Intisari-Online.com - Banyak penelitian tentang gizi dan psikologi membuktikan, kecerdasan anak erat kaitannya dengan riwayat pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik mereka. Anak yang tumbuh-kembang dengan sehat, kecerdasannya dijamin akan lebih baik.
Masalahnya, dapatkah tumbuh-kembang anak direkayasa, apalagi kalau itu menyangkut kecerdasannya? Kalaupun bisa, sampai batas mana dapat dikendalikan? Lantas, seperti apa bentuk rekayasa itu?
Fondasi kecerdasan anak ternyata bisa direkayasa melalui terapi gizi dan stimulasi psikologi. Uniknya, itu semua bisa dilakukan sendiri di rumah! Berikut paparan para pakar dari Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga (GMSK) IPB Bogor serta Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI Jakarta.
Rekayasa asupan gizi
"Kecerdasan anak bisa direkayasa!" tandas Ir. Hadi Riyadi, M.S., ahli gizi dari GMSK IPB. Cuma, "Pengertian 'rekayasa' di sini bukanlah untuk menghasilkan manusia super. Tapi, untuk menjamin agar setiap anak lahir sehat, baik fisik maupun mental. Hingga mereka berkesempatan mencapai potensi optimalnya."
Setidaknya ada dua hal yang sangat menentukan tumbuh-kembang anak, yaitu faktor keturunan (hereditas) dan lingkungan. Hanya saja, faktor keturunan sulit dikendalikan. Kalaupun bisa, misalnya lewat teknologi genetika, penerapannya pada manusia masih dihadang banyak tantangan, baik etika, moral, maupun religi. Sebaliknya, sekalipun seorang anak lahir dari pasangan yang faktor hereditasnya baik, kalau lingkungannya kurang mendukung, tumbuh-kembangnya tetap tidak maksimal.
Karenanya, rekayasa tumbuh-kembang anak paling aman dengan mengendalikan faktor lingkungan. Antara lain mengelola asupan gizinya.
Dampak rekayasa gizi terhadap kecerdasan anak pernah diteliti di Guatemala, Amerika Latin, selama 20 tahun. Melibatkan banyak ahli gizi, dan psikolog.
Setiap wanita hamil dan bayi kurang gizi yang diteliti diberi makanan yang kadar kalori dan proteinnya berbeda-beda selama 3 tahun. Mereka dipilah dalam kelompok: yang mendapatkan paket makanan (suplemen) berkalori dan berprotein rendah, sedang, dan tinggi. Sementara zat gizi lain, yakni vitamin dan mineral, diberikan dalam jumlah sama.
Setelah berusia 3, 15, dan 24 bulan, anak-anak - termasuk bayi yang kemudian dilahirkan para ibu hamil - diteliti perkembangan kecerdasan dan psikologisnya.
Hasilnya, "Bayi usia 3 bulan yang mendapatkan suplemen kalori-protein lebih tinggi, perkembangan motoriknya lebih baik. Setelah mereka berusia 15 dan 24 bulan, perkembangan motorik maupun mentalnya sama-sama semakin membaik sejalan dengan tingginya suplemen kalori-protein.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan sampai mereka berusia 8 tahun. Pemantauan terhadap anak berusia 3, 4, dan 5 tahun hasilnya sepola dengan ketika mereka berusia 24 bulan. Meningkatnya jumlah suplemen kalori-protein meningkatkan pula perkembangan psikologis mereka, termasuk IQ. Begitu pun ketika mereka berusia 6 dan 8 tahun.
Bisa dikejar sampai usia 5 tahun
Hadi mengingatkan, perkembangan fisiologis manusia terdiri atas beberapa tahapan, yakni tahapan janin, bayi, kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Namun ia menekankan, "Secara fisiologis, masa janin dan bayi merupakan tahapan tumbuh-kembang paling rawan. Saat itulah sel tubuh sedang tumbuh sangat pesat, termasuk sel-sel pembentuk jaringan otak."
"Bayangkan, berat bayi sehat usia 4,5 bulan kira-kira sudah 2 kali beratnya waktu lahir," tambah Ir. Faisal Anwar, M.S., juga ahli gizi dari GMSK IPB. Sejak usia 3 bulan beratnya bertambah 750 - 1.000 g/bulan. Usia 1 tahun beratnya mencapai 3 kali berat lahir, usia 2 tahun 4 kalinya, dan menginjak 5 tahun sudah 5 kali berat lahir. Selama masa balita (1-5 tahun) laju pertumbuhannya rata-rata 200 - 250 g/bulan.
Semua sel otak, yang disebut neuron, sudah terbentuk saat bayi masih dalam kandungan. Jumlah dan ukurannya sangat ditentukan oleh konsumsi gizi sang ibu sewaktu hamil. Sampai anak berusia 2 tahun, neuron berkembang pesat, untuk selanjutnya saling bertautan. Begitu pun dengan perkembangan kecerdasan anak.
Selama masa kritis pertumbuhan otak ini, kebutuhan zat gizi per unit berat badan paling tinggi. Dalam tempo terbatas ini (sejak ibu dinyatakan hamil sampai anak berusia 2 tahun) suatu rangsangan tertentu akan memberikan dampak sangat nyata.
Makanya, Hadi menegaskan, "Rekayasa gizi harus segera dimulai sejak janin." Begitu ketahuan hamil, si ibu mesti mengatur makan-minumnya agar memenuhi syarat gizi. Tenor, lebih baik lagi kalau sebelum hamil ibu sudah mempersiapkan diri.
Kalau selama hamil konsumsi gizi ibu kurang tercukupi, asal segera diperbaiki sepanjang masa kritis pertumbuhan otak, dampaknya akan tetap sama baiknya terhadap kecerdasan anak. Tapi, bagaimana kalau anak sudah mendekati akhir usia balita atau lewat balita?
Soal ini pernah diteliti di Cali, Kolombia, pada anak-anak usia prasekolah (3,5 tahun) penderita kurang gizi tingkat sedang dan berat. Pada awal suplementasi dan 4 tahun sesudahnya perkembangan kognitif mereka diteliti.
Hasilnya mengagetkan. Perkembangan kognitif mereka ternyata meningkat pesat, padahal usia mereka sudah melewati masa kritis pertumbuhan otak saat menjalani terapi gizi. Sementara selama ini diyakini kekurangsempurnaan perkembangan sel otak akibat kekurangan gizi selama masa kritis tidak dapat diperbaiki lagi.
Kesimpulan penelitian ini setidaknya membersitkan harapan. Rekayasa gizi masih lumayan efektif dilakukan terhadap anak-anak menjelang akhir usia balita.
Bagaimana kalau mereka sudah memasuki usia sekolah (7 tahun)? "Sepengetahuan saya belum pernah ada penelitian mengenai rekayasa gizi terhadap anak usia sekolah," ungkap Hadi. Kalaupun dipaksakan, diperkirakan hampir tak ada hasilnya.
Rekaman konsumsi gizi
"Selain kalori dan zat gizi lain mesti mencukupi, protein terutama sangat dibutuhkan selama 3 bulan terakhir kehamilan sampai bayi berusia 12 bulan," urai Faisal.
Lebih jauh Ir. Faisal Anwar, M.S. menekankan pemberian dan porsi makanan bayi sangat bergantung pada banyaknya ASI (air susu ibu). Bagi ibu yang tidak dapat menyusui bayinya dengan jumlah ASI yang cukup, perlu mempertimbangkan penggunaan PASI (pelengkap ASI) sebagai makanan tambahan untuk melengkapi ASI. Namun yang terbaik, bayi sepenuhnya diberi ASI sampai ia berusia 2 bulan.
"Tidak bijaksana memastikan kapan bayi harus diberi makanan tambahan," tandas Faisal. Sebab bergantung pada jumlah ASI yang dihasilkan ibunya dan keperluan setiap bayi berbeda.
Sebagai acuan, makanan padat diberikan bertahap sejak bayi berusia 4 - 5 bulan hingga 6 - 7 bulan. Setiap bulan seporsi makanan padat menggantikan sekali pemberian ASI atau sebotol susu formula. Pada usia 7 bulan bayi sudah mendapatkan 3 kali makanan padat dan 2 kali ASI atau formula lanjutan, ditambah buah atau sari buah. Jika bayi diberi nasi tim, sejak usia 10 bulan nasi tim tak perlu lagi disaring. Cukup diberikan lembek.
Bahan-bahan untuk makanan padat sebaiknya diberikan pada umur yang tepat. Serealia, seperti tepung beras, bisa diberikan pada usia kurang dari 2 bulan. Beberapa macam buah-buahan, seperti pisang, jeruk, apel, pir, pepaya, tomat, alpukat, mulai diberikan saat usia bayi sudah 2 - 3 bulan.
Sayuran, seperti bayam, wortel, kacang-kacangan, kangkung, tomat, labu kuning, bisa diberikan sejak bayi berusia 3 - 4 bulan. Paling lambat pada usia 6 bulan. Dicampurkan pula sumber utama protein, seperti daging sapi, daging ayam, hati, daging ikan, dan juga tempe. Telur - cukup kuningnya saja - diberikan ketika bayi berusia 6 bulan. Daging ikan mengandung asam lemak omega-3, yang sangat menunjang optimalisasi kecerdasan anak.
Bagaimana cara mengetahui anak kita tergolong sehat atau kurang gizi? "Cara termudah dengan mengamati ukuran tubuhnya secara antropometris," jawab Faisal. Caranya, angka berat anak dibagi dengan nilai standar berat badan menurut umur, kemudian dikalikan 100%. Nilai standar dapat diperoleh dengan mencocokkan jenis kelamin dan umur anak.
Nilai berat badan di atas 80% berarti ia berstatus gizi baik. Pertanda selama ini makanan dan/atau minumannya cukup gizi. Kalau 70 - 80%, status gizinya sedang. Artinya, konsumsi gizinya selama ini cukup memadai, tapi perlu ditingkatkan lagi. Anak yang berat antropometrisnya cuma 60 - 70% termasuk kurang gizi! Orang tua mesti segera merencanakan nilai gizi menu hariannya secara lebih serius. Kalau kurang dari 60%, tandanya ia menderita gizi buruk alias kurang makan! (Kumpulan Artikel Psikologi Anak 1)