Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di Pulau Dewata yang magis, di mana angin berbisik melalui dedaunan lebat hutan tropis dan ombak mencium pantai berpasir putih, pernah hiduplah makhluk yang tak tergantikan: Harimau Bali.
Ia adalah raja rimba, penguasa malam, dengan belang emas yang memantulkan sinar bulan dan auman yang menggetarkan jiwa.
Namun, kisah harimau ini bukanlah tentang kemuliaan atau kejayaan, melainkan tentang kepunahan yang menyayat hati, disebabkan oleh perburuan tak berperasaan yang dilakukan oleh para "shikari" yang terobsesi dengan trofi.
Mereka adalah bagian integral dari mitologi dan kepercayaan setempat, dihormati sebagai simbol kekuatan dan keberanian.
Namun, segalanya berubah pada akhir abad ke-16, ketika para pedagang Belanda pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini.
Mereka membawa serta senjata api yang mematikan dan mentalitas eksploitatif yang memandang alam sebagai komoditas yang harus dikuasai.
Bagi para pemukim Belanda, Harimau Bali bukanlah makhluk yang harus dilindungi, melainkan hama yang harus dibasmi.
Mereka menganggap harimau sebagai ancaman bagi ternak dan manusia, meskipun serangan terhadap manusia sangat jarang terjadi.
Perburuan harimau pun menjadi olahraga yang populer di kalangan elit kolonial, sebuah cara untuk memamerkan kekuasaan dan maskulinitas.
Para pemburu ini, yang dikenal sebagai "shikari", mengadopsi gaya perburuan ala Inggris yang penuh dengan ritual dan keangkuhan.
Mereka mengenakan pakaian safari yang elegan, lengkap dengan topi pith dan sepatu bot kulit. Mereka membawa senapan berukir indah dan ditemani oleh anjing pemburu yang terlatih.
Perburuan harimau bukanlah sekadar aktivitas rekreasi, melainkan sebuah pertunjukan teater yang dirancang untuk memuaskan ego para kolonialis.
Perburuan shikari ini dilakukan dengan kejam dan tanpa belas kasihan. Harimau-harimau yang malang dikepung oleh anjing-anjing pemburu, diusir dari tempat persembunyian mereka, dan ditembak tanpa ampun.
Teriakan kesakitan mereka bergema di hutan, sementara darah mereka membasahi tanah. Kulit harimau yang berharga dikuliti dan dijadikan karpet atau hiasan dinding, sementara kepala mereka diawetkan sebagai trofi yang mengerikan.
Tidak hanya para pemburu Eropa yang terlibat dalam pembantaian ini. Penduduk lokal juga direkrut untuk membantu melacak dan membunuh harimau, tergoda oleh imbalan uang atau ancaman hukuman.
Mereka menjadi pion dalam permainan berdarah yang dimainkan oleh para penjajah, mengkhianati alam dan budaya mereka sendiri demi keuntungan sesaat.
Akibat perburuan shikari yang tak terkendali ini, populasi Harimau Bali menurun drastis. Pada awal abad ke-20, hanya tersisa beberapa lusin ekor harimau yang hidup di alam liar.
Mereka terdesak ke sudut-sudut terpencil pulau, berjuang untuk bertahan hidup di tengah hutan yang semakin menyusut dan tekanan perburuan yang tak henti-hentinya.
Pada tahun 1937, seekor Harimau Bali betina ditembak mati di Sumbar Kima, Bali Barat. Ini adalah catatan terakhir yang terkonfirmasi tentang keberadaan harimau ini di alam liar.
Meskipun ada beberapa laporan tentang penampakan harimau setelah itu, tidak ada bukti yang meyakinkan untuk mendukung klaim tersebut. Harimau Bali, sang raja rimba yang pernah berkuasa, telah lenyap dari muka bumi.
Kepunahan Harimau Bali adalah tragedi yang tak termaafkan, sebuah noda hitam dalam sejarah konservasi.
Ini adalah bukti betapa rapuhnya ekosistem dan betapa mudahnya manusia menghancurkan apa yang telah diciptakan alam selama jutaan tahun.
Ini juga merupakan peringatan tentang bahaya kolonialisme dan eksploitasi, yang seringkali mengorbankan alam dan budaya demi kepentingan ekonomi dan politik.
Hari ini, kita hanya bisa mengenang Harimau Bali melalui foto-foto buram, lukisan kuno, dan cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Kita bisa membayangkan bagaimana megahnya mereka berjalan di hutan, bagaimana anggunnya mereka berenang di sungai, bagaimana menakutkannya mereka mengaum di malam hari.
Namun, kita tidak akan pernah bisa melihat mereka lagi, merasakan kehadiran mereka, atau mendengar suara mereka.
Kepunahan Harimau Bali adalah kehilangan yang tak tergantikan, bukan hanya bagi Pulau Dewata, tetapi juga bagi seluruh dunia. Ini adalah pengingat bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk melindungi alam dan semua makhluk yang hidup di dalamnya.
Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan memastikan bahwa tragedi seperti ini tidak akan pernah terulang lagi.
Semoga kisah Harimau Bali menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menghargai alam, menghormati kehidupan, dan berjuang untuk masa depan yang lebih lestari.
Semoga kita bisa mewariskan kepada generasi mendatang sebuah planet yang kaya akan keanekaragaman hayati, di mana setiap makhluk, besar atau kecil, memiliki tempat dan peran yang berharga.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---