Titik perkembangan kritis ini dilewatkan oleh orangtua dengan mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran norma sosial dan agama. Anak tidak dapat menyaring mana ajaran yang benar dan mana yang salah.
Namun seiring dengan usianya, dia mulai merasa tidak nyaman. Apalagi ketika anak mulai berinteraksi dengan teman-temannya, guru dan juga orang dewasa lainnya. Terjadi konflik atas apa yang diajarkan oleh orangtua dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan.
Pemahaman atas kondisi yang sebenarnya mulai tumbuh dan mengakar, tapi lagi-lagi anak tidak berdaya. Dia masih tergantung pada orangtuanya. Kebutuhan rasa aman, kasih sayang, dan penerimaan dari orangtua mendominasi fase kehidupannya. Akibatnya kepribadian anak tidak stabil. Dia cemas. Takut. Tidak merasa aman di mana pun berada.
Sisi lain kepribadiannya tidak bisa menerima, akhirnya terbentuk mekanisme pertahanan. Terciptalah kepribadian lain. "Teman bayangan" ini yang tugasnya selalu mengingatkan tentang apa yang dikatakan orangtuanya, karena kepribadian aslinya berontak ingin menjadi diri sendiri, bukan diri ciptaan orang lain.
Secara fisik anak tetap tumbuh mengikuti usianya. Namun secara kepribadian, dia terperangkap dalam masa lalu. Pikirannya kacau, muncul halusinasi auditori (mendengar suara-suara), depresif, dan relasi sosial yang kurang baik. Sementara itu orangtua tidak berubah. Mungkin karena tidak merasa ada yang salah ya. Entahlah.
Apakah gangguan jiwa bisa disembuhkan? Tergantung pada banyak faktor. Tingkat keparahan gangguan, lamanya, kepatuhan minum obat dari psikiater (biasanya memang mereka memerlukan pengobatan), dan -paling penting- dukungan sosial (keluarga, teman, lingkungan kerja).
Semakin positif lingkungan sosialnya, maka akan mempercepat proses rehabilitasi mereka. Memindahkan mereka ke lingkungan baru diperlukan juga.
Klien saya yang lainnya, saya minta dia pindah dari rumah orangtuanya. Untuk mencegah "penularan" lebih parah. Proses penyimpangan berpikirnya sudah mulai mengganggu aktivitas hidupnya karena terkena "paparan" distorsi kognitif yang dilakukan orangtuanya.
Bila kondisi tersebut diteruskan, bukannya tidak mungkin anak itu akan meningkat keparahan gangguannya. Di sinilah dilema biasanya terjadi. Anak-anak yang seumur hidup tinggal bersama orangtuanya merasa bersalah dan seolah-olah menjelma menjadi anak durhaka bila meninggalkan orangtuanya.
Sedangkan orangtuanya berperilaku seolah-olah tidak berdaya tanpa anak-anaknya itu. Mereka akan berpura-pura sakit (malingering), mengiba-iba, bahkan marah meluap dengan kata-kata makian.
Anak akan merasa makin tidak berdaya untuk pergi dari rumah menuju lingkungan baru. Peran psikolog penting pada tahap ini.
--
Penulis: Psikolog Naftalia Kusumawardhani
Selengkapnya, klik di sini.
(kompas.com)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR