Intisari-Online.com -Bana masih tujuh tahun, tapi ia tahu bagaimana menggunakan media sosial Twitter dengan baik. Melalui platform berlogo burung itu, gadis Suriah itu menceritakan bagaimana kisah pilunya di Aleppo. Mulai dari ketakutannya meninggal di malam hari hingga pudarnya mimpi sebagai guru, gara-gara perang yang berkepanjangan.
Dalam sebuah video yang diposting melalui akun Twitter-nya @alabedbana, ia memperlihatkan punggungnya saat berdiri di dekat jendela, dengan rambut panjang yang menutupi jumper hijaunya, dan kedua tangannya menutup kedua telinganya. Di kejauhan, bom terdengar begitu keras di Alepp malam.
“Halo dunia, bisakah kamu mendengar itu?” Bana bertanya. “Aku sangat takut jika mati malam ini. Bom-bom akan membunuhku malam ini. –Bana.”
Selama beberapa minggu terakhir, Bana Al-Abed dan ibunya Fatemah mewartakan apa yang mereka alami sehari-hari yang hidup di bawah gemuruh bom di kota terbesar kedua di Suriah itu. Terjebak di Aleppo Timur, dikontrol oleh pasukan pemberontak, dan tak henti-hentinya menyaksikan bom baik dari militer Rusia maupun Suriah.
Setiap bom dijatuhkan, Bana dan Fatemah akan menulis “laporan langsung” di Twitter.
Salah satu kicuaan pertama Bana memperlihatkan dirinya berada di meja sembari memegang buku dan sebuah boneka sebagai latar. “Selamat sore dari #Aleppo,” tulisnya. “Aku sedang membaca untuk melupakan perang.”
Foto lain menunjukkan reruntuhan gedung yang dibom yang dilengkapi dengan keterangan: “Ini rumah temanku dibom. Dia terbunuh. Aku begitu merindukannya…”
Ada kalanya ibu Bana yang melaporkan kejadian di Twitter. “Bom telah menghantam rumah tetangga, dan menghancurkan bangunannya. Hari ini benar-benar lebih buruk dibanding kemarin,” Fatemah mencuit pada Sabtu (1/10).
Akun Twitter Bana setidaknya telah mendapatkan 11 ribu pengikut sejak pertama dibuat pada September kemarin. Ironisnya, ada beberapa orang yang menyebutnya menyebarkan propaganda. Fatemah tentu saja geram dengan tuduhan itu. Kepada BBC ia mengaku kecewa dengan orang-orang itu.
Dalam percakapan dengan Mashable melalui pesan langsung Twitter, Bana menjelaskan bahwa ia belajar Inggris dari ibunya, seorang guru yang pernah belajar hukum di universitas. “Ibu telah mengajari aku bahasa Inggris sejak aku masih sangat muda,” kata Bana.
Ia mengaku bahwa perang telah mengganggu kehidupannya dan ibunya. Ia tidak bisa hidup normal, ia selalu merasa takut, ia juga takut meninggal di malam hari, jika bom jatuh.
Salah satu persoalan utama di Aleppo, seperti keterangan Bana, adalah kurangnya bahan makanan dan air. Tidak ada buah dan sayuran yang tersisa di pasar, karena pengepungan yang telah berlangsung selama tiga bulan. “Tidak ada makanan. Beras dan pasta sudah hilang. Air kotor dan kurang. Sementara air yang bagus tercemar,” tambahnya.
Listrik berasal dari tenaga surya sehingga internet dan saluran telepon sedikit susah. Saat ditanya kenapa ia dan ibunya memilih tetap tinggal di Aleppo, ia menjawab: “Karena Aleppo kota kami.”
Seiring dengan kondisi yang semakin pelik, Bana terlihat semakin frustrasi. Ia tidak bisa pergi ke sekolah atau keluar rumah untuk bermain, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah menggambar atau bermain dengan saudara-saudaranya di dalam rumah.
“Aku ingin menjadi seorang guru dan membantu orang lain mengajar,” ujar Bana. “Tapi tak seorang pun pergi ke sekolah kecuali beberapa anak-anak. Aku belum melihat teman-temanku dalam waktu yang lama. Kami putus kontak.”
Begitulah Bana menggambarkan kondisinya di Aleppo melalui media sosial.(Mashable)