Advertorial
Intisari-Online.com – Berpuasa Ramadan serta merayakan Idul Fitri di sebuah negeri sekuler, sungguh sebuah pengalaman tak terlupakan. Hati ini sempat tergetar.
Menjalani kehidupan sebagai pelajar sebuah sekolah aeronetika di Prancis mengharuskan saya melewati dua kali bulan Ramadan dan Idul Fitri. Bagi saya yang baru pertama kali merasakan berpuasa di negara di mana muslim menjadi minoritas, ada sedikit kekhawatiran pada awalnya.
Khawatir teman kuliah dan rekan kerja bersikap sinis, sulit membeli bahan makanan halal, hingga pikiran bahwa tidak ada tempat untuk beribadah bersama.
Pikiran negatif itu langsung hilang begitu saya tiba, karena ternyata umumnya masyarakat asli Prancis cukup terbuka terhadap pendatang dan kaum muslim.
Lebih mengejutkan lagi, wajah muslim cukup banyak terlihat, dengan pemandangan orang berkopiah, baju panjang, dan wanita berjilbab. Boleh dikata, Islam menjadi agama kedua yang paling banyak pemeluknya di Prancis, atau nomor tiga jika ateisme dihitung sebagai “agama”.
Baca juga: Tetap Bugar Meskipun Punya Jadwal yang Padat Menjelang Lebaran, Tips Ini Bisa Kamu Coba Lho
Banyaknya jumlah populasi muslim merupakan hasil migrasi besar-besaran dari negara bekas jajahan Prancis di daerah Maghreb (Tunisia, Aljazair, dan Maroko) dan Afrika Barat (Nigeria, Mali, Senegal, dll) selepas Perang Dunia II untuk membangun kembali Prancis yang porak poranda.
Beberapa tahun terakhir ditambah dengan masuknya pekerja pendatang dari negara muslim lain seperti India, Pakistan, dan Turki. Tak lupa para pelajar, mengingat Toulouse adalah kota pelajar terbanyak ketiga di Prancis. Kombinasi semua ini menjadikan Toulouse sebagai kota multietnik sesungguhnya.
Lapar sifatnya universal
Berpuasa di Eropa tahun itu (2012) sangat berat dan penuh cobaan. Ramadan berlangsung di puncak musim panas, saat terjadi canicule (serangan hawa panas). Udara panas yang bergerak dari Gurun Sahara di Afrika ke arah Eropa, membuat temperatur naik mencapai 41°C.
Cobaan kedua soal lamanya waktu berpuasa, 17 jam, dari imsak pukul 04.30 hingga magrib pukul 21.30. Yang tak kalah berat adalah cobaan ketiga, yakni godaan mata. Sebab udara panas juga membuat kaum hawa mengganti kostumnya dengan yang lebih tipis dan minim.
Memang tidak seperti di Tanah Air, di sini suasana Ramadan tak terasa sama sekali. Namun jika ingin melepas kerinduan suasana berbuka puasa, tarawih, dan ngabuburit, cukup datang ke komunitas keturunan imigran muslim dari Maghreb.
Baca juga: Lebaran, Pesta Kecil yang Jadi Besar
Mendekati magrib, orang berkumpul di sekitar restoran-restoran muslim yang biasanya juga membuka lapak untuk menjual kue-kue manis dan teh maroko sebagai menu berbuka.
Di sana juga ada masjid, yang pada saat salat jumat, jamaahnya luber sampai ke tempat parkir. Saat tarawih pun masjid sangat ramai sepanjang bulan, bahkan sampai hari terakhir menjelang Idul Fitri.
Sayup-sayup juga terdengar suara rekaman pembacaan ayat-ayat Alquran dari rumah atau apartemen.
Yang menarik, di sana juga ada boucherie (toko daging) halal atau restoran kebab halal. Kebab jadi andalan para pelajar, termasuk yang non-muslim sekali pun, untuk menghalau lapar dengan harga ekonomis.
Karena cukup dengan 5 Euro kita sudah bisa makan dan minum hingga kekenyangan karena porsinya yang besar. Bandingkan dengan restoran biasa yang umumnya 15 Euro.
Baca juga: Setahun yang Lalu, Inilah Keceriaan Warga Palestina Saat Merayakan Lebaran di Yerussalem
Menjelang akhir Ramadan, saya menyempatkan berbuka di masjid Ennour di daerah Empalot, kompleks apartemen menengah bawah untuk ukuran Prancis. Masjidnya sederhana, tapi cukup besar dan bisa menampung ratusan jamaah.
Begitu selesai azan magrib, petugas masjid membagikan kurma kepada jamaah, sementara di meja tampak tersedia teh dan jus buah.
Salat magrib dilakukan di teras, karena di dalam sudah disiapkan barisan makanan untuk berbuka. Usai salat, baru saja selesai salam, orang-orang di kiri kanan saya langsung berdiri dan merangsek masuk masjid. Wah, ternyata orang lapar di mana saja sama sifatnya, berebut tempat untuk makan.
Akhirnya saya juga dapat tempat. Di kanan orang Afrika barat yang hitam legam, di depan orang arab Maghreb-Prancis, serta di kiri orang Pakistan. Kami berempat makan sayuran dan seekor ayam dari wadah yang sama.
Masing-masing juga mendapat semangkuk sup ikan, roti sebesar piring, jus buah, dan sebuah pir. Hmm, cukup lengkap menunya.
Baca juga:Tak Hanya di Indonesia, di Malaysia Mudik Lebaran juga Tak kalah Heboh
Saya amati sebagian besar jamaah yang ikut makan berasal dari kalangan tak mampu, mulai dari pekerja kasar hingga gelandangan.
Hingga saya sempat berpikir: apakah berhak ikut makan atau tidak? Tapi karena status saya pelajar dan juga musafir, ditambah perut yang lapar, cukuplah pembenarannya, hingga akhirnya semuanya ludestak tersisa.
Kegiatan malam Ramadan dilanjutkan dengan salat isya dan tarawih yang berakhir pada pukul 01.00, atau tiga jam sebelum imsak. Walau lelah dan mengantuk, ada perasaan nyaman berada di sekitar saudara-saudara muslim dari segala suku bangsa, beribadah dan menjalani Ramadan bersama. Sedikit penghibur hati jauh dari Tanah Air dan dari keluarga.
Makanan pengobat rindu
Menjelang lebaran, malam takbiran kami habiskan dengan berbuka puasa bersama Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Toulouse. Teman-teman pelajar ini sudah menjadi seperti keluarga dan saudara sendiri.
Dalam momen-momen seperti inilah kami bisa merasakan masakan Indonesia yang dimasak seadanya, sambil menunggu pengumuman jatuhnya Idul Fitri.
Baca juga: Mudik Lebaran di Solo? Jangan Lupa Mampir ke Sate Kere Yu Rebi yang Dibacem Tiga Kali
Penentuan Idul Fitri di Prancis dilakukan oleh Grande Mosquée de Paris (Mesjid Raya Kota Paris) dan diumumkan setelah pengamatan hilal. Walau Grande Mosquée de Paris wilayah yurisdiksinya hanya Paris dan sekitarnya, namun fatwa-fatwanya menjadi pedoman bagi warga muslim di seluruh Prancis.
Alhamdulillah Lebaran tahun itu jatuh pada hari Minggu, sehingga pelajar Indonesia dapat berencana untuk melakukan salat Ied bersama di Masjid Ennour. Dari sekitar lima masjid besar di Toulouse, masjid inilah yang terdekat lokasinya.
Senang sekali saya dapat merasakan lebaran, karena tahun sebelumnya absen, lantaran ada kegiatan kampus untuk mengunjungi fasilitas perakitan akhir pesawat superjumbo Airbus A380.
Pagi itu kami janjian untuk berangkat bersama dari stasiun Metro (kereta bawah tanah) Faculté de Pharmacie tak jauh dari asrama kampus. Subhanallah, suasananya ramai sekali dengan orang-orang berjubah dan berjilbab, dari berbagai bangsa dengan berbagai warna
kulit. Masing-masing menggunakan pakaian khas negaranya. Kami pun bangga menggunakan baju koko atau batik lengkap dengan peci. Praktis Metro pagi ini penuh terisi oleh kaum muslim yang hendak salat Ied.
Baca juga: Perayaan Lebaran Zaman Jadul di Kediri
Begitu kami sampai di masjid, jamaah sudah luber sampai ke jalan dan memenuhi tempat parkir. Jamaah mengundangkan takbir dan tahmid sehingga bergema sampai jauh. Tak terbayangkan sebelumnya hal ini bisa terjadi di sebuah negara sekuler di Eropa.
Walau alunan takbir dan tahmid terdengar berbeda dan datar, namun hati tetap bergetar. Terasa sekali rahmat Tuhan yang begitu besar sehingga manusia berbagai bangsa ini bersatu mengumandangkan kebesaran-Nya.
Sepulang dari masjid, kami berangkat menuju rumah salah satu keluarga Indonesia-Prancis untuk halal bihalal dan silaturahim. Acara ini diselenggarakan setiap tahun oleh Association Les Amis de l’Indonésie (AAI) atau Asosiasi Sahabat Indonesia.
AAI terbentuk oleh warga Indonesia yang menikah dengan warga Prancis dan tinggal di sana, khususnya di daerah Toulouse dan sekitarnya. Mereka aktif mengadakan acara budaya setiap tahun untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak tidak mampu di negeri asal.
Baca juga: Di Balik Keceriaan Anda Menikmati Libur Berlebaran, Ada para Pahlawan yang Sering Terlupakan
Acara halal bihalal berlangsung santai dan penuh kekeluargaan. Tentu yang jadi rebutan adalah berbagai masakan Indonesia yang dimasak ibu-ibu AAI, mulai dari ketupat, opor, rendang, gado-gado, pempek, tempe mendoan hingga kerupuk. Semua tandas dalam hitungan menit saja.
Dalam acara itu berbaur para pelajar dengan warga Indonesia di Prancis beserta keluarganya. Lucu sekali melihat anak-anak indoprancis yang cantik-cantik dan tampan-tampan bermain bersama.
Beberapa terlihat berwajah Indonesia tapi berbahasa Prancis. Sementara yang lain terlihat sebaliknya, berwajah bule tapi senang makan kerupuk dan sambal terasi. Tak ada lagi perbedaan, muslim atau bukan, Indonesia atau Prancis, tua atau muda, semua berbahagia di hari yang fitri ini, sebagai pelepas rindu keluarga di tanah air tercinta.
(Ditulis oleh Iqbal Faraz Dasril. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 2013)
Baca juga: Mudik Lebaran, Dikira Masuk Angin Eh Fitri Malah Melahirkan di Mobil di Rest Area Cipularang