Intisari-Online.com – Setiap kali kita merasa benar-benar bahagia (seperti terlalu senang) atau bahkan hanya sehat dan puas saja, otak kita melepaskan serotonin neurotransmitter. Tapi bentuk serotonin ini hanya memuat lima persen dari total pasokan tubuh. Sembilan puluh lima persen lainnya, dari sebuah penelitian, sibuk mengatur seberapa baik tubuh membakar kalori melalui lemak coklat. Jadi, menghambat serotonin dapat mengurangi obesitas.
Disimpan di sekitar tulang selangka adalah deposito jaringan adiposa cokelat (lemak) yang membantu membakar energi. Lemak coklat pada orang gemuk sungguh langka, dan selama bertahun-tahun para peneliti telah bertanya-tanya bagaimana mekanisme penurunan berat badan tersebut. Tim dari McMaster University telah menemukan adanya “serotonin perifer” yang membuat lemak cokelat kurang aktif karena enzim penyumbatan.
“Terlalu banyak serotonin ini bertindak seperti rem parkir pada lemak cokelat,” kata Gregory Steinberg, seorang profesor kedokteran dalam sebuah rilisnya. “Anda dapat tancap gas dari lemak cokelat, tetapi tidak bisa kemana-mana.” Nah, dengan menghambat serotonin ini maka dapat mengurangi obesitas.
Lemak cokelat ini diyakini sebagai sisa-sisa evolusi – mirip dengan usus buntu – yang membantu menjaga mamalia untuk tetap hangat, tidak menggigil. Beberapa tahun kemudian penelitian menyebutkan keuntungan lemak cokelat ini terutama dalam mempercepat metabolisme tubuh. Namun, dengan bertambahnya usia, simpanan lemak cokelat yang menguntungkan ini, karena membakar lemak putih yang terakumulasi di atas perut dan paha, mulai berkurang. Dan tergantung pada apa yang kita makan, lemak cokelat ini pun bisa berhenti bekerja sepenuhnya.
Steinberg dan rekan-rekannya ingin memahami bagaimana sebenarnya pembakaran energi dengan lemak cokelat ini berhenti. Di laboratorium mereka menunjukkan bahwa enzim hidroksilase triptofan, atau Tph1, pada tikus kurus. Dengan menggunakan Tph1 dalam penelitian lanjut mereka, kedua kelompok tikus menggunakan diet tinggi lemak meniru diet tradisional. Enzim yang diproduksi serotonin lebih sedikit dari tikus normal, menjaga tikus itu tetap sehat.
“Jika kita menghapus enzim ini baik secara genetik atau menghambat aktivitasnya menggunakan bahan kimia, obat, tikus memiliki serotonin yang rendah dan mereka tidak mengembangkan diabetes, obesitas, atau penyakit hati berlemak,” jelas Steinberg.
Temuan ini menurut mereka menjadi jalan untuk obat penurunan berat badan di masa depan. Selama ini, sebagian masyarakat lebih mengandalkan obat penurunan berat badan hingga mencapai jumlah ideal yang diinginkan. Namun efek samping yang terjadi sungguh parah, termasuk komplikasi jantung dan risiko depresi. Menghambat enzim yang memicu penyimpanan energi, membantu meningkatkan jumlah energi yang dibakar.
“Sebenarnya, metode penurunan berat badan yang jauh lebih aman adalah meningkatkan pengeluaran energi, bukannya mengurangi nafsu makan, yang lebih berisiko,” kata Steinberg. Saat ini mereka sedang mengadakan pendekatan secara farmakologis untuk membuat pil pengganti tradisional penurunan berat badan. (medicaldaily)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR