Intisari-Online.com – Suku Mokoko tinggal di sisi yang salah dari pulau dua wajah. Kedua bagian dari pulau itu, dipisahkan oleh tebing tinggi, bagaikan siang dan malam. Sisi yang baik, dialiri oleh sungai dan penuh dengan pepohonan, bunga, burung, dan makanan yang mudah didapat serta berlimpah. Sementara, sisi yang lain hampir tidak ada air atau tanaman, binatang liar tinggal besama-sama.
Suku Mokoko mengalami nasib sial karena tinggal di sisi yang ‘gelap’, sementara mereka tidak punya cara untuk menyeberang ke sisi lain. Kehidupan mereka sangat sulit, mereka hampir tidak pernah memiliki makanan dan minuman untuk semua orang, dan hampir setiap hari diteror oleh binatang liar, yang secara teratur memangsa anggota suku.
Legenda menyebutkan bahwa nenek moyang mereka mampu menyeberang dengan bantuan tiang kecil untuk melompat, tetapi selama bertahun-tahun tidak satu pohon pun tumbuh yang cukup kuat untuk tiang lompatan itu. Suku itu percaya hal itu tidak mungkin, jadi mereka pasrah begitu saja, menderita kelaparan dan mimpi tiada akhir sebagai santapan makan malam binatang liar yang kelaparan.
Padahal penduduk suku itu pun tahu, bahwa tepatnya di sepanjang tepi tebing yang memisahkan dua sisi pulau itu, tumbuh pohon yang kecil tapi sangat kuat, untuk dijadikan sarana melompat. Mereka tetap saja ragu. Akhirnya mereka memilih siapa yang akan pertama kali menggunakannya, kepala suku atau dukun.
Tapi ketika mereka berdua diberi kesempatan untuk melompat, mereka merasa begitu takut, mereka tidak berani, mereka berpikir, bisa saja tiang berhenti ketika berada di tengah, atau tidak mampu menahan beban tubuh, atau salah melompat. Mereka benar-benar menempatkan begitu banyak energi ke dalam pikiran rasa takut, hingga akhirnya menyerah begitu saja.
Akhirnya, mereka pun menciptakan cerita-cerita dan legenda tentang tidak mudahnya melompat ke sisi lain dari pulau itu. Mereka menciptakan banyak kisah akan kebodohan dan sembrono saja bila ada yang berani melompat ke sisi pulau itu. Mereka meletakkan tiang, dan siapa pun yang ingin menggunakannya, dipersilakan. Namun, tetap saja, penduduk Mokoko tidak mau melakukannya.
Namun, sepasang pemuda, Naru dan Ariki, yang benar-benar menginginkan kehidupan berbeda, dan didorong oleh kekuatan cinta mereka, suatu hari memutuskan untuk melompat ke sisi lain pulau. Tidak ada yang dapat menghentikan mereka, meski banyak orang berusaha mencegah mereka, dengan meyakinkan mereka akan bahayanya melompat, dan seribu satu penjelasan.
“Bagaimana jika apa yang mereka katakan itu benar?” tanya Naru sedikit ragu.
“Jangan khawatir, mereka bicara begitu banyak tentang lompatan, padahal mereka sendiri tidak pernah melakukannya. Aku sendiri agak takut, tapi tidak terlihat begitu sulit, ‘kan?” jawab Ariki.
“Tapi jika kita salah melompat, ini akan jadi akhir yang mengerikan,” jawab Naru, ragu-ragu.
“Bisa jadi bila kita melompat, akan berakhir buruk, mungkin bisa tidak. Tapi tinggal di sini selamanya pasti akan lebih buruk. Bagaimanapun kita tetap akan menghadapi kematian, kalau tidak dimakan binatang buas, bisa jadi kematian karena kelaparan. Keduanya sama saja berakhir mengerikan, meskipun buat kita tidak akan secepatnya kita alami,” jawab Ariki.
“Kau benar, Ariki. Jika kita menunggu lebih lama lagi kita tidak akan memiliki kekuatan untuk melompat. Mari kita lakukan besok,” kata Naru.
Keesokan harinya, Naru dan Ariki melompat ke sisi baik pulau itu. Ketika mereka mengambil ancang-ancang, mereka berlari, sambil merasakan keinginan mereka, rasa takut hampir tidak terasa saat mereka mengambil napas untuk melompa.
Serasa terbang di udara, mereka merasa bisa saja salah melompat dan kematian menunggu mereka. Tapi ketika mereka mendarat di sisi lain pulau itu, mereka dengan senang hati saling berpelukan. Mereka pikir melompat dengan galah itu sebenarnya tidak buruk selama ini.
Mereka masih mendengar suara-suara di belakang mereka.
“Ah, itu hanya keberuntungan.”
“Mengerikan, melompat dengan tiang.”
Naru dan Ariki pun mengerti mengapa orang-orang tidak ada yang berani melompat, hanya karena mendengar suara-suara orang tanpa mimpi, suara orang-orang dengan rasa takut dan putus asa, yang tidak akan pernah melompat.
Jangan pernah menyerah hanya karena ketakutan yang dirasakan orang yang tidak pernah mencoba apa yang ingin mereka lakukan dalam hidup. Berpikirlah untuk memulai sesuatu yang baru. (*)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR