Intisari-Online.com - Bagaimanakah jadinya jika trio manula dengan perbedaan latar budaya berkelana? Tentu ada banyak kisah menarik yang dapat diceritakan. Tema inilah yang diangkat oleh Benny Rachmadi dalam buku barunya, Tiga Manula Jalan-Jalan Ke Singapura. Bertempat di Toko Buku Gramedia, Grand Indonesia (17/12), Benny coba mendedahkan cerita kreatif di balik penulisan buku barunya.
Tiga karakter manula yang diciptakan oleh Benny, yaitu; Sanip (Betawi), Liem (Tionghoa), dan Waluyo (Jawa), merupakan usaha Benny untuk keluar dari citra yang kadung dilekatkan dengan tokoh Beny, dalam Benny & Mice, yang dulu bisa dilihat tiap hari Minggu di harian Kompas. Karakter baru ini, menurut Benny, akan digunakan sebagai serial kisah yang akan terus berlanjut.
Pemilihan karakter tiga manula dengan latar budaya Betawi, Tionghoa, dan Jawa tidak dimaksudkan untuk membuat stereotipe. Ide itu muncul begitu saja. Tapi, tanpa klarifikasi Benny pun, sebenarnya pembaca masih dapat melihat remah-remah stereotipe yang muncul pada ketiga karakter tersebut. Liem (Tionghoa) yang diidentikkan sebagai pebisnis atau Sanip (Betawi) dilekatkan dengan citra Islam dengan kopiah (tutup kepala) yang selalu digunakanya. Namun, gambaran seperti itu toh bukan ide besar penulisan buku ini, sekedar kebutuhan karakteristik tokoh saja.
Inti cerita buku Benny justru terletak pada kisah perjalanan tiga manula di Singapura. Sejak berangkat hingga kepulangan mereka, pembaca disuguhi kisah unik yang bisa bikin ketawa. Coba saja tengok bagaimana Waluyo menggunakan minyak kayu putih di pesawat, karena pusing, yang membuat penumpang lain kebauan (hal. 5). Atau saat Liem menjelaskan kisah Merlion (patung singa) kepada Sanip dan Waluyo (hal.15). Alih-alih memperhatikan penjelasan Liem, Sanip dan Waluyo malah melompat ke kolam yang ada di depan patung tersebut. Fragmen kisah seperti itu tersebar di seluruh buku baru Benny ini yang tentu saja membuat pembaca tersenyum atau bahkan terpingkal-pingkal.
Benny tampaknya berhasil menceritakan dengan baik kisah petualangan trio manula di Singapura meski agak kedodoran soal penokohan. Tapi, percobaan awal ini patut diapresiasi dan masih harus terus diuji dengan janji Benny bahwa ia tidak akan berhenti pada ketiga tokoh tersebut. Akan ada lagi tokoh-tokoh baru dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, ketakutan pembaca bahwa tokoh-tokoh yang diciptakan Benny akan jatuh pada lubang stereotipe sirna.
Buku Tiga Manula Jalan-Jalan ke Singapuraini layak dijadikan bahan bacaan untuk memberikan hiburan sekaligus bisa jadi buku petunjuk (guided book) jika ingin jalan-jalan ke Singapura. Soalnya, dalam buku ini juga diceritakan tempat-tempat yang “wajib” dikunjungi jika anda hendak ke Singapura.