Intisari-Online.com – Alkisah, seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh kepada ibunya karena sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek. “Anakku,” kata sang ibu sambil bercucuran air mata, “Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tidak bisa menolongmu.”
Ibu kerang terdiam sejenak, lanjutnya, “Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah di perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat.”
Anak kerang itu pun melakukan nasihat ibunya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Dan tanpa disadarinya, sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Semakin lama mutiaranya pun semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.
Akhirnya setelah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara, air matanya berubah menjadi sangat berharga. Kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap sebagai kerang rebus di pinggir jalan.
Kisah di atas adalah sebuah paradigma yang menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan “kerang biasa” menjadi “kerang luar biasa”. Karena itu kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah “orang biasa” menjadi “orang luar biasa”.
Banyak dari kita yang mundur saat berada pada lorong transendental tersebut, karena tidak tahan dengan cobaan yang dialami. Mungkin saat ini kita sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka karena orang-orang di sekitar kita. Tapi cobalah untuk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut. (BMSPS)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR