Intisari-Online.com -Pengebomam Pearl Harbour atau Serangan Pearl Harbour oleh Angkatan Laut Jepang akan selalu diingat oleh Angkata Laut Amerika Serikat, termasuk oleh Jim Downing.Tak dimungkiri, serangan inilah yang menjadi pemicu keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II secara langsung. Dan, kini kita bisa menikmati pemboman Pearl Harbour melalui virtual reality berdasarkan cerita Downing.
Downing masih 28 tahun ketika ia masuk Angkatan Laut Amerika Serikat. Suatu ketika ia pernah berkelakar bahwa USS West Virginia merupakan rumah multi-dolar-nya. Dari sana ia dibayar oleh Paman Sam.
Baca juga:Kumpulan Bukti tentang Pertempuran Perang Dunia Kedua dalam Foto-foto
Tapi pagi 7 Desember 1941 itu ia sedang tidak berada di kapal itu, sehingga ia selamat dari pemboman menumental itu.
“Ketika pemboman oleh Jepang itu selesai, saya melihat jam. Waktu itu sekitar lima menit menjelang 12.00. Saya tidak berpikir bahwa banyak waktu telah berlalu,” ujar Downing, yang sekarang tinggal di Colorado dan sudah berusia 103 tahun, kepada TIME dalam sebuah wawancara terbaru. “Jika Anda bertanya pada saya berapa jarak sejak pemboman itu, saya akan menjawabnya 30 menit. Tapi sebenarnya tiga jam. Semuanya berlangsung begitu cepat.”
Downing dikenal sebagai veteran perang tertua kedua di Amerika Serikat. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya merenungkan apa yang ia pelajari sebagai saksi salah satu peristiwa sejarah paling monumental—sejak 75 tahun yang lalu.
Kini, dari kisah hidupnya itu, kita kita bisa menikmati pemboman Pearl Harbour melalui virtual reality, melalui LIFE VR dan Deluxe VR yang bekerjasama dengan HTC dan AMD. Semuanya berdasarkan wawancara dengan Downing, tapi pengguna diberi kesempatan untuk menilainya dengan pandangannya sendiri.
Serangan Pearl Harbour punya makna penting bagi Downing. Tak sekadar serangan dan respon militer, lebih dari itu, pemboman Pearl Harbour membuatnya harus berhubungan dengan keluarga-keluarga korban yang tewas dalam serangan itu. Ini soal kemanusiaan.
“Saya mendapat banyak surat dari para orangtua yang berterimakasih karena telah menghubungkan mereka dengan anak-anak mereka,” ujar kakek yang sedang terlibat dalam proyek buku yang terinspirasi dari kisahnya itu. “Sekarang saya tidak berpikir soal sejarah. Saya tidak menyimpan surat-surat—mungkin ada satu-dua. Tapi saya hanya mencoba melalukan sesuatu yang berguna pascakejadian itu.”