Intisari-Online.com -Berbicara tentang sejarah kejayaan Islam di Nusantara, tentu tak bisa melewatkan kerajaan Mataram Islam.
Inilah sejarah singkat kerajaan Mataram Islam, pada masa keemasannya rajanya berani lawan VOC meski gagal.
Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya pada akhir abad ke-16.
Pusat pemerintahan kerajaan ini berada di sekitar Yogyakarta, dan sempat pula dipindahkan ke Surakarta.
Berdiri pada masa penjajahan Belanda membuat Kerajaan Mataram Islam tidak luput dari gangguan VOC.
Campur tangan VOC pun menjadi salah satu faktor Kerajaan Mataram Islam terbelah dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755.
Proses berdirinya Kerajaan Mataram Islam dimulai ketika Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya turut membantu Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir mengalahkan Arya Penangsang.
Danang Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan, salah satu orang kepercayaan Sultan Hadiwijaya.
Pada awal abad ke-16, Danang Sutawijaya dan Ki Ageng Pemanahan membantu Sultan Hadiwijaya menumpas pemberontakan Arya Penangsang di Kesultanan Demak.
Sultan Hadiwijaya, sebagai menantu Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak, memilih mendirikan Kerajaan Pajang dengan pusat pemerintahan berada di sekitar Surakarta saat ini.
Atas jasanya menyingkirkan Arya Penangsang, Ki Ageng Pemanahan diberi hutan Mentaok (sekarang Kotagede, Yogyakarta) oleh Sultan Hadiwijaya.
Ki Ageng Pemanahan membangun tanah tersebut menjadi sebuah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang.
Di saat yang sama, Danang Sutawijaya juga diadopsi oleh ultan Hadiwijaya, sebagai pancingan karena belum mempunyai keturunan.
Pada 1575, Danang Sutawijaya menggantikan posisi ayahnya yang wafat sebagai Adipati Mataram dengan gelar Senopati Ing Ngalaga, yang artinya panglima di medan perang.
Setelah itu, Danang Sutawijaya berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Pajang, yang berakibat pada timbulnya peperangan dengan Sultan Hadiwijaya.
Tidak lama kemudian, Sultan Hadiwijaya sakit dan akhirnya wafat.
Upaya Danang Sutawijaya untuk memerdekakan Mataram pun semakin mudah, terlebih lagi Kerajaan Pajang mengalami pergolakan karena perebutan kekuasaan.
Pada 1586, Danang Sutawijaya mendirikan Kerajaan Mataram Islam dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Kerajaan Mataram Islam sempat berjaya di masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645), sebelum akhirnya terpecah dua pada pertengahan abad ke-18.
Kejayaan kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kebesaran pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Sultan Agung yang memiliki nama asli Raden Mas Jatmika memerintah pada tahun 1613-1645 M.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Pada masa kejayaannya, Kerajaan Mataram Islam berhasil menaklukkan daerah pesisir Surabaya dan Madura.
Sultan Agung membawa Kerajaan Mataram Islam kepada peradaban kebudayaan yang lebih tinggi.
Hal tersebut karena, Kerajaan Mataram Islam memiliki berbagai keahlian, yakni di bidang militer, ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran melakukan perlawanan dengan Belanda melalui kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC berlangsung pada tahun 1628 dan 1629.
Penyebab perlawanan tersebut karena Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran VOC di Batavia dapat membahayakan hegemoni kekuasaan Mataram di Pulau Jawa.
Kehadiran VOC juga akan menghambat penyebaran agama Islam di Jawa yang tengah dilakukan oleh Sultan Agung.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Agung memiliki kebijakan dalam bidang pertanian, fiskal, dan monoter.
Sultan Agung membangun sektor pertanian dengan memberikan tanah kepada para petani serta membentuk forum komunikasi untuk tempat pembinaan.
Salah satu upayanya adalah memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Karawang, Jawa Barat.
Di mana daerah tersebut memiliki sawah dan ladang yang luas serta subur.
Dalam urusan fiskal, Sultan Agung mengatur regulasi pajak yang tidak membebankan rakyat.
Pada bidang moneter, Sultan Agung membuat lembaga keuangan untuk mengelola dana kerajaan.
Dalam bidang keagamaan dan hukum Islam, Sultan Agung menetapkan aturan yang sesuai dengan aturan Islam.
Para ulama juga diberikan ruang untuk bekerja sama dengan pihak kerajaan.
Sultan Agung menetapkan penanggalan atau Kalender Jawa sejak tahun 1633, perhitungan tersebut merupakan kombinasi kelender Saka dan Hijriah.
Sultan Agung termasuk pemimpin yang berperan memajukan kebudayaan dan kesenian.
Menurut berbagai sumber sejarah, beberapa jenis tarian, gamelan sampai wayang sangat berkembang pesat semasa Sultan Agung.
Sultan Agung juga ikut serta dalam menghasilkan Serat Sastra Gendhing.
Sastra bahasa juga ikut berkembang pada zaman itu, saat Sultan Agung mulai menerapkan penggunaan tingkatan bahasa di luar Yogyakarta hingga Jawa Timur.
Sultan Agung juga sebagai pemimpin yang menginisiasi terbentuknya provinsi dan memilih adipati sebagai kepala daerah yang dikuasai Mataram Islam.
Kemundura Mataram Islam
Namun, setelah Sultan Agung wafat, Kerajaan Mataram Islam perlahan mulai mengalami kemunduran hingga akhirnya runtuh pada 1755 M.
Kemunduran sosial ekonomi Sultan Agung adalah raja yang sangat anti kolonialisme dan tercatat dua kali menyerang VOC di Batavia.
Meski telah mengerahkan pasukan dalam skala besar, serangan yang dilakukan pada 1628 dan 1629 itu mengalami kegagalan.
Akibat kekalahan tersebut, keadaan ekonomi rakyat Kerajaan Mataram Islam menjadi susah dan menurun karena sebagian masyarakatnya dipaksa berangkat berperang.
Setelah periode Sultan Agung, Kerajaan Mataram Islam semakin banyak menghadapi peperangan.
Hal ini membuat bidang ekonominya kian merosot dan penurunan penduduk di pedalaman tidak dapat dihindari.
Selain harus bertahan hidup di tengah kemiskinan dan kelaparan, masyarakatnya juga menghadapi kegelisahan sosial.
Pasalnya, kemunduran dalam bidang ekonomi membuat kriminalitas semakin merajalela dan banyak orang telah kehilangan akal.
Banyak negeri taklukan yang melepaskan diri Ketika menduduki takhta, Sultan Agung berambisi menyatukan tanah Jawa di bawah kekuasaan Mataram.
Usaha ekspansi dan perebutan hegemoni politik di Jawa yang dilakukan para sultan setelahnya ternyata justru membuat kondisi sosial dan ekonomi penduduk mengalami kemunduran.
Akibatnya, timbul ketegangan politik di dalam kerajaan ataupun wilayah taklukan Mataram, hingga memunculkan gerakan disintergrasi.
Gerakan pemisahan diri yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil taklukan Mataram pun tidak bisa diatasi oleh para pengganti Sultan Agung.
Kontras dengan sikap Sultan Agung, para sultan penggantinya memberi izin Belanda untuk ikut campur masalah kerajaan.
Hal ini dilakukan karena mereka tidak siap memperbaiki kondisi sosial ekonomi rakyat dan menghadapi gerakan disintegrasi negeri taklukannya.
Untuk mengatasi pemberontakan daerah, pewaris Sultan Agung, yakni Amangkurat I, dan para pengganti setelahnya, memilih bekerjasama dengan VOC.
Tentunya kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda, yang memang berambisi untuk menguasai tanah Jawa.
Sejak itu, Mataram dan VOC selalu terlibat dalam perjanjian yang sangat merugikan pihak kerajaan.
Masuknya pengaruh Belanda menimbulkan perselisihan antara pewaris takhta Mataram.
Hal ini semakin dimanfaatkan oleh Belanda untuk melemahkan Kerajaan Mataram Islam.
Melalui taktik politiknya, Belanda berhasil memecah belah keluarga kerajaan hingga timbul banyak pergolakan.
Perselisihan antara kerabat kerajaan kemudian diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Dalam kesepakatan tersebut, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta dan Nagari Kasunanan Surakarta.
Kasultanan Ngayogyakarta diserahkan kepada Hamengkubuwono I, sementara Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono III.
Dipecahnya kerajaan menjadi dua kekuasaan ini secara praktis mengakhiri riwayat Kesultanan Mataram.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News