Kotagede, peninggalan Kerajaan Mataram Islam sekaligus ibukotanya di masa silam. Kini terancam menghilang, wajah aslinya pelan-pelan mulai tergerus peralihan zaman.
Penulis: Nadia Maharani, untuk Majalah Intisari edisi Agustus 2009
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sebagai kota budaya, Yogyakarta sesungguhnya kaya karena memiliki harta tak ternilai bernama Kotagede. Kawasan yang dulu merupakan ibukota kerajaan Mataram Islam itu (sejak 1586) kini memang hanya nama sebuah kecamatan.
Tapi keberadaannya menyimpan andil besar dalam perputaran roda perekonomian Yogyakarta. Terutama dari kerajinan rakyat yang merupakan warisan budaya masa silam.
Baca Juga: Mengungkap Tradisi Selir Raja Jawa, Perkawinan Politik dan Pergeseran Nilai
Denyut Kotagede terasa pada sepanjang ruas jalan Pasar Kotagede, dari Jl. Kemasan, Mondorakan, hingga Tegal Gendu. Berbagai toko berderet yang umumnya memajang hasil kerajinan perak, berseling dengan aneka jajanan khas daerah ini.
Keberadaan perak di Kotagede konon tak lepas dari Raja Mataram di masa silam. Versi Muhammad Natsier, peneliti dari Lembaga Pengembangan Seni Budaya dan Pariwisata Kotagede, masyarakat kala itu terbiasa melayani kebutuhan peralatan makan dari perak untuk raja.
Perak diyakini dapat mendeteksi racun. "Kalau minum air dari gelas perak, warna air akan berubah jika mengandung racun," kata Natsier.
Kerajinan perak terdiri atas filigree dan perak solid. Filigree adalah kerajinan benang perak yang disusun dalam bingkai.
Dibutuhkan ketelatenan luar biasa untuk mengerjakan sebuah karya yang bisa menghabiskan waktu satu atau dua hari ini. Sedangkan solid adalah kerajinan perak biasa seperti cincin, kalung, hingga tas.
Mahalnya bahan baku perak membuat pengrajin membuat kerajinan berbahan dasar tembaga berlapis perak atau silver-plated. Harganya lebih terjangkau.
Meski begitu, tetap saja pasaran perak sedang lesu akibat krisis finansial global. Para perajin banyak yang kemudian beralih profesi, yang menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan perak di Kotagede.
Di Kotagede ada juga peninggalan Kerajaan Mataram Islam lainnya, wujudnya makanan yang dikenal sebagai kipo. Makanan tradisional ini sebesar jempol orang dewasa, terasa kenyal, gurih serta manis.
Bahan dasarnya tepung ketan, santan sebagai kulit kipo dan enten-enten yang terbuat dari parutan kelapa muda serta gula merah. Konon, asal katanya dari sebuah pertanyaan: iki opo? (ini apa?).
Biasanya kipo langsung dijual setelah matang dan masih hangat. Kalau sudah dingin atau dibiarkan dalam udara terbuka, akan terasa keras.
"Tapi kalau pembeli mau menyimpan kipo, bisa dipanaskan lagi dengan wajan anti lengket atau microwave. Kipo bisa tahan sampai dua hari," kata Istri Rahayu, pengelola toko jajanan pasar Bu Djito, yang sudah tiga generasi berdagang.
Jika mau lebih awet, pilihan jajanan adalah yangko. Makanan dari tepung ketan dan gula pasir ini lebih awet, bisa tahan sebulan.
"Proses pembuatannya sendiri makan waktu satu hari, dengan rasa serai, cokelat, durian, dan kacang," jelas Suhardjono, pemilik Yangko SHD yang mengaku yangko tersebut merupakan resep warisan nenek moyangnya.
Sebagai bekas pusat pemerintahan, Kotagede juga menyimpan potensi wisata sejarah. Di sini terdapat makam pendiri kerajaan Mataram, peninggalan arkeologis seperti altar raja, Masjid Besar Mataram serta Seliran atau tempat mandi para selir raja.
Dari sisi perencanaan kotanya juga masih menganut pola konsep tradisi Jawa, yaitu istana, alun-alun, masjid, dan pasar. Rumah berarsitektur tradisional juga masih banyak seperti panggang-pe, limasan, hingga joglo.
Namun seiring berjalannya waktu, terjadi banyak perubahan terkait dengan karakteristik Jawa Kotagede, terutama pada rumah tradisional. Hal ini akibat maraknya bangunan modern serta sebagian lagi hilang setelah terjadinya gempa di DIY pada Mei 2006 silam.
"Perhatian pemerintah untuk memperbaiki joglo yang rusak sangat kurang. Padahal, joglo juga merupakan bagian dari cagar budaya," ujar Natsier.
Dia menambahkan, banyak peneliti dari seluruh dunia datang ke Kotagede untuk mempelajari kebudayaan di sana. "Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Kotagede di mata dunia," katanya.
Jadi, terpulang kepada kita, apakah rela membiarkan Kotagede digerus zaman?
Sejarah singkat Kotagede
Mengutip Kompas.com, Kotagede merupakan salah satu kecamatan di Yogyakarta yang merupakan kawasan budaya dan situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
Pada abad ke-16, Kotagede pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam yang digunakan sebagai pusat kegiatan politik, sosial budaya, keagamaan, maupun pusat ekonomi masyarakat.Kotagede merupakan bukti nyata peradaban tertua di Yogyakarta yang memiliki peninggalan bangunan bersejarah serta arsitektur kuno Kerajaan Mataram Islam.
Kotagede saat ini terdiri dari tiga kelurahan, yakni Rejowinangun, Prenggan, dan Purbayan.
Sejarah Kotagede dapat ditelusuri dari kisah Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, pendiri Kerajaan Pajang di Jawa Tengah. Sekitar pertengahan abad ke-16, Sultan Hadiwijaya memiliki musuh Arya Penangsang dari Jipang.
Arya Penangsang akhirnya dapat dikalahkan oleh Ki Ageng Pemanahan. Atas jasanya, ia diberi hadiah oleh Sultan Hadiwijaya berupa tanah perdikan di hutan Mentaok (sekarang Kotagede).
Tanah tersebut merupakan bekas daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno yang telah lama runtuh, hingga menjadi hutan lebat. Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan melakukan pembukaan lahan, atau yang disebut dengan babat alas.
Hutan Mentaok membentang dari timur laut hingga tenggara Yogyakarta saat ini, meliputi wilayah Purwomartani, Banguntapan, hingga Kotagede.
Setelah berhasil membuka lahan, Hutan Mentaok menjadi tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya. Ki Ageng Pemanahan pun membangun wilayahnya menjadi desa yang makmur dengan status di bawah Kerajaan Pajang.
Pada 1584, Ki Ageng Pemanahan wafat dan perannya diteruskan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau kemudian dikenal sebagai Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Mataram Islam setelah mengalahkan Kerajaan Pajang. Kotagede pun menjadi ibu kota Kerajaan Mataram Islam, yang digunakan sebagai pusat kegiatan politik, sosial budaya, keagamaan, maupun pusat ekonomi masyarakat.
Pada 1587, Mataram Islam menjadi kerajaan termasyhur di Pulau Jawa yang memegang konsep Catur Gatra Tunggal. Catur Gatra Tunggal adalah konsep untuk mengelola kota, seperti kota-kota lain yang memiliki keraton.
Konsep ini memiliki empat bangunan utama, yang terdiri dari keraton sebagai tempat tinggal raja, pasar sebagai pusat perekonomian masyarakat, alun-alun sebagai ruang publik, dan masjid sebagai tempat beribadah.
Bagian-bagian tersebut mencerminkan aspek-aspek dalam sebuah kota, yakni politik, ekonomi, sosial, maupun keagamaan.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), ibu kota Kerajaan Mataram Islam dipindah ke Kerto, yang berjarak sekitar 4,5 kilometer sebelah selatan Kotagede.
Sementara itu, wilayah Kotagede menjadi tempat perdagangan penduduk, yang dikemudian hari muncul sebutan Pasar Gede. Akibat pemindahan ibu kota, Kotagede dapat dibilang mengalami kemunduran eksistensi.
Namun, pada sekitar 1920-1930-an, muncul perajin perak dan para pengusaha yang membawa Kotagede ke masa keemasannya. Dari kerajinan perak ini, Kotagede disebut Kota Perak, yang industrinya dapat ditemui hingga saat ini.
Saat ini, sebagian wilayah Kotagede secara administrasi termasuk dalam wilayah Kota Yogyakarta (Prenggan dan Purbayan) dan sebagian lagi termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul (Jagalan dan Singosaren).
Sebagai situs bersejarah, Kotagede menyimpan beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Mataram Islam. Beberapa di antaranya adalah Situs Watu Gilang, Pemandian Sendang Seliran, Masjid Gedhe Mataram, dan Benteng Cepuri.
Selain itu, ada juga Makam Raja Mataram, yang menjadi peristirahatan terakhir bagi Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijaya, dan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Sayangnya, bangunan berupa keraton atau istana Kotagede sudah nyaris tidak ada. Hal ini kemungkinan karena keraton terbengkalai usai ibu kota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan beberapa kali.
Baca Juga: Sejarah Singkat Kerajaan Mataram Islam, Pada Masa Keemasannya Rajanya Berani Lawan VOC Meski Gagal