Intisari-Online.com –“Banyak diabetesi yang tetap berpuasa karena alasan religius. Karena mereka merasa bahwa puasa adalah wajib hukumnya dalam agama. Keputusan ini memang keputusan pribadi yang tidak dapat dihalangi. Untuk itu, para diabetesi harus mengetahui seberapa beratnya diabetes yang diderita dan pengobatan yang dijalani,” jelas Dr. Em Yunir, Sp.PD-KEMD, dokter spesialis penyakit dalam FKUI/RSCM yang juga Sekretaris Jenderal Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).
Sampai saat ini belum ada panduan bagaimana para diabetesi menjalankan puasanya, maka cara pengobatan sering diubah sendiri atau oleh dokter. Padahal ini dapat mengakibatkan risiko komplikasi, yaitu hipoglikemia (gula darah terlalu rendah) atau hiperglikemia (gula darah terlalu tinggi), dehidrasi, ketoasidosis, trombosis atau sumbatan pembuluh darah.
Puasa yang dijalankan berpengaruh pada diabetes, seperti sumber energi diambil dari cadangan glikogen hati, mekanisme kompensasi untuk mencegah hipoglikemia tidak berfungsi, terjadi perubahan produksi insulin, bisa karena penyakitnya atau karena obat-obatan anti-diabetes, atau gangguan produksi glukagon (lawan insulin). Pada diabetes yang berat, puasa dapat menyebabkan pemecahan glikogen, serta akan terjadi pemecahan lemak yang berlebihan.
Perubahan fisik dan laboratorium terjadi akibat melalukan puasa, seperti penurunan berat badan pada awal bulan, namun akan kembali naik lagi pada akhir puasa. Lalu, peningkatan kekentalan darah, peningkatan asam lambung, penurunan gula darah puasa, penurunan insulin, kekurangan cairan, tapi kadar kolesterol tetap.
Bagaimana sebaiknya para diabetesi menjalankan ibadah puasa? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para penderita diabetes saat menjalankan ibadah puasa. Yunir memaparkannya sebagai berikut.
“Sebenarnya, bila ingin berpuasa, para diabetesi sebaiknya konsultasi dahulu dengan dokter 2 bulan sebelum bulan Ramadhan tiba,” tutup Yunir. (*)