Intisari-Online.com -Sudah tiga kali Solihah mengalami pusing-pusing kepala Jumat itu. Yang pertama pukul 09.00 ketika baru turun dari Transjakarta, kedua pukul 13.45 selepas salat Zuhur, dan ketiga tak lama setelah azan Ashar berkumandang. Tapi dasar Solihah memang bandel soal kesehatan. Ia cuek saja dengan pening yang ia rasakan itu.
“Ah, palingan nanti juga hilang sendiri,” begitu gumamnya setiap pusing itu ada.
Meski demikian, Sabtu malam ketika pacarnya ngapel ke rumahnya, Solihah cerita ke pacarnya, Adnan, soal sakit kepalanya itu. Bagaimanapun juga, itu bukan sakit kepala pertama yang ia derita. Sekitar dua bulang belakangan ini, pusing itu tiba-tiba muncul saja. Ketika sedang di depan komputer, ketika sedang di lapangan, atau bahkan ketika begadang melihat sepakbola—jangan salah, Solihah adalah gibol alias gila bola.
Tidak mau terjadi hal-hal yang tak diinginkan terhadap pacarnya, Adnan memaksa Solihah untuk periksa ke dokter. Kali ini lebih keras dari biasanya. Bukan karena Adnan bosan terus dicurhati, tapi paksaan ini semata-mata karena ia sayang dengan kekasihnya itu. Ia tak ingin terjadi sesuatu dengan Solihah, gadis yang sudah diidamkannya beberapa tahun yang lalu.
Solihah pun luluh juga. Senin pagi, ia minta izin kepada bosnya untuk datang agak siang. Ia bilang mau pergi ke dokter. Setelah menunggu beberapa menit, lalu dilakukan pemeriksaan, diagnosis itu keluar juga. “Mbaknya mengalami gejala anemia. Banyak-banyak mengonsumsi zat besi ya mbak. Ini resepnya, nanti bisa ditebus di depan,” ujar si dokter sembari membenarkan letak stetoskopnya yang agak miring.
“Ah, cuma anemia,” gerutu Solihah dalam hati. Sepertinya ia belum tahu banyak tentang kondisi ini; sebab dan akibatnya.
Kebanyakan perempuan
Kisah Solihah sejatinya hanya ilustrasi semata. Tapi paling tidak, itu menggambarkan bagaimana kebiasaan kita ketika menghadapi persoalan kesehatan yang dianggap sepele, termasuk di antaranya adalah anemia.
Jika mengacu pada riset yang dilakukan Sampoerna pada 2004 menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang Indonesia berisiko terkena anemia. Itu artinya, ada sekitar 47,5 juta penduduk Indonesia (berdasar sensus 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326) berisiko kurang darah—angka itu bisa lebih besar seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia.
Potensi terbesar ada pada perempua muda dan perempuan hamil. Prevalensinya masng-masing 22,7 persen dan 37,1 persen.
Sudah menjadi rahasia umum, penyebab utama anemia adalah kekurangan zat besi. Mengapa zat besi? Kita tahu, sebagian besar bahan makanan orang Indonesia bersumber dari nabati, sementara zat besi dari nabati lebih sulit diserap oleh tubuh. AKibatnya, rata-rata makanan penduduk Indonesia hanya mencukupi kebutuhan zat besi yang lebih dari yang diidealkan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi dari sumber nabati. Pertama, faktor promotor alias fakto yang meningkatkan, meliputi daging, ikan, unggas, dan vitamin C. Kedua, faktor inhibito alias faktor penghambat: tannin (teh hitam dan kopi) yang bisa mengikat zat besi dan merusak struktur protein, kalsium, fosfor, serat, dan fitat yang mengikat dan menghambat penyerapan zat besi.
Dari riset yang sama juga memunculkan fakta yang juga mengejutkan; bahwa 35% perempuan pekerja Indonesia mengalami anemia. Ini sejalan dengan data sebelumnya yang menyebut bahwa risiko terbesar anemia salah satunya adalah pada perempuan.
Kenapa bisa begitu? Setidaknya ada tiga persoalan yang menyebabkan kenapa perempuan rentan sekali menderita anemia. Sebagian besar mereka masih remaja, sebagian lagi mereka dalam kondisi menyusui, dan sebagian lainnya menjalani peran ganda baik sebagai pekerja maupun sebagai ibu rumah tangga.
Mau tidak mau, kondisi ini memaksa mereka membutuhkan lebih banyak zat besi dibandingkan laki-laki untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Belum lagi jika mereka sedang menghadapi siklus bulanan menstruasi, akan lebih banyak lagi zat besi yang mesti dikonsumsi.
Tak hanya itu, perempuan pekerja juga kerap mengahadapi pola tidur yang tidak teratur sehingga menyebabkan daya tahan tubuh melemah. Kondisi ini memudahkan mereka terjangkiti beberapa penyakit infeksi.
Meski demikian, anemia sejatinya bukan gangguan yang perlu ditakutkan. Dengan catatan, kita mau dan segera mengubah pola hidup kita. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah gejala anemia. Mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, salah satunya makanan yang kaya zat besi, adalah kunci utamanya.
Ini juga penting: jangan sekali-kali mengonsumsi teh, kopi, susu, dalam satu waktu alias secara bersamaan. Alih-alih membuat kita sehat, cara ini justru akan menghambat proses penyerapan zat besi dalam makanan oleh tubuh kita.
Pentingnya melek anemia
Terkait dengan memprihatinkannya angka risiko anemia, baru-baru ini muncul gerakan Indonesia Bebas Anemia. Gerakan yang digagas oleh PT Merck Tbk bekerja sama dengan Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) ini muncul dari kegelisahan tentang minimnya pengetahuan tentang anemia di masyarakat yang berada di lapisan bawah. Kasus Solihah mungkin bisa menjadi contohnya.
Untuk memudahkan program ini masuk ke pelosok-pelosok, Merck juga menggandeng Gerakan Indonesia Mengajar yang disebut memiliki jaringan di daerah-daerah minim akses kesehatan.
Associate Director Marketing PT Merck Tbk Anie Rachmayani membeberkan alasan pihaknya menggandeng Indonesia Mengajar. Sebagai sebuah gerakan yang memiliki basis massa di daerah-daerah terpencil, Indonesia Mengajar dianggap cukup mumpuni untuk menyukseskan program ini. Terlebih lagi, mereka memiliki sukarelawan-sukarelawan intelektual yang dianggap memiliki potensi untuk melakukan sosialisasi. Termasuk sosialisasi anemia.
“Mereka punya kekuatan dalam menggalang, mensosialisasi, dan merangkul masyarakat-masyarakat di wilayah terpencil. Ini penting untuk kampanye melek anemia yang kami lakukan saat ini,” ujar Anie melalui saluran telepon kepada Intisari. “Kami tidak tahu kerja sama ini akan berakhir sampai kapan, kami berharap bisa berlanjut selama mungkin.”