Intisari-Online.com - Gempa bumi, seperti halnya gempa Aceh yang terjadi Rabu (7/12/2016), diyakini sudah terjadi sejak era-era awal Bumi tercipta. Sejak dahulu kala pula manusia mencoba mencari penjelasan ilmiah tentang fenomena alam yang kadang memakan korban jiwa tersebut.
(Baca juga: Gempa Aceh: Agar Gedung Jangkung Siap Digoyang Gempa)
Tercatat, sejak zaman Yunani Kuno manusia sudah berusaha untuk lebih mengenal apa dan bagaimana gempa bumi terjadi. Filsuf Yunani Aristoteles misalnya, mencoba menjelaskan secara rasional tentang gempa bumi. Dia percaya bahwa guncangan gempa bumi terjadi karena adanya hembusan angin kencang yang masuk ke dalam Bumi melewati gua-gua dan retakan-retakan. Tekanan angin itu menyebabkan Bumi berguncang.
Sementara itu, dalam kepercayaan India kuno, Bumi disebut-sebut berada di atas punggung kura-kura yang diam. Gempa bumi akan terjadi jika kura-kura itu bergerak.
John Michel, seorang profesor geologi di Universitas Cambridge mengamati gempa bumi hebat di Lisbon yang terjadi pada 1755. Dalam bukunya yang ditulis pada 1760, dia menyimpulkan bahwa gempa bumi Lisbon itu disebabkan oleh bergesernya batuan yang berada beberapa kilometer di bawah permukaan Bumi.
Tahun 1793, Benjamin Franklin, salah satu ilmuwan terkemuka saat itu, berusaha menjelaskan mekanisme pergeseran massa batuan di bawah permukaan Bumi dengan mengatakan:
"Saya .... membayangkan bahwa di dalam Bumi ada bagian yang menyerupai fluida dan memiliki kepadatan lebih tinggi daripada bagian keras yang kita kenal di permukaan. Bagian keras dari Bumi mungkin mengapung di dalam atau di atas fluida itu. Dengan demikian, permukaan Bumi ibarat lapisan kulit yang bisa pecah dan terganggu akibat pergerakan-pergerakan fluida yang ada di bawahnya."
Perlu satu abad
Namun perlu waktu lebih dari satu abad sebelum para ilmuwan menemukan bukti meyakinkan tentang hubungan antara massa batuan yang bergeser dan kejadian gempa bumi.
(Baca juga: Gempa Aceh: Apa yang Harus Dilakukan saat Terjadi Gempa?)
Pada 1891, sebuah guncangan kuat yang kemudian dikenal sebagai gempa bumi Mino-Owari terjadi di Pulau Honshu, Jepang. Gempa bumi ini menyisakan sebuah zona hancuran memanjang memotong Pulau Honshu. Zona ini ditandai oleh retakan-retakan di permukaan Bumi, dari Laut Jepang di utara hingga Samudera Pasifik di selatan.
Di beberapa tempat terbentuk tebing-tebing setinggi beberapa meter akibat terangkatnya permukaan Bumi yang patah. Dari bukti-bukti itu, Bunjiro Koto menyimpulkan, guncangan gempa bumi disebabkan oleh pecahnya bagian kerak bumi.
Pada awal abad ke-20, dengan mempelajari waktu penjalaran gelombang gempa bumi, para ilmuwan menyimpulkan bahwa di dalam Bumi terdapat bagian yang bersifat padat, ada berwujud lelehan di bagian tengahnya yang dikelilingi oleh bagian yang kurang padat yang disebut mantel. Di atas mantel ini terdapat lapisan kerak tipis berbatu, menyerupai kulit.
Di bawah benua, lapisan kerak itu tebalnya bisa beberapa kilometer, sementara di bawah samudera jauh lebih tipis. Jadi mirip buah apel. Jika apel dibelah, di dalamnya terlihat lingkaran inti berukuran kecil yang terisi biji apel.
Di atas inti itu terdapat mantel berupa daging apel tebal. Di atas mantel terdapat kulit apel yang sangat tipis. Namun perlu kita ingat, proporsi inti, mantel, dan kerak bumi berbeda dari proporsi inti, daging buah, dan kulit apel.
Pada 1960-an, para ahli geologi mulai memahami bahwa permukaan bumi terbagi menjadi lempengan-lempengan yang getas. Ada yang berukuran besar dan ada yang berukuran kecil. Lempengan-lempengan itu bergerak sangat lambat di atas sebuah lapisan plastis mantel bumi. Kecepatan pergerakannya tidak lebih cepat daripada kecepatan pertumbuhan kuku manusia.
(Baca juga: Gempa Aceh: Mengukur Kekuatan Gempa)
Namun pergerakan inilah yang bertanggung jawab terhadap sebagian besar kejadian gempa bumi. Sebagian gempa bumi yang lain disebabkan oleh aktivitas gunung api. Inilah yang kita kenal sebagai teori tektonik lempeng. Teori ini memicu revolusi dalam ilmu geologi karena berbagai fenomena geologi dapat dijelaskan dengan teori ini.
Lempeng-lempeng tektonik tersusun oleh material batuan yang keras yang menyusun kerak bumi di bagian atasnya, dan bagian bawahnya adalah lapisan tipis yang merupakan bagian paling atas dari mantel bumi. Inilah yang biasa disebut lapisan litosfera (dalam bahasa Yunani lithos berarti batu).
Bagian plastis di bawah litosfera yang merupakan bagian dari mantel bumi disebut lapisan astenosfera (dalam bahasa Yunani, asthenos berarti lemah). Gerakan lempeng-lempeng tektonik diduga disebabkan oleh adanya arus konveksi di dalam lapisan mantel bumi. Arus konveksi ini diduga terbentuk akibat adanya pemanasan yang bersumber dari inti bumi.
Bayangkan air yang dipanaskan dalam teko di atas kompor. Air di bagian bawah teko akan lebih panas sehingga berat jenisnya berkurang. Air ini akan mengalir naik. Sementara air di permukaan yang lebih dingin memiliki berat jenis lebih besar, akan turun.
Karena pemanasan berlangsung terus, bagian air di bagian bawah akan selalu memiliki berat jenis lebih kecil dari air di bagian atas. Dengan demikian terjadilah aliran air yang disebut aliran konveksi. Hal demikianlah yang diduga terjadi di dalam Bumi, meskipun dalam kecepatan aliran yang jauh lebih lambat.
(Baca juga: Gempa Aceh: Antisipasi Gempa Susulan Selamatkan Banyak Jiwa)
Lempeng-lempeng tektonik itu bisa jadi saling bertabrakan, saling menjauh atau bergesekan. Batas-batas lempeng yang menunjukkan gerakan saling menjauh terdapat di sepanjang punggungan-punggungan samudera (terletak di bawah samudera).
Di sini, lelehan magma keluar dari astenosfera ke permukaan bumi melalui retakan-retakan, membentuk kerak bumi baru yang disebut kerak samudera. Kerak samudera ini lebih padat sehingga lebih berat daripada kerak benua.
Ketika lempeng samudera bertabrakan dengan lempeng benua, lempeng samudera yang lebih berat akan menunjam dan menyelusup di bawah lempeng benua. Inilah yang biasa disebut sebagai proses subduksi. Proses inilah yang terjadi di wilayah Indonesia.
Di bagian barat Indonesia, lempeng Samudera Indo-Australia menunjam di bawah lempeng Samudera Eurasia. Di bagian timur Indonesia, lempeng Samudera Pasifik menunjam di bawah lempeng Benua Eurasia. Subduksi ini mengakibatkan rantai gunung berapi memanjang dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, kemudian berbelok ke utara ke Maluku dan berlanjut ke Sulawesi. Subduksi ini pula yang menyebabkan gempa bumi sering terjadi di Indonesia.
Ketika dua lempeng benua yang memiliki berat jenis sama saling bertabrakan, maka kedua lempeng akan terangkat sehingga membentuk pegunungan tinggi seperti Pegunungan Himalaya.
Himalaya terbentuk akibat tabrakan lempeng Benua India dengan Lempeng Benua Eurasia. Tabrakan dua lempeng benua ini juga menyebabkan gempa bumi sering terjadi di batas kedua lempeng itu.
Di California, Amerika Serikat, Lempeng Samudera Pasifik bergesekan dengan Lempeng Benua Amerika Utara. Kedua lempeng bergerak ke arah barat namun dengan kecepatan berbeda. Lempeng Pasifik bergerak lebih cepat daripada Lempeng Amerika Utara. Akibatnya, terjadilah gesekan yang juga sering menimbulkan gempa bumi.
Namun, bukan hanya di batas-batas lempeng saja gempa bumi sering terjadi. Kekuatan yang mampu membentuk lempeng-lempeng baru dan menggerakkan lempeng-lempeng juga sekaligus mampu merobek suatu lempeng menjadi dua bagian.
Inilah yang terjadi di pinggir timur Afrika. Di sini, Lempeng Arab terpecah dari Lempeng Afrika sehingga terbentuklah Laut Merah. Akibatnya, gempa bumi juga sering terjadi di daerah ini.
Gempa bumi disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba ketika selip terjadi di retakan di kerak bumi. Energi itu terkumpul akibat tekanan oleh pergerakan tektonik. Tekanan ini menyebabkan tegangan di kerak bumi.
Ketika tegangan itu sudah melewati batas elastisitas kerak, maka kerak akan patah sehingga terlepaslah energi itu. Tempat kerak yang terpatahkan di mana gempa bumi berasal itulah yang disebut hypocenter. Titik proyeksi hypocenter ke permukaan bumi disebut epicenter.
Gelombang energi gempa bumi yang dilepaskan akibat kerak yang patah akan merambat melalui kerak dengan dua mekanisme yaitu Gelombang P (Push-Pull � tarik dan ulur) dan Gelombang S (Shear � Geser).
Gerakan gelombang P menyebabkan kerak bumi bergerak berulang memanjang dan memendek searah dengan arah gerakan gelombangnya. Sementara gerakan Gelombang S menyebabkan kerak bumi bergerak bergeser ke kiri dan ke kanan tegak lurus terhadap arah gerakan gelombangnya.
Gelombang P dan S masing-masing memiliki kecepatan 5 dan 3 km/detik. Itulah sebabnya Gelombang P sampai ke seismograf lebih cepat dari Gelombang S, sehingga Gelombang P sering disebut sebagai gelombang primer dan gelombang S disebut sebagai gelombang sekunder.
Ketika mencapai permukaan bumi, gelombang gempa bumi merambat dalam dua jenis pergerakan yang disebut sebagai Gelombang Rayleigh dan Gelombang Love. Rayleigh adalah nama seorang ahli fisika Inggris (Baron Rayleigh), Loves adalah nama seorang ahli matematika Inggris (A.H. Love).
Gelombang Rayleigh menyebabkan permukaan bumi bergerak naik dan turun. Gelombang Love menyebabkan permukaan bumi bergerak ke samping kiri dan kanan. Kedua gelombang ini memiliki frekuensi yang lebih rendah daripada Gelombang P dan S, namun memiliki amplitudo yang lebih besar. Kedua gelombang inilah yang bertanggung jawab terhadap segala kerusakan ketika gempa bumi terjadi.
(Eko Yulianto)