Dwarapala Peninggalan Kerajaan Singasari Si Arca Terbesar di Indonesia, Bagaimana Cara Mengangkatnya?

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Arca Dwarapala disebut-sebut sebagai arca terbesar di Indonesia yang pernah ditemukan. Arca peninggalan Kerajaan Singasari itu disebut berbobot hingga 40 ton (Intisari)
Arca Dwarapala disebut-sebut sebagai arca terbesar di Indonesia yang pernah ditemukan. Arca peninggalan Kerajaan Singasari itu disebut berbobot hingga 40 ton (Intisari)

Paling tidak Dwarapala peninggalan Kerajaan Singasari itu adalah arca terbesar yang sudah ditemukan selama ini. Beratnya sekitar 40 ton dan rantai yang dipakai untuk menggesernya putus sampai sepuluh kali.

Penulis: S.U. Azul/ETNODATA, untuk Majalah Intisari edisi Januari 1990

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Arca itu tingginya sekitar 3 m. Matanya melotot. Perutnya gendut. Kakinya lebih besar dari kaki gajah. Pakai anting tengkorak lagi!

Mestinya dia angker, tetapi anehnya tidak berkesan demikian. Tampangnya kuyu, bak pegawai negeri sedang tanggung bulan. Keadaan lingkungannya-lah yang menyebabkan demikian.

Di sebelah-sebelahnya rumah penduduk memepetnya, pondasi bangunan baru turut mendesaknya. Akibatnya arca Dwarapala peninggalan Kerajaan Singasari (sebut saja Dwarapala Singasari) yang besar itu tidak lagi menakutkan sekarang.

Baca Juga: Peninggalan Kerajaan Singasari Terlengkap, Ada Candi yang 'Menyimpang'

Pasangannya yang sudah dipisahkan oleh jalan, tidak beda nasibnya. Padahal tubuhnya yang tadinya sebagian tenggelam ke dalam tanah sudah ditegakkan dan dimunculkan sepuluh tahun yang lalu.

Sekitar delapan ratus tahun yang lalu, arca di Candirenggo, Kecamatan Singasari, Malang, Jawa Timur, itu boleh gagah menjaga gerbang masuk Singasari. Jangankan orang, setan pun takut kepadanya, karena Dwarapala itu pada dasarnya dibuat sebagai penjaga gerbang, terutama bangunan suci.

Turun pangkat

Di India, Asia Tenggara atau Indonesia, Dwarapala umumnya digolongkan sebagai Yaksha, makhluk gaib yang dipercaya memiliki satu kekuatan untuk melindungi manusia. Yaksha dikenal di India pada masa sebelum agama Hindu berkembang.

Dia dipuja layaknya dewa-dewa Hindu, karena dianggap sebagai sumber kehidupan. Pertanian bisa sukses pada saat panen, tanah subur untuk ditanami, bahkan gempa bumi, karena Yaksha.

Begitu besar kepercayaan orang India saat itu padanya. Dia jadi tokoh sentral yang dipuja oleh masyarakat.

Namun, ketika dewa-dewi Hindu muncul, kedudukan Yaksha mulai tergeser. Dia dimasukkan dalam peringkat kedua setelah dewa.

Selanjutnya dalam penempatan di satu bangunan suci, Yaksha bertugas sebagai pendamping dewa. Dia bukan hanya terpakai dalam agama Hindu saja, tapi juga dalam agama Buddha.

Seperti di Stupa Bharbut, sebuah stupa di India, Yaksha menjadi pendamping Buddha, atau di Sanchi (juga bangunan suci Buddha di India), dia tinggal di atap bangunan seolah-olah melindungi bangunan dari segala mara bahaya.

Di masa selanjutnya dia berkembang menjadi Dwarapala.

Ada beberapa nama yang biasa digunakan untuk menyebut Dwarapala. Seperti rakshasa (rakshasa guardian), gigantic figures, gigantic janitors.

Bagi para penulis Belanda, seperti J.W. Ijzerman, J. Groneman, arca penjaga ini sering disebut rakshasa wachter atau tempel wachter. Sedangkan orang Jawa lebih sering menyebutnya reco buto, reco gupolo, bagi orang Jawa Tengah atau tothok kerot bagi orang Jawa Timur.

Dwarapala, sebagai penjaga bangunan suci dari segala anasir jahat, dilengkapi pula dengan senjata berupa gada, golok pendek dan ular. Aksesori yang dipakai pun menyeramkan, ikat kepala berupa pita atau ular, subang (anting) dari tengkorak manusia, kelat bahu (sejenis gelang yang dipakai pada pangkal lengan), gelang, upawita (tali kasta) serta tak ketinggalan gelang kaki.

Biasanya arca ini dipahatkan dalam posisi duduk, dengan satu lututnya untuk bertumpu. Matanya yang besar membelalak, seakan-akan memandang tajam setiap apa pun yang ada di sekitarnya. Kumisnya tebal terjuntai membentuk setengah lingkaran dan rambutnya keriting serta disanggul.

Putus sepuluh kali

Arca Dwarapala Singasari boleh dikata sebagai arca terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Sampai saat ini tidak diketahui secara pasti kapan arca ini dibuat.

Yang jelas arca seberat lebih dari 30 ton ini salah satunya pernah diselamatkan dari kemelesakan sedalam 125 cm. Ir., Harsojo Dirdjosoebroto, orang yang bertanggung jawab mengangkat Dwarapala itu dari pendaman, mengatakan, rantai pengangkutnya putus tak kurang dari sepuluh kali.

Tinggi patung secara keseluruhan 370 cm. Lebar di bagian puncak kepala sekitar 135 cm, tengahnya 300 cm dan bagian bawah 290 cm.

Yang lebih menakjubkan, arca ini dibuat dari satu batu utuh. Bayangkan saja, berapa besar batu yang dipakai membuat area itu.

Di daerah Muntilan, Jawa Tengah, ada sekelompok perajin batu yang membuat berbagai arca, nisan, pipisan (grinding stone) dan bentuk kesenian pahat batu lainnya. Bukan hanya arca-arca kecil yang mereka buat, yang berukuran besar pun ada.

Mulai dari area Hanoman, tokoh kera putih dalam cerita Ramayana, Ganesha (arca gajah lambang ilmu pengetahuan), Ken Dedes, bahkan Dwarapala. Selam itu dibuat juga nisan-nisan, cobek dan hiasan dekoratif untuk taman.

Dwarapala 'makan' batu

Arca Dwarapala yang ada di Muntilan itu, yang dibuat oleh seniman pahat abad ke-20, ukurannya pun beragam. Ada yang tingginya hanya 75 cm, 1 m bahkan 2 m, bergantung pada pesanan.

Bunyi denting pahat baja beradu dengan batu, di sela deru mobil yang melintas cepat di jalan raya, serta bau asap rokok berbaur jadi satu di sanggar pembuatan arca itu.

Para seniman batu sibuk dengan kerja mereka. Sesekali tembang jawa melantun dari mulut mereka.

"Untuk membuat arca Dwarapala yang tingginya hanya 0,5 m ini dibutuhkan batu berukuran 55 x 30 x 25 cm," ujar Purwadi, salah seorang pembuatnya. "Berat batu secara keseluruhan sekitar 20 - 30 kg," lanjutnya lagi sambil terus menghantamkan pahatnya ke atas batu.

Berat batu tergantung pula pada kualitasnya. Batu yang porositasnya tinggi lebih ringan dibandingkan dengan batu yang rapat pori-porinya.

Di pojok lain seorang seniman sedang membuat sketsa di permukaan batu yang hendak dipahatnya menjadi arca Hanoman. Sedangkan Dwarapala yang dibuat oleh Purwadi sedikit demi sedikit mulai terlihat wujudnya.

Bagian kepala telah selesai dipahatnya, sedangkan bagian badan dan kaki mulai diperhalus. Bentuk jari tangan sudah dibuatnya, sarung Dwarapala pun sudah selesai ditatah.

Hampir sepuluh hari waktu yang dibutuhkan Purwadi untuk membuat area itu. Hamparan batu sisa pembuatan masih berserakan di tanah pekarangan.

"Ini masih perlu dihaluskan sekali lagi," gumam Purwadi, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Terpancar rasa belum puas dan raut wajahnya.

Dipandanginya area hasil garapannya dengan saksama. Sesekali Purwadi mengambil kembali peralatan kerjanya, pahat dan palu.

"Sekitar seperempat bagian dari balok batu hilang untuk membuat satu area ini," tegas Purwadi, bapak dua orang anak ini. "Lihat saja, untuk membentuk bagian kepalanya saja, dua pertiga bagian batu dihilangkan, belum lagi bagian lainnya," sambungnya.

Hampir 40 ton

Lalu berapa besar batu yang diperlukan untuk membuat Dwarapala Singasari? Kalau dihitung secara bodoh-bodohan, yaitu membandingkannya pada perajin arca Muntilan, Dwarapala Singasari tentunya membutuhkan batu yang besar dan berat.

Untuk membuat area setinggi 50 cm, Purwadi kehilangan 10% dari keseluruhan tinggi, panjang dan lebar batu. Sedangkan berat batu yang hilang seperempatnya.

Berarti tinggi batu asal Dwarapala Singasari {(370 cm + (370 cm x 10%))} = 4,07 m. Sedangkan lebarnya {(290 cm + 290 x 10%)} = 3,19 m. Tebal batu {(1,35 m x 3)} = 4,05 m.

Bayangkan, batu berukuran cukup besar itu harus ditatah untuk dijadikan area. Belum lagi bila asal batu yang mungkin jauh dari lokasi area berdiri.

Artinya, seniman pembuat harus memindahkan sekitar 37,5 ton batu untuk ditatah. Berapa kali rantainya harus putus untuk menggeser batu seberat itu? Mungkin masih banyak pertanyaan lain yang akan muncul.

Baca Juga: Kotagede Bekas Ibukota Kerajaan Mataram Islam, Bagaimana Nasibnya Sekarang?

Artikel Terkait