Intisari-Online.com - Kerusuhan terjadi di rumah tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Selasa (8/5/2018) malam.
Menurut Polri, kerusuhan ini dipicu oleh cekcok antara petugas dengan tahanan terorisme.
Belakangan ISIS, melalui kantor beritanya, mengklaim bahwa mereka berada di balik kerusuhan tersebut.
Dalam sebuah video, beberapa orang yang diduga merupakan tahanan terorisme di Mako Brimob mengikrarkan perjuangan untuk berjihad.
Baca juga: Berkat Teknologi Canggih Israel, Etiopia yang Miskin Kini Jadi Surga Pertanian nan Makmur!
Kondisi pun pada akhirnya memunculkan pertanyaan, mengapa para tahanan maupun narapidana terorisme seolah sangat sulit untuk berubah?
Mengapa banyak dari mereka yang bisa begitu ‘teguh’ pada keyakinannya?
Padahal, selain memukul mundur teroris secara fisik, negara-negara di dunia juga mulai menggalakkan program deradikalisasi untuk “menyembuhkan” teroris.
Program-program ini biasanya menganggap ekstrimisme agama sebagai penyakit mental dan berisi konselor dan psikolog yang berusaha meyakinkan ekstremis agama bahwa pandangan mereka tidak memiliki dasar teologi yang tepat.
Baca juga: Siap Hidup Mewah, Pemilik 5 Zodiak Ini Diprediksi akan Mendulang Banyak Uang di Bulan Mei!
Walaupun ide tersebut terdengar meyakinkan, Daniel Koehler, direktur dari German Institute of Radicalization and De-radicalization Studies di Stuttgart, Jerman, berkata bahwa tidak ada bukti yang jelas mengenai keefektifan program-program tersebut.
Kepada Science 26 Mei 2017, Koehler berkata bahwa program-program deradikalisasi menjadi semakin populer di berbagai negara bukan karena adanya bukti yang pasti mengenai efektifitas mereka, tetapi karena kebutuhan dari masyarakat, pembuat kebijakan, dan pejabat keamanan.
“Kita bisa mengalahkan grup-grup seperti ISIS atau ekstrimis lainnya secara fisik, tetapi hal ini tidak menyentuh daya tarik mereka sama sekali atau bahkan malah memperkuatnya,” ujarnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR