Intisari-Online.com - Tanggal 13-4-2013 pesawat Lion Air JT 904 gagal mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali dan tercebur di laut beberapa puluh meter dari landasan bandara. Kejadian ini bukan yang pertama kali dialami Lion Air.
Percaya atau tidak, kecelakaan yang menimpa pesawat terbang sering terjadi saat pesawat itu melakukan pendaratan. Data di Amerika Serikat juga membuktikan hal itu. Mau tahu sebabnya? Tulisan ini disadur dari majalah Intisari edisi Februari 2007, h. 69.
Awal tahun 2007, tepatnya 18 Januari, Bandara Hasanuddin Makassar harus ditutup selama dua jam lantaran pesawat terbang Lion Air tergelincir di landasan pacu ketika mengakhiri penerbangannya dari Ambon.
Saat kecelakaan terjadi, waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA dan hujan turun begitu derasnya disertai angin kencang. Sebanyak 114 penumpang dan enam orang awak pesawat yang ada di dalamnya selamat. Hanya saja, pesawat lain yang hendak mendarat harus rela membatalkan rencana itu dan mengubah arah menuju Bandara Ngurah Rai, Denpasar.
Lalu, 24 Desember 2006, pesawat B 737-400 Lion Air juga tergelincir ke luar landasan saat mendarat. Lagi-lagi di Bandara Hasanuddin Makassar. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Namun, lalu-lintas penerbangan dari dan ke bandara itu sempat terganggu oleh keberadaan pesawat terbang yang “jatuh pingsan” itu. Karena sulit dievakuasi, pesawat terpaksa dipotong di bagian salah satu mesinnya.
Kejadian serupa sering terjadi di Tanah Air. Hanya saja, tidak semuanya seberuntung peristiwa di atas. Masih banyak peristiwa kecelakaan pesawat terbang saat melakukan pendaratan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Ini menunjukkan, pendaratan pesawat merupakan proses kritis dari pengoperasian sebuah pesawat terbang.
Perlu banyak dukungan
Siapa pun tahu, waktu yang diperlukan untuk take off atau lepas landas dan landing atau mendarat jauh lebih singkat dibandingkan dengan seluruh waktu penerbangan itu sendiri. Namun, kedua fase kritis itu ternyata menunjukkan potensi risiko rawan kecelakaan yang lebih besar dibandingkan dengan keseluruhan fase penerbangan.
Jika dicermati lagi, ternyata tahap pendaratan berisiko lebih besar dibandingkan dengan tahap lepas landas. Seorang pendidik dan instruktur terbang senior Amerika Serikat, Paul A.C., mengutip angka dari NTSB (Badan Keselamatan Penerbangan Amerika Serikat). Sebanyak 1.875 kali kecelakaan di Amerika Serikat terjadi akibat pendaratan fatal, termasuk di dalamnya kecelakaan penerbangan di sekolah-sekolah penerbangan, penerbangan santai, atau olahraga. Semuanya terjadi dalam kurun waktu 17 tahun saja (1983 - 2000).
Ada beberapa faktor yang membawa pendaratan pesawat terbang lebih berisiko. Berbeda dengan proses lepas landas yang dimulai dari gerakan lambat pesawat yang menjadi semakin cepat, pendaratan justru dimulai dari kecepatan jelajah yang kemudian berangsur melambat, ditambah lagi dengan adanya gaya tarik Bumi terhadap bobot pesawat yang bergerak turun itu.
Dari faktor manusia juga terjadi perbedaan antara saat lepas landas dengan saat mendarat. Ketika lepas landas, umumnya pilot dalam kondisi lebih segar sesudah beristirahat. Sebaliknya ketika pendaratan, pilot berada dalam kondisi yang relatif lebih lelah akibat kejenuhan dalam lingkungan penerbangan, sehingga staminanya menurun. Dengan demikian juga kewaspadaan pilot ikut mempengaruhi.
Lalu apa faktor yang mendukung keberhasilan pendaratan sebuah pesawat terbang? Yang pertama adalah fasilitas yang dimiliki sebuah bandara tempat pesawat itu mendarat. Ambil contoh, Bandara Hasanuddin, Makassar. Bandara itu memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan canggih. Misalnya,Automatic Landing Systems (ALS), FASI (untuk melihat sudut ketinggian posisi pesawat pada fase mendarat), dan peralatan radar. Melalui fasilitas ini, saat hendak mendaratkan pesawat, pilot sudah mendapat informasi lengkap tentang kondisi cuaca sesaat di tempat tujuan, meski cuaca dapat berubah dalam hitungan detik.
Namun, dengan berbagai alasan pendaratan di bandara masih sering dilakukan secara manual. Pendaratan pesawat terbang macam ini tentu mengandalkan pengalaman, keterampilan, dan kewaspadaan seorang pilot. Dalam hal ini faktor human alias manusianya menyatu dengan faktor lainnya, yaitu pesawat dan media, termasuk kondisi cuaca dan situasi landasan.
Lokasi bandara juga ikut andil dalam mulus tidaknya pendaratan pesawat terbang. Ambil contoh lagi Bandara Hasanuddin. Lokasi bandara ini dikelilingi perbukitan. Apalagi di sana angin kencang, termasuk cross wind (angin kencang yang bertiup menyilang sumbu landasan), sering bertiup dan menyulitkan usaha pendaratan. Hujan lebat juga kerap mengguyur kawasan bandara.
Dalam cuaca yang tidak mendukung seperti itu, seorang pilot sudah harus mampu memperhitungkan terjadinya hydroplanning, yaitu genangan air sedalam 2 -3 cm di permukaan landasan. Kondisi ini bisa mengganggu kestabilan pesawat, terutama untuk mendarat. Jika kecepatan, ketinggian, serta pengaturan flap (sirip sayap pesawat terbang) pesawat tidak tepat, pendaratan yang dilakukan akan mengalami floating alias mengambang.
Keterampilan diperlukan
Pendaratan yang mulus juga memerlukan dukungan persiapan yang matang, dari traffic pattern (pola lalu lintas) sampai dengan final approach (sentuhan akhir). Persiapan itu berupa rangkaian pengaturan sudut (approach angle) yang tepat, pengaturan flap yang sesuai, pengaturan kecepatan pesawat yang tepat, yang kemudian berakhir dengan touch down alias pendaratan yang empuk.
Seorang pilot perlu mencermati kecepatan pesawat saat menjelang pendaratan. Pendaratan hanya akan lancar jika kecepatan dan jarak roda di atas permukaan tanah sepadan. Jika kecepatan pesawat terbang masih tinggi saat roda menyentuh permukaan landasan, maka akan terjadi floating. Situasi ini akan mengundang bahaya makin besar jika disertai adanya cross wind dan turbulensi (angin bertiup secara memutar). Apalagi kalau landasannya tidak panjang.
Sebaliknya, jika kecepatan pesawat terlalu lambat saat roda menyentuh permukaan, justru pesawat akan jatuh ketika ketinggian pesawat masih sekitar 30 cm di atas permukaan tanah. Ketika pesawat jatuh, bagian bawah pesawat akan ikut hancur seiring dengan bantingan keras ke permukaan tanah. Saat itu kemungkinan terancamnya keselamatan penumpang semakin besar.
Itu kalau pesawat mendarat secara normal - pesawat mendarat di landasan dengan panjang memadai, tidak ada gangguan cuaca dan gangguan pada pesawat terbang. Bila pesawat mendarat dalam kondisi tidak menguntungkan, misalnya menghadapi cross wind, ada masalah dalam pengaturan flap pesawat, atau kecepatannya tidak optimal, maka pendaratan menjadi petualangan dengan hasil yang serba tidak pasti. Di sini diperlukan pilot dengan keterampilan yang maksimal, pengalaman yang cukup, kewaspadaan, serta kondisi fisik dan mental yang sempurna.
Dengan bekal berbagai pelatihan dan kiat-kiat mendarat pada kondisi tertentu saat masih menimba ilmu di sekolah penerbangan, bukan tidak mungkin seorang pilot mampu mengantisipasi pendaratan dalam segala kemungkinan. Karena itu, bersama keterampilan, kewaspadaan, dan kondisi fisik yang prima, pengalaman dan jam terbang pilot juga menentukan mulus tidaknya sebuah pendaratan. (Suryanto W)