Intisari-Online.com -Berita tentang perselingkuhan, seperti yang terjadi pada Bupati Katingan Ahmad Yantenglie bukanlah hal yang baru. Meski demikian, masih banyak orang yang bertanya-tanya: mengapa seseorang bisa berselingkuh?
(Berniat Selingkuh, Wanita Ini Malah “Kencan” dengan Mertuanya)
Simak ulasan berikut ini untuk menemukan jawabannya.
Lima alasan ini dikelompokkan atas apa yang berhasil ditemukan dari berjuta-juta alasan yang dikemukakan oleh para klien melalui proses-proses konseling yang panjang. Tak hanya semata alasan yang keluar dari mulut si klien, namun masuk lebih dalam! Berikut ini penuturan psikolog Ratih Ibrahim.
Alasan yang Pertama adalah kesempatan dan kondisi lingkungan. Maksudnya, karena kesempatannya memang ada, terbuka lebarrrrr sekali. Selain itu semua orang (sepertinya) melakukan hal itu. "Mau tidak mau saya jadi termotivasi, terkondisi untuk berselingkuh. Supaya saya jadi 'normal' di antara teman-teman, lingkungan saya. Karena dengan tidak punya selingkuhan, membuat saya seolah-olah jadi makhluk ajaib. Dan saya tidak mau diberi label sok alim, takut pasangan, bukan lelaki tulen, banci, dan lain-lain. Jadi, menyelewenglah saya, berlingkuhlah saya, karena arusnya membuat saya seakan-akan memang harus demikian."
Alasan yang Kedua adalah tidak sengaja jatuh cinta. Maksudnya begini, "Sumpah. Saya tidak kepingin jatuh cinta lagi. Selama ini saya beranggapan sampai dengan yakin bahwa pasangan adalah cinta sejati saya, dan akan demikian untuk selama-lamanya, lalu tiba-tiba saya bertemu dengan si dia. Entah dalam waktu yang seketika atau juga lantaran saling sering bertemu, lama-lama perasaan jatuh cinta semakin terasakan, semakin lama semakin dalam, semakin intens, semakin tidak terhindarkan, dan semakin menggila. Sampai kemudian saya tidak mampu lagi mengendalikan segala dorongan untuk mewujudkan kejatuhcintaan saya kepada si dia dalam perilaku, yang merujuk kepada segala bentuk perselingkuhan."
Alasan yang Ketiga adalah pola asuh. Maksudnya? Pola asuh dalam keluarga yang memang sifatnya sangat permisif terhadap perselingkuhan. Bahwa memiliki relasi asmara di luar perkawinan adalah hal yang sangat lazim. Bahwa kesetiaan bukan sesuatu yang big deal dalam keluarga. Yang value, nilai komitmen dalam keluarga sifatnya minimal, atau bahkan artificial di situ. Sehingga, semua hal itu dibawa serta ke usia dewasa, termasuk ketika masuk ke dalam kehidupan perkawinan.
Alasan Keempat adalah balas dendam. A pay back. Balas dendam terhadap apa? Balas dendam terhadap segala sesuatu yang pernah terjadi di masa lalunya. Traumanya. Trauma yang bagaimana? Setiap orang mengalami pengalamannya sendiri-sendiri. Karena itu sifatnya sangat subjektif dan kasuistik. Jawaban atas alasannya tidak seragam. Bukan dikarenakan oleh sebuah penyebab yang sama. Misalnya pada satu orang bisa saja karena di suatu saat di masa lalunya ia dikhianati kekasihnya, dikhianati pasangannya - istrinya sehingga kemudian ia melakukan hal yang sama. Atau bahkan bisa jadi bukan ia sendiri yang mengalaminya melainkan orang lain, misalnya orangtuanya, saudaranya, atau sahabatnya. Lalu ia mengambil pengalaman luka itu sebagai alasan untuk mendendam. Atau bisa juga sebagai bentuk pembalasan atas pelecehan-pelecehan yang pernah dialaminya. Baik memang secara sungguh-sungguh ia alami maupun yang sebetulnya hanya ada dalam pikirannya sendiri saja. Misalnya bahwa ia jelek, miskin, pendek, aneh, dan berbagai alasan lain sehingga ia tidak cukup berharga bagi pasangannya. Bahkan bisa saja ia melakukan perselingkuhan sebagai bentuk pembalasan dendam terhadap ketakutan-ketakutannya sendiri, pemikiran-pemikirannya sendiri terhadap sebuah relasi yang sakit.
(Pria atau Wanita, Siapa yang Paling Rentan Selingkuh dengan Teman Kerja di Kantor?)
Alasan Kelima, adalah berselingkuh sebagai bagian dari adanya kebutuhan untuk mengisi kekosongan dalam dirinya. Sifatnya memang eksistensial. Pada dasarnya setiap orang butuh untuk bisa eksis sehingga kehadirannya di dalam hidup ini dihayatinya sebagai bermakna. Meski demikian, pada dasarnya ada ruang-ruang kosong yang menanti untuk diisi dalam diri setiap orang. Some voids. Keterisian kekosongan itu menjadi dambaan pada kita, baik kita sadari maupun tidak. Secara sadar maupun tidak kita berupaya untuk mengisi ruang kosong tersebut. Kita lalu melakukan pencarian-pencarian. Dan ketika kita bertemu dengan seseorang kita merasa adanya kecocokan yang timbul akibat chemistry yang terjadi ketika ada sebuah relasi. Chemistry yang terjadi menimbulkan sensasi rasa yang indah, seperti rasa senang, pas, suka, bahagia, cinta, dan lain sebagainya. Dan kita merasa dia adalah our soul mate, pasangan hidup kita.
Masalahnya sekarang adalah, apakah satu orang saja cukup untuk memenuhi seluruh ruang kosong yang kita miliki dalam diri kita itu? Jawabnya, tentu saja tidak. Karenanya, setelah beberapa waktu kemudian, ketika masa bulan madu relasi usai, kita kembali merasakan adanya ruang-ruang kosong yang masih tetap kosong, dan belum terpenuhi. Kemudian proses pencariannya dimulai kembali. Sampai pada suatu ketika kita bertemu orang lain yang rasanya cocok. Betulkan demikian? Sebetulnya ya tidak juga. Apakah ketika kita melepaskan pasangan kita demi si dia, otomatis segala kerinduan pemenuhan diri kita akan terpenuhi? Jelas tidak. Mengapa? Si dia mampu melengkapi kekosongan itu lantaran ruang kosong yang lain sudah dipenuhi oleh pasangan sejati kita sendiri. Sayangnya hal ini lebih sering tidak disadari oleh si pelaku perselingkuhan.