Warnanya hijau kekuning-kuningan, dan bentuknya seperti kipas terbelah, dengan urat daun yang menyebar secara radial. Menurut versi orang Cina, bentuk daun itu seperti kaki bebek, sampai para penulis mereka abad XVI menyebutnya pohon kaki bebek.
Nama gin go diciptakan oleh orang Jepang sebagai versi mereka dan nama Cina yin kuo (buah perak). Buahnya memang putih mengkilat seperti perak.
Gara-gara buah inilah pohon itu diperkebunkan orang untuk dipanen bijinya. Biji yang sudah dibakar amat popular di Tiongkok kuno sebagai pengiring minum bir kalau orang mau kongko-kongko. Peranannya seperti kacang bawang dan biji mete zaman sekarang.
Dunia Barat baru mendengar tentang pohon itu ketika Engelbert Kaempfer menulisnya dalam laporan misi diplomatiknya ke Tokyo tahun 1690. Dokter perusahaan dagang Belanda yang ditempatkan di Jepang ini diakui sebagai penemu Ginkgo biloba. la pula yang membawa tanaman itu untuk pertama kalinya ke Utrecht, Belanda, pada 1730, bersama bibit pohon magnolia dan ceri Jepang.
Kew Gardens di Inggris membeli bibit Ginkgo biloba pada 1754 dari seorang penangkar bibit di London. Di Kebun Raya Kew Gardens inilah, ia dibaptis sebagai adiantifolia (berdaun suplir Adiantum). Memang ia satu-satunya pohon di dunia yang daunnya seperti paku.
Gara-gara pohon itu, taksonomis tumbuh-tumbuhan sepakat untuk menciptakan nama familias Ginkgoaceae. Satu-satunya familias di dunia yang anggotanya cuma satu, Ginkgo biloba.
Hanya jantan yang menyenangkan
Pohon itu juga "sakti". Jenis-jenis lain yang hidup sezaman dengan dia sudah punah pada akhir zaman Trias, era Mesozoicum (190 juta tahun yang lalu), tetapi ia tetap bertahan, hidup terus sampai zaman modern sekarang ini, sebagai semacam fosil hidup. Tidak jelas dalam sejarah mengapa ia bisa bertahan begitu lama dari zaman ke zaman. Tetapi para ilmuwan tidak pernah kehabisan teori.
Diduga, bertahannya karena yang tumbuh di pegunungan tinggi jarang terserang hama (termasuk manusia) dan polusi udara. Merekalah yang kemudian menurunkan Ginkgo generasi muda pada zaman-zaman kemudian yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Di antara generasi baru ini malah ada yang tenang-tenang saja disiksa dalam pot pinggir jalan dalam kota yang tercemar berat oleh udara knalpot kendaraan macet (di Fifth Avenue, New York).
Sebelum jenis-jenis pohon runjung Conifera berkembang, pohon berdaun suplir sudah menguasai daratan Amerika, Asia, dan Australia. Ketika umat manusia muncul di pentas dunia, pohon itu "mengungsi" ke hutan-hutan pegunungan Chekiang di sebelah timur, dan Sechuan di wilayah barat Cina. "Mengungsi" dalam hal ini ialah bertahan di daerah "pengungsian", sedangkan rekan-rekannya di daerah lain sudah punah oleh berbagai sebab.
Untung ada pencinta lingkungan dan "pelestari sumber daya alam" yang menanamnya di taman-taman kuil di Cina, dan kemudian di Jepang. Ini menurut penuturan beberapa penulis Cina abad VIII. Tanpa mereka, mungkin kita tidak akan mewarisi jenis pohon ini di dataran rendah tempat permukiman orang.
Selain sebagai tanaman obat, pohon anti pikun ini juga ditanam sebagai penghias taman. Di daerah beriklim empat, saat yang paling cantik dari penampilan pohon itu ialah akhir musim gugur, ketika daunnya yang hijau berubah kuning mentega yang cemerlang. Keindahannya memang sebentar, karena daun itu segera gugur. Tetapi pertumbuhannya yang penuh, dan lebih leluasa bergoyang-goyang itu benar-benar mengesankan.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR