Intisari-Online.com - Setelah tiga tahun mencoba untuk memiliki anak, pasangan dari Belanda yang telah menikah memutuskan untuk melakukan proses bayi tabung. Tentu saja setelah melalui tes medis yang membuktikan bahwa sang suami memang tidak dapat memproduksi sperma.
(Pilih Inseminasi Buatan atau Bayi Tabung?)
Secuil kisah pengantar ini mungkin lazim di Indonesia. Memperoleh anak melalui bayi tabung memang masih menjadi kontroversi di Indonesia, tapi tetap saja, tidak sedikit pasangan yang memilihnya sebagai cara mendapatkan keturunan.
Nah, untuk kasus pasangan Belanda tadi, masalahnya menjadi lebih kompleks karena suami tidak ingin sperma yang didonasikan berasal dari orang asing. Alasannya, dia tidak ingin anaknya tidak mewarisi gen dari pihak keluarganya. Sayangnya, dia tidak memiliki saudara laki-laki. Hingga akhirnya membawa mereka pada suatu solusi yang tidak umum dilakukan, menggunakan sperma dari ayah sang suami.
(Mendesain Bayi Unggul Lewat Bayi Tabung)
Singkat cerita, setelah semua pihak keluarga setuju dan pihak rumah sakit melakukan perdebatan, proses bayi tabung yang tidak lazim ini pun dilakukan. Lagi pula, pada dasarnya menyumbangkan sperma, telur ataupun rahim bukanlah praktik yang ilegal. Hanya saja, muncul masalah lain, yaitu komplikasi yang akan terjadi dalam menentukan ayah sesungguhnya dari sang anak.
Para ahli memiliki berbagai pandangan mengenai kasus bayi tabung intrakeluarga ini. Namun, sebagian besar berpendapat praktik ini tidak perlu dilarang, dapat dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu dan pasangan yang melakukan praktik ini harus melakukan langkah hati-hati keitka membesarkan anak tersebut.
Praktik bayi tabung intrakeluarga ini sebenarnya tidak hanya dilakukan dengan alasan yang sama dengan pasangan dari Belanda tadi. Bisa saja alasannya untuk memangkas waktu dan biaya yang diperlukan untuk melakukan prosedur bayi tabung. Hal ini disampaikan American Society for Reproductive Medicine (ASRM).
Masalah utama yang dihadapi dalam praktik ini adalah situasi ketika orang yang memberikan sumbangan (sperma, telur atau rahim) ingin mengambil peran sebagai orangtua dari sang anak. Untuk kasus pasangan dari Belanda, bisa saja sang kakek mengalami kesulitan untuk membatasi dirinya masuk ke dalam keluarga anaknya.
Selain itu, konsep tabu pun dapat muncul dalam kasus ini. Dengan kondisi struktur keluarga yang tidak lazim dapat menyebabkan efek yang negatif terhadap kualitas hidup anak. Seperti munculnya masalah emosional dan kebingungan dengan identitas diri sang anak.
Para ahli, yang kebanyakan tidak melarang praktik ini hanya mengharapkan aturan untuk menghindari terjadinya proses bayi tabung intrakeluarga yang bersifat inses karena dapat menimbulkan berbagai kelainan genetik. Contohnya larangan pemberian sperma dari ayah pada anak perempuan kandungnya karena suami dari anaknya tersebut mandul. Selain itu, tidak disarankan juga untuk menggunakan sperma dari orang yang telah berusia lebih dari 40 tahun. (MyHealthNewsDaily)