Intisari-Online.com –Kerusuhan di Mako Brimob oleh napi terorisme pada 10-12 Mei 2018 mengingatkan kembali betapa menyeramkannya aksi-aksi brutal para teroris.
Masih teringat bagaimana nurani kemanusiaan menjerit pedih manakala insan-insan tak bersalah mati sebagai korban kekerasan dalam tragedi pemboman di Legian, Bali Sabtu 12 Oktober 2002, atau yang sebelumnya menimpa WTC, September 2001.
Jutaan manusia menyuarakan nurani mereka dalam getar kepedihan yang tak tertahan. Sekaligus pada detik-detik itu kita diingatkan kembali bahwa tragedi kekerasan bisa merebak di mana saja.
Yang jelas, tebaran peristiwa kekerasan itu berderet sebegitu panjang dan menelan korban nyawa manusia dan harta benda sedemikian banyak, bahkan menghancurkan mental bangsa ketika di belahan Bumi yang lain umat manusia sangat menyadari betapa pentingnya pemerkuatan khazanah mental demi survival dan tumbuh kembang.
Baca juga: Polisi Wanita Ini Mendapat Perlakuan Keji dari Napi Terorisme
Layar televisi berulang-ulang menayangkan gambar-gambar tragedi dan hamparan orang berduka. Mereka menangis. Padahal, kebanyakan dari mereka itu tidak punya salah.
Mereka rakyat biasa, bukan penguasa, bukan konglomerat. Mengapa mereka menangis? Karena berulang menjadi korban kekerasan. Namun, kekerasan oleh siapa? Mengapa kekerasan berulang meruyak?
Rakyat tidak memiliki kekuasaan dan tak memiliki modal raksasa. Namun, ketika segelintir manusia muncul sebagai penguasa politik atau pemilik modal raksasa, cerita bisa berubah sama sekali.
Segelintir insan yang memiliki kekuasaan itu, entah secara politis maupun secara ekonomi, bisa cenderung menghalalkan segala cara untuk menggolkan keinginan mereka, mempertahankan genggaman kekuasaan mereka, bahkan untuk memperluas kekuasaan itu.
Baca juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Teroris Menyerang Kota Tempat Tinggal Kita?
Pada titik-titik ini kekerasan hadir sebagai peranti. Misalnya untuk menggolkan keinginan, pemegang kekuasaan politis dan ekonomi tersebut bisa menggunakan kekerasan guna menakut-nakuti, menindas, atau bahkan menyingkirkan para pesaing atau pengalang mereka. Maka terjadilah lingkar setan kekerasan dan ketidakadilan.
Penggunaan kekerasan sebagai peranti, sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang disebut teroris, melainkan juga oleh mereka yang acap kali disebut sebagai para pemegang kuasa, baik secara politis danekonomi, yang pada umumnya dipandang oleh dunia bukan sebagai teroris.
Yang terkadang berteriak-teriak di panggung dunia menentang dan mengutuk terorisme dan kaum teroris.
Rakyat biasa yang menangis itu bukan penguasa politik, bukan penguasa ekonomi, bukan pula teroris. Mereka asli korban tindak kekerasan, korban ulah para teroris. Nurani kemanusiaan tiada mengenal batas.
Ketika orang Amerika jadi korban, nurani kemanusiaan menjeritkan protes keras menentang kekerasan, ketidakadilan, dan terorisme. Ketika orang Indonesia jadi korban, nurani kemanusiaan juga menjeritkan protes yang sama.
Di tengah jeritan-jeritan nurani kemanusiaan itu, budi merenungkan kembali fakta lingkar setan kekerasan-ketidakadilan-korban-kekerasan-ketidakadilan-korban, yang terus berpusar memangsa orang-orang tak berdosa.
Lingkar setan itu ada di mana-mana, dalam lingkup besar maupun kecil. Inti penggeraknya tak lain adalah keserakahan manusia, need for dominance, dan hasrat pemuliaan diri picik insani (need for self-glorification), yang bersarang kuat dalam diri insan terutama para pemegang kekuasaan.
Keserakahan, nafsu untuk berkuasa dan mendominasi, serta hasrat berkobar untuk memuliakan diri sendiri, adalah sumber mendasaf kekerasan dan teror yang kemudian menganakpinakkan ketidakadilan, korban, sakit hati, lalu melahirkan kekerasan baru, teror baru, ketidakadilan baru, korban baru, sakit hati baru, dan seterusnya.
Baca juga: 'Kekejaman dan Kekejian para Napi Terorisme di Luar Batas Kemanusiaan'
Dari pengertian ini dapat disadari betapa penguasa politik dan penguasa ekonomi bisa memorak-porandakan relasi antarinsan secara sedemikian mendasar, luas, dan signifikan.
Para penguasa tersebut bisa tetap tampil amat santun dan ramah di hadapan publik dunia, seolah mereka adalah pembela kemanusiaan yang antikekerasan, antiketidakadilan, antiterorisme.
Namun, ketika diri mereka dikuasai oleh keserakahan, hasrat untuk memuliakan diri, dan nafsu untuk menguasai dan mendominasi, mereka justiru bisa menjadi sumber tindak kekerasan yang melahirkan korban, ketidakadilan, dan dendam.
Nasib relasi antarinsan pada perspektif makro amat ditentukan oleh kesehatan psikososial para penguasa politik dan penguasa ekonomi.
Keporak-porandaan relasi antarinsan pada perspektif makro dan global, yang kian terasa setelah terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan niscaya menyadarkan setiap pemilik kekuasaan untuk tidak membiarkan diri bersikap dan bertindak hanya karena desakan need for self-glorification, need for dominance, dan keserakahan yang bersarang dalam jiwanya.
Memang bisa dianggap lumrah kalau pemegang kekuasaan bernaluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya. Wajar pula kalau pebisnis dan pemodal bernaluri meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Namun, kehidupan dan relasi antarinsan tidakakan terjamin sejahtera hanya oleh naluri-naluri itu. Bahkan naluri-naluri itu, temtama ketika dibiarkan beroperasi secara dominan sendirian, bisa menjadi sumber gagasan-gagasan, dan tindakan-tindakan kekerasan.
Mengapa kekerasan? Karena ia adalah peranti "efektif" dan "efisien" untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaan, juga untuk meraih keuntungan atau laba sebesar-besarnya.
Setiap pemegatig kekuasaan mestinya sadar ketika kekuasaannya kian bertambah besar, ada orang-orang yang menjadi korban, ada yang merasakan ketakadilan.
Baca juga: Tak Terima Dituduh Sebagai Sponsor Terorisme, Korut Langsung Luncurkan Rudal Balistik
Ketika keuntungan semakin melimpah, ada pihak yang dirugikan, yang merasakan ketakadilan. Maka seyogianya setiap pengugsa politik dan penguasa ekonomi terus berupaya keras untuk menjadikan keadilan sebagai batu penjuru terpenting dalam bersepak terjang politik dan ekonomi.
Kekuasaan boleh dipertahankan, laba boleh diraih, tetapi keadilan niscaya selalu diperjuangkan, dirawat, ditumbuhkembangkan. Kata kuncinya adalah sense of justice.
Demi relasi antarinsan yang benar, masyarakat dunia sangat mengharapkan setiap penguasa politik dan penguasa ekonomi selalu peka pada rasa keadilan. (dr. Limas Sutanto, Sp.KJ – Intisari November 2002)
Baca juga:Tak Disangka, Ternyata ada Sosok 'Bidadari' Cantik dalam Pasukan Brimob saat Menyerbu Napi Teroris!