Intisari-Online.com - Dalam buku Healthy Sexual 3 terbitan PT Intisari Mediatama persoalan keperawanan ini juga dibahas secara mendalam. Di masa lalu, darah di malam pertama menjadi tanda keperawanan seorang wanita. Sehelai kain putih dijadikan alas tidur kedua mempelai. Jika di pagi hari tak ada bercak, secara adat sang suami berhak mengembalikan mempelai putri pada keluarganya. Pernikahan batal. Bahkan ada yang menuntut mahar dikembalikan.
(Raja Swahili Tawarkan 200.000 Rupiah per Bulan Bagi Gadis yang Mampu Menjaga Keperawanannya)
Si wanita akan dikucilkan dan menanggung malu selamanya. Sampai akhirnya ada lelaki yang bersedia mengawininya, tapi ia harus dibawa pergi dari komunitas itu.
Ternyata, pemuliaan keperawanan masih dianut sebagian lelaki hingga masa kini. Bahkan mungkin sebagian besar lelaki. Dra. Ieda Purnomo Sigit Sidi, psikolog, memahami bahwa kepercayaan orang yang menjumpai istrinya tidak perawan akan terlukai. Tapi ia mengingatkan, robeknya selaput dara bukan hanya akibat hubungan seksual. Bisa jadi karena selaputnya terlalu kenyal, lubangnya terlalu besar, atau bahkan jatuh dari sepeda sewaktu kecil.
(Gadis yang Menjual Keperawanannya Ini Telah Menemukan Pembelinya yang Sudi Membayar Rp28 Miliar)
Justru kepada lelaki seperti itu Ida bertanya, sudahkah ia memberi hak pada istrinya untuk menuntut keperjakaan dirinya? Dikatakan, setiap orang memiliki masa lalu, sementara kehidupan adalah tiga serangkai: kemarin, kini, dan esok. Bukankah masih ada hari ini ke depan untuk membangun komitmen baru, rasa kepercayaan baru, ketimbang mengubek masa lalu yang membuat perkawinan itu jadi neraka?
Itulah akibat dunia ini didominasi laki-laki. "Mereka yang membuat peraturan, pastilah dicari yang tidak menyusahkan mereka. Jadi, tuntutan lebih banyak ditujukan pada perempuan."
Makna selaput dara
Perempuan atau ibu selalu melambangkan kesucian, ditempatkan secara sakral, dan dijaga kesuciannya. Misal, istilah Ibu Pertiwi, atau Shinta Obong dalam kisah Ramayana. Jika tak mau simbol ini rusak, perempuan harus bisa menjaga diri. Ingat, tambah Ieda, perempuan adalah yang di-”empu”-kan.
Ia mengajak merenungi, mengapa Tuhan memberi perempuan selaput dara, dan tidak selaput perjaka pada lelaki? Karena, perempuan diberi Tuhan sebuah rahim. Di sinilah Tuhan meletakkan makhluk ciptaan-Nya. Tuhan mau, anak yang di dalam rahim itu jelas orangtuanya, bin maupun bintinya. Itulah maka dengan selaput dara ditutup-Nya jalan menuju rahim tempat sperma membuahi sel telur. Hanya suami sah yang berhak memasukkan sperma untuk membuahi sel telur, sehingga anak itu jelas bin dan bintinya.
Secara psikologis, bila seseorang tak jelas siapa bapaknya akan repot seumur hidupnya. Kalau siapa ibunya, mudah dilacak, yakni siapa yang melahirkan dia. Tapi siapa bapaknya, tak ada saksi yang melihat. Itulah maka ada selaput dara. Dari satu bapak saja kita tidak tahu benih mana yang membuahi, apalagi kalau "bapak"-nya lebih dari satu.
Dalam pernikahan, saat ijab kabul, wanita harus memiliki wali yaitu ayahnya sendiri. Ucapan penyerahan putrinya harus langsung disambut ucapan penerimaan mempelai pria. Itulah estafet. Allah menitipkan gadis itu ke ayahnya, lalu ayahnya menyerahkan ke suaminya. "Perempuan tak boleh tidak terlindungi sepersekian detik pun, karena ia memiliki rahim tempat Tuhan mencipta," ujar Ieda.
Lalu, laki-laki, lebih bebas? Ieda menyodorkan surah Yassin ayat 65, "Ketika tangan dan kaki berkata" (salah satu lagu almarhum Chrisye), bahwa kelak di akhirat tangan dan kaki kita akan mengaku kepada Tuhan telah digunakan untuk apa saja. Termasuk kelamin, dimasukkan ke mana saja, dalam ikatan perkawinan atau tidak, spermanya membuahi atau tidak, semua harus dipertanggungjawabkan pada Tuhan. Jadi, walau tak punya selaput dara, sebagai imam yang memimpin dirinya sendiri, beban laki-laki lebih berat dari perempuan, di antaranya tak boleh mengumbar kelamin ke sana ke mari.
Sayangnya, sebagian masyarakat memandang selaput dara hanya sebagai beban dan pengekang kebebasan. Padahal, "Itulah proteksi Allah terhadap perempuan."