Cerita Kriminal Almarhum Menuntut Keadilan (1): Noda Tangan Berdarah di Dada Korban

Birgitta Ajeng

Editor

Cerita Kriminal Almarhum Menuntut Keadilan (1): Noda Tangan Berdarah di Dada Korban
Cerita Kriminal Almarhum Menuntut Keadilan (1): Noda Tangan Berdarah di Dada Korban

Intisari-Online.com - Terjadinya di Neuilly, Prancis, pada awal abad XX di mana orang masih percaya pada kemungkinan untuk bertemu dengan arwah orang-orang yang sudah almarhum. Orang yang dianggap bisa mengundang arwah almarhum disebut medium atau perantara. Pertemuan dengan arwah orang yang telah meninggal disebut seance. Di bawah ini bunyi laporan Rousseau, seorang anggota kepolisian, kepada atasannya, Bertillon, mengenai jalannya peristiwa. Inilah cerita kriminal Almarhum Menuntut Keadilan.

---

"Kemarin sore, delapan orang mengadakan seance di rumah Pal Cainette, seorang medium, di Vila Plaisance, Neuilly. Séance diorganisir oleh Madame Lafargue yang rupanya sangat percaya pada kekuatan medium dan telah beberapa kali menyelenggarakan seance dengannya. Ternyata Canette sendiri telah berulang kali menipu, tetapi masih banyak orang percaya kepadanya."

"Seperti biasa lampu-lampu dipadamkan dan semua hadirin meletakkan tangan mereka di atas sebuah meja bundar. Lama tidak terjadi apa-apa. Tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dalam bahasa Spanyol. Jelas bukan suara Canette. Sebagai medium dia tidak berbicara. Nampaknya tak seorang pun di antara hadirin bisa berbahasa Spanyol."

"Setelah suara berhenti (ia berbicara sebentar saja) terdengar teriakan, kemudian suara orang jatuh. Segera lampu dinyalakan. Medium pingsan, terkulai di kursinya masih dalam keadaan terikat dengan tali seperti ketika lampu belum dipadamkan. Seorang bernama Janos tergeletak di lantai. la telah mati. Di dadanya tertancap sebuah pisau belati."

Sekian laporan Rousseau.

Segera setelah kejadian itu Madame Lafargue memanggil polisi dan dokter. Hadirin tak boleh meninggalkan ruangan. Medium nampaknya sama sekali tak sadar dan harus dibawa ke kamar lain. Mengenai korban, ia dibiarkan tergeletak di tempat jatuhnya demi penyelidikan oleh pihal kepolisian.

Noda Tangan Berdarah di Dada Korban

Di bawah pimpinan Bertillon polisi mengadakan penyelidikan saksama. Vila Plaisance bentuknya berbeda dengan rumah-rumah sekitarnya. Coraknya kuno, di depan rumah ada halaman luas berpagar besi kuat. Bagian belakang berbatasan dengan jalan trem. Di seberang rel terbentang hutan.

Kamar seance terletak di tingkat pertama. Di depan pintu kamar tergantung gorden beludru, hitam dan berat. Demikian pula di depan semua jendela ada gordennya dan dari bahan yang sama. Langit-langit kamar itu tinggi, dicat hitam. Pada langit-langit itu tertempel bintang-bintang perak dan bulan sabit.

Lantai dilapisi permadani tebal sehingga langkah-langkah orang takkan terdengar. Ketika polisi masuk masih tercium wewangian yang khas baunya. Ketika seance berlangsung, katanya, semua pintu terkunci dari dalam. Anak kunci diselidiki, ternyata tidak berlubang. Tetapi dari luar, ujung anak kunci itu bisa dicapit dengan ouistiti, sebuah tang spesial yang cocok untuk semua lubang kunci. Sistem peredaman suara di dalam ruangan seance itu demikian sempurnanya, hingga dari dalam tak mungkin orang mendengar suara "klek" kunci yang diputar.

Di dalam kamar ada beberapa lampu dinding, di samping lampu gantung di tengah ruangan. Semua lampu ini dapat dinyalakan dengan tombol-tombol pada pintu masuk.

Sepanjang dinding berderet beberapa meja, sedangkan di tengah ruangan ada meja bundar dari kayu mahoni. Di sekitar meja masih ada beberapa kursi yang dua di antaranya terbalik.

Korban menggeletak di lantai, kakinya yang satu tersangkut pada kaki kursi yang didudukinya. Tangkai pisau belati yang menamatkan hidupnya nampak mengkilap di dadanya, tepat di atas jantung. Permadani di bawahnya berlumuran darah.

Korban pembunuhan itu seorang lelaki setengah umur, mukanya bulat gemuk dan berkumis pendek. Rambutnya yang hltam mengkilap dan warna kulitnya yang kelam menimbulkaan dugaan bahwa ia orang Eropa Selatan. Sebuah cincin emas mengkilap menghiasi tangannya yang berlumuran darah. Nama orang itu Kurt Janos.

Tak jauh dari tempat korban menggeletak ada kursi bersandaran tangan. Di kursi itu masih nampak tali-temali yang diputus pada beberapa tempat. Inilah tempat duduk Canette, yang sebagai medium biasa diikat erat pada kursinya. Tali-temali diputus untuk melepaskan medium yang ternyata pingsan ketika lampu-lampu dinyalakan kembali.

Bertillon memerintahkan agar anak buahnya bekerja dengan hati-hati. Terutama meja bundar jangan disentuh permukaannya, karena benda ini akan merupakan "buku terbuka" bagi polisi. Sebab dalam séance semua hadirin meletakkan tangannya di atas meja itu. Juga kursi-kursi diperlakukan dengan hati-hati.

Ketika diperiksa ternyata di atas meja bundar itu sidik jari para hadirin nampak jelas. Dua orang yang duduk di kiri-kanan medium hanya meletakkan satu dari kedua tangan mereka di atas meja. Pada semua bekas jari di atas meja itu tidak nampak bekas jari kelingking satu pun.

Ini semua cocok dengan cara seance dilangsungkan. Para hadirin saling berpegangan dengan jari kelingkingnya. Dua orang yang duduk di samping medium memegang yang terakhir ini dengan tangannya yang satu. Maka mereka juga hanya meninggalkan bekas satu tangan.

Kurt Janos jelas ditikam dari depan. Tetapi menurut polisi, tak mungkin perbuatan ini dilakukan oleh hadirin yang duduk berhadapan dengannya. Sebab meja bundar itu bergaris tengah 1,5 m.

Kini mayat korban diperiksa dengan teliti. Bertillon terkejut. Tepat pada bagian tengah kemeja putih korban nampak bekas tangan berdarah dengan jari-jari yang dikembangkan. Seolah-olah pembunuh sengaja hendak meninggalkan petunjuk tentang identitasnya.

Bekas tangan berdarah ini menimbulkan teka-teki bagi polisi. Sebab, menurut laporan, belum lagi satu menit setelah korban jatuh, lampu-lampu sudah dinyalakan. Dalam waktu sesingkat itu di ruangan yang gelap gulita, bagaimana mungkin seseorang dapat membuat tanda bekas itu, tepat di tengah kemeja?

Bekas itu merah darah. Tetapi pada saat korban ditikam, darah belum mengalir di atas permadani. Bekas-bekas darah di atas meja juga sama sekali belum disentuh orang. Apalagi berkat kesigapan tindakan Madame Lafargue, para hadirin tak sempat meninggalkan ruangan untuk mencuci tangan mereka. Polisi melihat sendiri bahwa tak seorang pun di antara mereka yang tangannya berlumuran darah.

Bertillon selanjutnya memeriksa letak pisau belati. Jelas bahwa senjata tajam itu ditusukkan dari atas, menyerong ke bawah. Belati segera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa, apakah ada bekas-bekas sidik jarinya. Bagian kemeja yang ada bekas tangan berdarah digunting dan juga dikirim ke laboratorium guna pemeriksaan.

Tulisan ini ditulis di dalam buku Kumpulan Cerita Kriminal Intisari tahun 1997 dengan judul asli cerita kriminal Almarhum Menuntut Keadilan.

-bersambung-