Intisari-Online.com - Di beberapa wilayah di Inggris, banyak pasangan, terutama yang manula, dipaksa untuk berpisah.
Kesulitan dalam memberikan perawatan untuk dua orang dengan kebutuhan yang berbeda, ruang terbatas, dan biaya yang tinggi disebut membuat beberapa panti jompo alias panti wreda di Negeri Ratu Elizabeth sana tidak menerima pasangan suami-istri manula.
Oleh sebab itu, mereka yang sudah berdekade-dekade bersama, terpaksa tinggal di panti jompo yang terpisah. Jarak yang jauh tentu saja membuat waktu bertemu mereka juga terganggu—bahkan membuat mereka tidak bisa bertemu selama berminggu-minggu. Jikapun mereka tinggal di satu panti jompo, mereka akan tinggal di kamar yang terpisah.
Tapi Sunrise Senior Living—kita sebutsaja SSL—mencoba menjadi pembeda. Panti jompo ini memastikan pasangan manula hidup berdua selamanya—dan membuat kisah tentang indahnya cinta para pasangan manula di panti wreda.
Tersebar di beberapa lokasi di Inggris, SSL memastikan bahwa semua pasangan dapat hidup bersama. Ada flat, dapur khusus, dan ruang tamu memadai sehingga pasangan manula ini bisa merasakan seolah-olah mereka sedang berada di rumah sendiri.
Davina Ludlow, direktur SSL, mengatakan kepada Metro.co.uk. “Sungguh memilukan melihat pasangan yang telah bersama-sama selama beberapa dekade harus dipisahkan di akhir-akhir kehidupan mereka […] orang tua kerap memiliki kondisi kesehatan yang kompleks, dan akan lebih mudah untuk mengatasinya jika mereka hidup bersama pasangannya,” ujar Ludlow.
Metro.co.uk setidaknya berhasil mengorek lima kisah indahnya cinta para pasangan manula di panti jompo ini, setidaknya ada lima pasangan manula.
Ernest Ives (87) dan Catherine Ives (89)
Ernest dan Catherine telah menikah selama 64 tahun. Mereka telah hidup bertetangga sejak kecil. Ernest sendiri merupakan teman dari adiknya Catherine, Billy.
Mula-mula mereka hanya berteman. Hingga suatu ketika, setelah pulang dari pelayanan sosial, Ernest yang berusia sekitar 18-20 tahun, langsung melamar Catherine.
“Saya harus menikah denganmu,” ujar Ernest kepada Metro.co.uk.
“Dia tersenyum padaku,” ujar Catherine. “Kami telah berbicara sebelumnya, tapi kami tidak seserius itu. Kami punya pacar masing-masing. Tapi ketika ia pulang (dari pelayanan sosial), ia langsung menuju ke rumahku.”
Beberapa tahun kemudian keduanya menikah dalam upacara yang sangat sederhana.
Tak lama kemudian, Ern yang bekerja sebagai tukang kayu dan Catherine yang bekerja sebagai juru masak dikaruniai seorang putri, kini sudah berusia 56 tahun. Mereka juga mengangkat seorang putra, kini berusia 54 tahun. Kini Catherine dan Ernest telah memiliki lima cucu dan dua cicit. Hidup mereka benar-benar sempurna meski sederhana.
Hingga, dua tahun lalu Ernest mulai memiliki persoalan perihal memori. Mereka akhirnya memutuskan tinggal di Sunrise Living di Frognal dan terus hidup bersama hingga sekarang.
Menurut keterangan Catherine, anak-anaknya sebenarnya ingin ia tetap tinggal di rumah, tapi ia tidak mau melakukan itu. “Tinggal bersama-sama (suami),” lanjut Catherine, “adalah segalanya.”
Meski demikian, Catherine juga terkadang ingin sendiri—biasanya pada malam hari. Jika sudah demikian, ia biasanya akan meminta penjaga untuk menemani Ern.
Pasangan ini biasa menghabiskan hari-hari mereka dengan melakukan kegiatan di dalam rumah, seperti bermain kartu, bernyanyi, dan lain sebagainya. Saat siang mereka akan mengobrolkan banyak hak sembari menyesap secangkir teh, dan ketika malam datang, Catherine akan memasak untuk suami tercintanya itu.
Tak lupa, Catherine juga selalu meluangkan waktunya menyiapkan sarapan untuk mereka. “Dulu ia merawatku, sekarang aku yang merawatnya.”
Kunci kelanggengan pernikahan mereka hanya satu: kompromi.
Catherine mencontohkan: ketika pemain piano tidak datang pada Jumat malam, maka ia akan mengajak Ern jalan-jalan. Kemudian setelah pulang, Ern akan menonton film perang favoritnya. “Itulah cara kita berkompromi,” tegas Catherine.
Selain kompromi? Bersikap baik dan saling menjaga.
“Apa lagi yang bisa saya katakan?” tanya Catherine. “Kami telah memiliki pernikahan yang sangat bahagia, kami punya anak-anak yang menyayangi kami. Kami telah memiliki kehidupan yang bahagia—meski bukan sangat bahagia.”
Mary-Jane Chapman (84) dan Roger Chapman (90)
Mary-Jane dan Roger pertama kali bertemu ketika Mary-Jane berusia 14 tahun dan Roger berusia 19. Waktu itu Roger sedang indekos di rumah bibi Mary-Jare, yang suaminya baru saja meninggal.
“Tak satu pun dari kami yang saling memperhatikan waktu itu,” Roger mulai bercerita. “Ia adalah seorang gadis yang kurus, sementara ia berpikir aku adalah laki-laki yang pemalu, aneh—bahkan sangat pemalu.”
Meski begitu, Mary-Jane selalu memperhatikan bulu mata Roger yang indah dan lentik. Ini adalah tanda-tanda.
Mereka kemudian terlibat dalam kegiatan pemuda gereja lokal yang diinisiasi oleh Roger. Mereka, kelompok pemuda gereja ini, biasa melakukan pertemuan tiap jumat untuk. Hingga, lima tahun kemudian, hubungan itu berubah menjadi lebih serius—terlebih setelah Roger punya mobil sendiri.
“Oh, aku tidak keberatan berkencan dengan kamu,” pikir Mary-Jane. Mereka pun akhirnya keluar untuk pertama kalinya, dan selanjutnya mereka resmi pacaran.
“Saya pikir itu memberinya kepercayaan diri untuk pergi keluar dengan mobilnya,” ujar Mary-Jane kepada Metro.co.uk.
Tiga tahun kemudian, ketika Mary-Jane berusia 22 tahun, mereka sepakat untuk menikah dan membeli rumah di Bexley. Di sana mereka tinggal selama 60 tahun. Lalu sekitar tiga bulan lalu mereka memutuskan untuk pindah dari rumah penuh kenangan itu.
“Dua atau tiga tahun terakhir kaki dan lenganku tidak berfungsi,” ujar Roger. “Aku tidak bisa berdiri atau berjalan. Aku harus menggunakan kursi roda. Aku secara permanen berada di sini.”
Oleh sebab itu, Roger membutuhkan perawatan yang lebih intens—tapi Mary-Jane tidak mau ditinggalkan seorang diri di rumahnya. Itulah mengapa mereka mumutuskan untuk pindah ke panti jombo bersama-sama.
Pernikahan Roger dan Mary-Jane telah berusia 61 tahun. Mereka punya latar belakang yang sama, minat yang sama, dan, beruntungnya, mereka bergaul dengan orang-orang yang sama, di lingkungan gereja tempat mereka berkegiatan ketika muda dulu. Dan kini, mereka tinggal di satu panti jompo yang sama dalam satu kamar yang sama pula.
Margaret Carter (89) dan John Carter (82)
Margaret dan John pindah ke panti jompo ini sebelum Natal tahun lalu, setelah John didiagnosis demensia.
“Kami sudah menikah selama 55 tahun,” ujar Margaret. “Orang-orang bertanya mengapa aku tidak meninggalkan John di rumah sakit, dan aku bilang tidak. Itu sudah lama.
“Anda tidak bisa meninggalkan orang yang sudah lama bersama Anda. Itu tidak mungking.”
John dan Margaret bertemu di sebuah pertandingan kriket. Waktu itu Margaret sedang membantu kakak perempuannya yang suaminya adalah pemain kriket. Sementara John sudah lumayan lama menjadi rekan setim kakak iparnya itu.
“Kurasa John dan aku langsung tertarik satu sama lain waktu itu juga. Ia enam tahun lebih muda dari aku … masih brondong. Orang-orang menganggap aku suka brondong, tapi aku tidak pernah menganggapnya begitu,” cerita Margaret.
Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menikah, dan hidup mereka berjalan dengan indah. John melanjutkan pekerjaan sebagai seorang arsitek, sementara Margaret adalah sekretaris seorang pustakawan di Guilford Library.
Mereka kerap melancong bersama-sama, tak heran jika teman-teman mereka tersebar di beberapa wilayah di seluruh dunia. Margaret pikit, mungkin ini salah satu alasan kenapa pernikahan mereka cukup bahagia dan menyenangkan.
“Kami menyukai pekerjaan masing-masing,” terang Margaret. “Aku pikir itu penting. Kami juga punya banyak teman. Aku tidak peduli dengan apa yang kami miliki, selama kami bisa bepergian untuk mengunjungi teman-teman kami, aku rasa itu cukup membahagiakan.”
Dr Ray Slater (88) dan Faye Slater (81)
Faye tidak percaya Ray menemukan saputangannya. Tidak percaya sama sekali.
“Ia mengambil saputanganku sekarang, apakah kau melihat itu?” tanya Faye. “Lalu besok ia akan mengatakan, ‘Apa yang kau lakukan dengan saputanganku?”
Faye dan Ray saling mempercayai satu dengan yang lain. Mereka jatuh cinta saat bekerja di bisnis yang mereka telah meninggalkan pasangannya untuk hidup bersama—menentang keinginan orangtua masing-masing.
“Aku punya bisnis,” Ray bercerita, “aku mencari (karyawan) dan Faye—yang pada dasarnya seorang sekretaris yang sangat baik—membuat saya yakin bahwa ia akan lebih bahagia jika bekerja untukku.”
“No comment,” sela Faye.
Ray bilang bahwa mereka pertama kali bersama ketika Natal. “Kami saling jatuh cinta dalam bisnis kami yang kecil. Kami akhirnya bersama-sama, tanpa restu orangtua dan sebagainya. Kami harus membuktikan kepada semua orang, oleh karena itu kami harus pindah,” tambah Ray.
Ray sejatinya berat meninggalkan ibunya. Ia seolah mendengar protes ibunya di dalam hati ketika ia memutuskan pergi: “Raymond, kamu tidak bisa begitu.” Tapi ia mantap untuk tetap pergi. Ia harus meninggalkan semuanya, dan fokus menjaga Fay dan membuatnya bahagia. Fay adalah prioritasnya saat itu.
“Kami saling mencintai, dan itu adalah faktor utama dalam hidup kami. Kami saling mencintai dan kami membesarkan dua anak kami dengan cara yang sama. Saya pikir itulah kunci utama yang membuat kami selalu bersama-sama. Fakta bahwa kami saling mencintai dan kami saling percaya.”
“Dan kami pun bahagia,” sergah Faye.
Lebih dari setahun yang lalu Fay dan Ray harus pindah rumah ke panti jompo. Ada kemungkinan Faye terkena Alzheimer.
Bagaimapun juga, ini telah mengurangi sedikit kebahagiaan mereka. Sebelum pensiun, Ray bekerja di bidang penerbangan, tepatnya di bidang sertifikasi kontrol simulasi penerbangan. Sementara Faye bekerja sebagai seorang sekretaris. Hidup mereka benar-benar lengkap.
Ray fokus pada menjaga Faye, sementara Faye memastikan dirinya sukses menyalurkan ilmu pengetahuan kepada kedua anak mereka. Mereka benar-benar merasa beruntung dengan kehidupan yang mereka jalani.
Mereka mencoba untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka bahwa kebahagiaan adalah yang paling penting dalam kehidupan, bukan uang. “Jangan khawatir jika kalian tidak punya ribuan pounds. Kalian masih bisa bahagia,” nasihat Faye.
Begitulah, jika sudah cinta, panti jompo pun berasa surga!