Advertorial
Intisari-Online.com -Ketika Perang Teluk (1991) berkobar, pasukan koalisi pimpinan AS berhasil melumpuhkan kekuatan militer Irak melalui gempuran rudal-rudal balistik Tomahawk yang diluncurkan dari kapal-kapal perang.
Demikian pula ketika pasukan Koalisi AS, Inggris, dan Perancis menggempur Suriah pada 14 April 2018 lalu.
Rudal-rudal jelajah jarak jauh yang ditembakkan dari kapal perang dan pesawat tempur berjatuhan menghajar sasaran di Suriah tanpa bisa dicegah.
Lepas dari itu, setiap peperangan yang berlangsung di berbagai negara seperti di Irak dan Suriah, sebenarnya selalu dianalisis oleh para ahli TNI.
Hasil analisis itu kemudian dibahas dalam Rapat Pimpinan TNI (Rapim TNI) yang berlangsung setiap tahun.
Dalam Rapim itu, selain membahas peperangan terkini yang baru saja terjadi, juga selalu dibuat skenario, bagaimana seandainya Indonesia diserang dari negara lain.
Tak sekadar membuat skenario, anggota rapat juga membat simulasi berupa strategi dan taktik militer apa yang harusnya dilakukan.
Baca juga:Saat Denuklirisasi Korut Terancam Batal, Rusia Malah Uji Rudal Balistik Pembawa Nuklir
Biasanya jawaban dari skenario hasil simulasi itu adalah, jika Indonesia harus berperang maka ‘jawabannya’ diwujudkan dalam bentuk latihan-latihan perang yang digelar TNI sepanjang tahun sesuai anggaran yang tersedia.
Pola latihan perang pasukan TNI biasanya selalu mengandaikan jika salah satu wilayah atau pulau Indonesia direbut musuh.
Maka dari itu, pasukan RI akan segera "diturunkan" untuk melancarkan serangan balik demi merebut kembali wilayah itu dan dipastikan menang.
Tapi bisa disimpulkan dalam setiap Rapim TNI, Indonesia jarang sekali mengandaikan jika salah satu wilayahnya suatu saat mendapat gempuran rudal balistik dan cara apa yang harus dilakukan untuk melawannya juga tidak dibahas.
Pasalnya hingga kini Indonesia memang belum memiliki persenjataan antirudal seperti yang dimiliki oleh Singapura, yakni Aster-30 buatan Prancis, Barak 1 dan Iron Dome buatan Israel, dan lainnya.
Pelajaran di Perang Teluk, Perang Suriah, dan juga peperangan di Afganistan menunjukkan bahwa negara yang tidak memiliki pertahanan sistem rudal untuk melawan rudal lawan akan kewalahan ketika mendapat gempuran rudal dalam jumlah besar.
Pasalnya serangan menggunakan rudal merupakan penerapan peperangan asimetris, di mana pihak penyerang melakukan serangan dari jarak jauh ke target musuh dan tanpa terdektesi keberadaannya.
Jika pihak yang diserang tidak memiliki rudal balistik untuk membalasnya, maka persenjataan dan pasukan yang terlatih di negara yang menjadi target gempuran rudal hanya akan menjadi korban tanpa bisa melakukan serangan balasan.
Oleh karena itu, seandainya saja Indonesia sampai digempur rudal balistik oleh musuh, akan menjadi negara yang benar-benar tidak berdaya karena sama sekali tidak memiliki pertahanan antirudal.
Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Rusia pada bulan Mei 2016 dan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin, ketertarikan Indonesia untuk memiliki persenjataan antirudal buatan Rusia sebenarnya sudah disampaikan.
Rudal yang ‘ditaksir’ Presdien Jokowi bahkan dari jenis yang canggih yakni S-200 dan S-400.
Baca juga:Teknologi Terbaru Anti Rudal Nuklir Rusia, Bila Meledak Negara Sebesar Prancis pun Langsung 'Habis'!
Baca juga:S-200, Alat Pertahanan Jadul Suriah yang Sukses Merontokkan Rudal Mahal Tomahawk
Khusus S-400 bahkan merupakan rudal balistik yang bisa digunakan untuk menghantam sasaran apa saja hingga jarak 400 km.
Apalagi jika jumlah peluncur dan rudalnya banyak, S-400 bahkan bisa digunakan untuk menghantam 40 sasaran sekaligus.
Hingga kini rudal S-400 juga merupakan rudal balistik yang paling ditakuti AS karena bisa merontokkan jet tempur siluman dengan mudah.
Oleh karena itu ketika Turki memutuskan ujntuk membeli rudal S-400 Rusia, AS yang selama ini enggan menjual jet tempur F-35 ke Turki jadi kelabakan.
Pasalnya rudal-rudal S-400 Turki bisa merontokkan F-35 Israel.
Seandainya saja dalam Rapim TNI ancaman serangan rudal balistik menjadi tantangan yang harus dijawab maka kepemilikan rudal balistik bagi Indonesia memang tidak bisa dielakkan.
Apalagi Indonesia memiliki banyak pulau yang bisa digunakan untuk menjadi pangkalan rudal.
Jadi selain untuk kepentingan mempertahankan diri dalam upaya mengantisipasi perang asimetris, berkat kepemilikan rudal jarak jauh, detterent effeck Indonesia juga meningkat sekaligus bisa mencerminkan negara yang sakti mandraguna.