Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di bawah naungan langit Jawa yang teduh, di mana angin berbisik tentang kisah-kisah masa lalu, terdapat sebuah desa bernama Sukolilo. Di desa yang tenteram ini, setiap tahun, ketika bulan Rabiul Awal tiba, sebuah tradisi unik nan sakral digelar.
Tradisi ini bernama Meron, sebuah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang sarat akan makna dan sejarah. Namun, tak hanya sekadar perayaan biasa, Meron menyimpan jejak hubungan yang erat dengan Keraton Mataram Islam, sebuah kerajaan besar yang pernah berjaya di tanah Jawa.
Akar Sejarah Meron: Dari Mataram hingga Sukolilo
Meron, sebagaimana yang diceritakan turun-temurun oleh para sesepuh desa, bukanlah tradisi yang muncul begitu saja. Akar sejarahnya menjulur jauh ke masa lalu, hingga ke era keemasan Keraton Mataram Islam.
Pada masa itu, perayaan Maulid Nabi digelar dengan megah di keraton, sebuah tradisi yang dikenal dengan nama Sekaten. Sekaten bukan hanya sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga menjadi ajang unjuk kekuatan dan kekayaan kerajaan.
Namun, ketika Mataram mengalami pergolakan politik dan terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil, tradisi Sekaten pun ikut terbawa arus perubahan.
Salah satu pecahan Mataram, yaitu Kadipaten Pati, menjadi tempat berlindung bagi banyak keluarga bangsawan Mataram. Mereka membawa serta budaya dan tradisi mereka, termasuk Sekaten, ke tanah Pati.
Di antara para bangsawan yang hijrah ke Pati, terdapat seorang tokoh penting bernama Ki Ageng Penjawi. Beliau adalah seorang ulama yang sangat dihormati, sekaligus keturunan langsung dari Raja Mataram.
Ki Ageng Penjawi kemudian mendirikan sebuah desa di Pati, yang diberi nama Sukolilo. Di desa inilah, beliau berusaha melestarikan tradisi Sekaten, namun dengan penyesuaian agar sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Tradisi Sekaten yang megah dan mewah di keraton, diubah menjadi perayaan yang lebih sederhana namun tetap khidmat. Inilah awal mula tradisi Meron di Sukolilo.
Meron: Simbol Ketaatan dan Rasa Syukur
Meron, meskipun digelar secara sederhana, tetap sarat akan makna dan simbolisme. Inti dari perayaan ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada sang Rasul.
Salah satu ciri khas Meron adalah adanya gunungan, yaitu tumpeng raksasa yang terbuat dari berbagai jenis makanan tradisional. Gunungan ini melambangkan kemakmuran dan keberkahan yang diharapkan akan senantiasa menyertai masyarakat Sukolilo.
Setelah diarak keliling desa, gunungan kemudian dibagikan kepada seluruh warga sebagai wujud kebersamaan dan rasa syukur.
Selain gunungan, Meron juga dimeriahkan dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian, pembacaan shalawat, dan doa bersama.
Semua kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat, serta mempererat tali silaturahmi antar warga.
Meron: Warisan Budaya yang Tak Lekang oleh Waktu
Hingga kini, tradisi Meron tetap lestari di Desa Sukolilo. Meskipun zaman telah berubah, dan pengaruh budaya modern semakin kuat, masyarakat Sukolilo tetap setia menjaga warisan leluhur mereka.
Meron bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat Sukolilo.
Setiap tahun, ketika bulan Rabiul Awal tiba, Desa Sukolilo akan berhias diri menyambut Meron. Jalan-jalan desa akan dipenuhi dengan warna-warni hiasan, sementara warga sibuk mempersiapkan segala keperluan perayaan.
Suasana desa yang biasanya tenang, akan berubah menjadi semarak dan penuh kegembiraan.
Puncak perayaan Meron adalah saat gunungan diarak keliling desa. Ribuan warga akan tumpah ruah ke jalanan, mengikuti arak-arakan dengan penuh antusiasme.
Suara shalawat dan tabuhan rebana mengiringi langkah kaki mereka, menciptakan suasana yang khidmat sekaligus meriah.
Meron: Jembatan Penghubung Masa Lalu dan Masa Kini
Meron bukan hanya sekadar perayaan Maulid Nabi, tetapi juga menjadi jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini.
Melalui Meron, masyarakat Sukolilo dapat merasakan kembali kejayaan Keraton Mataram Islam, sekaligus mengenang jasa para leluhur mereka yang telah membawa tradisi ini ke tanah Pati.
Meron juga menjadi bukti bahwa budaya dan tradisi dapat bertahan melintasi zaman, bahkan di tengah arus modernisasi yang deras.
Masyarakat Sukolilo telah menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga warisan leluhur mereka, sekaligus menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
Meron: Inspirasi bagi Generasi Mendatang
Tradisi Meron di Desa Sukolilo adalah sebuah inspirasi bagi generasi mendatang. Melalui Meron, kita dapat belajar tentang pentingnya menjaga warisan budaya, sekaligus menghargai jasa para leluhur.
Meron juga mengajarkan kita tentang nilai-nilai kebersamaan, rasa syukur, dan ketaatan kepada Allah SWT.
Semoga tradisi Meron tetap lestari di Desa Sukolilo, dan dapat terus menginspirasi generasi mendatang.
Semoga Meron menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa di tengah hiruk-pikuk dunia modern, masih ada nilai-nilai luhur yang patut kita jaga dan lestarikan.
Ketika matahari mulai terbenam, dan langit Jawa kembali diselimuti kegelapan, perayaan Meron pun berakhir.
Namun, semangat dan makna yang terkandung dalam tradisi ini akan terus hidup di hati masyarakat Sukolilo. Meron adalah sebuah warisan berharga, yang akan terus dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Di bawah langit yang bertabur bintang, Desa Sukolilo kembali tenang. Angin malam berbisik lembut, membawa serta doa dan harapan agar tradisi Meron tetap lestari.
Dan di suatu tempat, di antara reruntuhan Keraton Mataram Islam, mungkin arwah para leluhur tersenyum bangga, menyaksikan bahwa warisan mereka tetap hidup dan berkembang di tanah Pati.
Meron, sebuah tradisi Maulid Nabi dari Desa Sukolilo yang berhubungan dengan Keraton Mataram Islam, adalah sebuah kisah tentang ketaatan, rasa syukur, dan cinta kepada Rasulullah SAW. Sebuah kisah yang akan terus dikenang dan diceritakan, dari generasi ke generasi.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR