Namun, dengan berbagai alasan pendaratan di bandara masih sering dilakukan secara manual. Pendaratan pesawat terbang macam ini tentu mengandalkan pengalaman, keterampilan, dan kewaspadaan seorang pilot. Dalam hal ini faktor human alias manusianya menyatu dengan faktor lainnya, yaitu pesawat dan media, termasuk kondisi cuaca dan situasi landasan.
Lokasi bandara juga ikut andil dalam mulus tidaknya pendaratan pesawat terbang. Ambil contoh lagi Bandara Hasanuddin. Lokasi bandara ini dikelilingi perbukitan. Apalagi di sana angin kencang, termasuk cross wind (angin kencang yang bertiup menyilang sumbu landasan), sering bertiup dan menyulitkan usaha pendaratan. Hujan lebat juga kerap mengguyur kawasan bandara.
Dalam cuaca yang tidak mendukung seperti itu, seorang pilot sudah harus mampu memperhitungkan terjadinya hydroplanning, yaitu genangan air sedalam 2 -3 cm di permukaan landasan. Kondisi ini bisa mengganggu kestabilan pesawat, terutama untuk mendarat. Jika kecepatan, ketinggian, serta pengaturan flap (sirip sayap pesawat terbang) pesawat tidak tepat, pendaratan yang dilakukan akan mengalami floating alias mengambang.
Keterampilan diperlukan
Pendaratan yang mulus juga memerlukan dukungan persiapan yang matang, dari traffic pattern (pola lalu lintas) sampai dengan final approach (sentuhan akhir). Persiapan itu berupa rangkaian pengaturan sudut (approach angle) yang tepat, pengaturan flap yang sesuai, pengaturan kecepatan pesawat yang tepat, yang kemudian berakhir dengan touch down alias pendaratan yang empuk.
Seorang pilot perlu mencermati kecepatan pesawat saat menjelang pendaratan. Pendaratan hanya akan lancar jika kecepatan dan jarak roda di atas permukaan tanah sepadan. Jika kecepatan pesawat terbang masih tinggi saat roda menyentuh permukaan landasan, maka akan terjadi floating. Situasi ini akan mengundang bahaya makin besar jika disertai adanya cross wind dan turbulensi (angin bertiup secara memutar). Apalagi kalau landasannya tidak panjang.
Sebaliknya, jika kecepatan pesawat terlalu lambat saat roda menyentuh permukaan, justru pesawat akan jatuh ketika ketinggian pesawat masih sekitar 30 cm di atas permukaan tanah. Ketika pesawat jatuh, bagian bawah pesawat akan ikut hancur seiring dengan bantingan keras ke permukaan tanah. Saat itu kemungkinan terancamnya keselamatan penumpang semakin besar.
Itu kalau pesawat mendarat secara normal - pesawat mendarat di landasan dengan panjang memadai, tidak ada gangguan cuaca dan gangguan pada pesawat terbang. Bila pesawat mendarat dalam kondisi tidak menguntungkan, misalnya menghadapi cross wind, ada masalah dalam pengaturan flap pesawat, atau kecepatannya tidak optimal, maka pendaratan menjadi petualangan dengan hasil yang serba tidak pasti. Di sini diperlukan pilot dengan keterampilan yang maksimal, pengalaman yang cukup, kewaspadaan, serta kondisi fisik dan mental yang sempurna.
Dengan bekal berbagai pelatihan dan kiat-kiat mendarat pada kondisi tertentu saat masih menimba ilmu di sekolah penerbangan, bukan tidak mungkin seorang pilot mampu mengantisipasi pendaratan dalam segala kemungkinan. Karena itu, bersama keterampilan, kewaspadaan, dan kondisi fisik yang prima, pengalaman dan jam terbang pilot juga menentukan mulus tidaknya sebuah pendaratan. (Suryanto W)
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR