Keporak-porandaan relasi antarinsan pada perspektif makro dan global, yang kian terasa setelah terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan niscaya menyadarkan setiap pemilik kekuasaan untuk tidak membiarkan diri bersikap dan bertindak hanya karena desakan need for self-glorification, need for dominance, dan keserakahan yang bersarang dalam jiwanya.
Memang bisa dianggap lumrah kalau pemegang kekuasaan bernaluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya. Wajar pula kalau pebisnis dan pemodal bernaluri meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Namun, kehidupan dan relasi antarinsan tidakakan terjamin sejahtera hanya oleh naluri-naluri itu. Bahkan naluri-naluri itu, temtama ketika dibiarkan beroperasi secara dominan sendirian, bisa menjadi sumber gagasan-gagasan, dan tindakan-tindakan kekerasan.
Mengapa kekerasan? Karena ia adalah peranti "efektif" dan "efisien" untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaan, juga untuk meraih keuntungan atau laba sebesar-besarnya.
Setiap pemegatig kekuasaan mestinya sadar ketika kekuasaannya kian bertambah besar, ada orang-orang yang menjadi korban, ada yang merasakan ketakadilan.
Baca juga: Tak Terima Dituduh Sebagai Sponsor Terorisme, Korut Langsung Luncurkan Rudal Balistik
Ketika keuntungan semakin melimpah, ada pihak yang dirugikan, yang merasakan ketakadilan. Maka seyogianya setiap pengugsa politik dan penguasa ekonomi terus berupaya keras untuk menjadikan keadilan sebagai batu penjuru terpenting dalam bersepak terjang politik dan ekonomi.
Kekuasaan boleh dipertahankan, laba boleh diraih, tetapi keadilan niscaya selalu diperjuangkan, dirawat, ditumbuhkembangkan. Kata kuncinya adalah sense of justice.
Demi relasi antarinsan yang benar, masyarakat dunia sangat mengharapkan setiap penguasa politik dan penguasa ekonomi selalu peka pada rasa keadilan. (dr. Limas Sutanto, Sp.KJ – Intisari November 2002)
Baca juga:Tak Disangka, Ternyata ada Sosok 'Bidadari' Cantik dalam Pasukan Brimob saat Menyerbu Napi Teroris!
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR