggal ‘Gara-gara’ Rock Melon, Kemtan Hentikan Impor dari Australia
Menurut adat ada tiga cara bagi para pembunuh untuk melakukan hukuman yang dijatuhkan para musyawarah sesepuh: dengan tombak, dengan dicekek, atau dipukul dengan kapak batu.
Jika hukuman telah dijalankan, maka tiada seorangpun yang berbicara tentang yang telah meninggal. la sudah dilupakan. Untuk selama-lamanya. Tidak lama lagi maka kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para penduduk asli akan dilupakan. Begitu pula Katatschi. Dan "melarikan diri" ke alam mimpi.
Di samping alkohol, maka para muda yang diberikan semuanya yang diperlukan untuk hidup oleh Pemerintah, mempunyai hobi yang lain, yakni bioskop. Mereka dengan tidak bosan-bosannya menonton film-film cowboy dan mereka meminum sampai mabuk. Mereka tidak mempunyai masa depan.
Suku bangsa Pintubi itu Eropida, yang beribu tahun yang lampau datang dari India ke Australia, waktu pada zaman karbon benua ke lima itu satu dengan India, Amerika Selatan dan Afrika Selatan. Dalam zaman Kapur, Australia dipisahkan dari lain-lain daerah.
Baca juga: Miris! Tak Hanya Indonesia, Budaya Perpeloncoan Juga Tumbuh di Australia
Dan dengan demikian maka di benua ini terbentuk cara hidup yang masih dianut oleh manusia dan binatang hingga waktu ini. Oleh karena orang Pintubi itu Eropida, maka cendekiawanlah yang memperhatikan mereka: antropolog, ehtnolog dan ahli-ahli bahasa. Lain dari pada mereka, tidak ada lagi.
Salah seorang Pintubi muda, yang berpakaian jeans yang compang-camping dan kemeja katun yang kotor pergi dari bioskop ke bar yang terdekat, menceriterakan apa yang dilihat dalam film cowboy yang baru selesai dilihat.
"Saya juga ingin menjadi cowboy semacam itu", katanya, "Akan tetapi saya tidak mau menjadi orang Indian. Sebab mereka itu selalu kalah".
la tidak mengetahui bahwa ia dan suku bangsanya sudah lama kalah dalam dunia ini. (Quick)
Baca juga: Bunuh Buaya Raksasa yang Hidup Sejak Perang Dunia I, Pria Australia Ini Didenda Rp100 Juta