Intisari-Online.com - Berlatar belakang konsepsi tradisional Jawa, Gunung Merapi adalah keraton lelembut tak kasat mata yang memberi kebidupan dan kesuburan pada manusia di sekitarnya. Ia bahkan menjadi simbol kelelakian (lingga) yang mendambakan persatuan dengan Laut Kidul sebagai sang yoni untuk menggali sangkan paraning dumadi (asal usul kehidupan). Terciptalah jalur mistis Merapi – Mataram – Laut Kidul. Namun, kepercayaan ini tak lagi banyak membantu ketika harus menghadapi kenyataan bahwa amukan dan letusan Merapi tetap membutuhkan akal sehat, seperti uraian koresponden Intisari, B. Soelist berikut ini. Inilah kisah Misteri Penghuni Keraton Merapi.
---
Keyakinan bahwa roh-roh halus penunggu Merapi akan melindungi penduduk yang tinggal di kaki gunung ini, dimiliki juga oleh warga Dusun Turgo, Kelurahan Hargobinangun, Kec. Pakem, Sleman, D1Y. Gunung Merapi dipercaya sebagai kuburan leluhur bernama Empu Rama dan Empu Permadi, sekaligus sebagai kerajaan makhluk halus. Roh dua empu kakak-beradik inilah yang masyhur disebut Eyang Merapi.
Tak jauh berbeda dengan konsep keyakinan masyarakat Kinoharjo, warga Dusun Turgo juga percaya, setan-setan Merapi akan memberi tahu lebih dulu sebelum gunung meledak. Konon wangsit itu bisa lewat mimpi, bisa berujud orang tua berjubah yang bersabda atau lewat gejala alam lain seperti suara gemuruh dari gunung atau adanya getaran tanah. "Kami bukan ahli vulkanik, tapi kami akan tahu pasti sewaktu-waktu Gunung Merapi akan meletus," ujar Arjo Sutrisno (74 - 1992), sesepuh Dusun Turgo.
Di rumahnya yang berdinding kayu berarsitektur gunung. Mbah Arjo mengaku meski berkali-kali ia menyaksikan letusan Merapi, tak satu pun ledakannya mampu merusak desa, apalagi membunuh penduduknya. Padahal desa sepi ini termasuk dalam kategori desa bahaya Merapi kedua, karena letaknya memang hanya beberapa kilometer dari kepundan gunung, bahkan termasuk kawasan pinggir aliran Sungai Boyong, Krasak, yang terkenal sebagai jalan lahar paling deras. Secara teknis, daerah ini bisa hancur diterjang lumpur panas akibat dahsyatnya semburan perut gunung.
Namun tak seorang pun penduduk gentar lahar, sekalipun pemerintah selalu mendesak agar segera mengungsi ke daerah yang lebih aman. Kekhawatiran pemerintah memang masuk akal. Maka dalam upaya menghindari ancaman bencana Merapi, pemda setempat pernah menawarkan penduduk untuk mengikuti program transmigrasi. Namun karena mereka punya persepsi tersendiri atas gundukan bumi bernama Merapi, uluran tangan pemerintah tersebut malah ditanggapi dengan sinis.
"Lahar Merapi tak mungkin berani menerjang desa kami selama Gunung Turgo masih tegak berdiri," tambah Mbah Arjo serius. Menurut kepercayaan warga setempat, keberadaan Gunung Turgo di sebelah utara desa dianggap lebih tua usianya dari Merapi sendiri. Katanya, gunung ini adalah biyung bibi atau bibi yang mengasuh Gunung Merapi. Jadi, mana mungkin kotoran seorang keponakan berani melangkahi bibinya sendiri. Itu akan kualat, bisa terkutuk menurut tradisi Jawa. "Itu sebabnya desa kami selalu selamat dari bencana Merapi," jelas Mbah Arjo.
Memang benar, gunung kecil berketinggian 1.205 m ini secara geografis mampu menjadi benteng penangkal ancaman bahaya erupsi. Lagi pula bentuk kawah yang menyerupai corong berlawanan dengan letak Desa Turgo, sangat memungkinkan desa ini terhindar amukan Merapi (Pranowo, 1985).
Bertolak dari persepsi itulah diam-diam desa sepi ini sering kali dijadikan tempat pengungsian. Keyakinan bahwa umur Gunung Turgo melebihi usia Merapi memang sempat membikin iri warga desa lainnya. Maka tak salah kalau Arjo Sutrisno pun selaku sesepuh memproklamasikan tanah kelahirannya sebagai desa suci disegani lelembut Merapi. Persis kebanggaan Mbah Marijan, juru kunci Merapi atas tanah kelahirannya, Desa Kinoharjo.
Tulisan ini ditulis di dalam buku Kumpulan Kisah Misteri Intisari tahun 2006 dengan judul asli Misteri Penghuni Keraton Merapi.
-bersambung-