Sosok yang merebut Sunda Kelapa dari Tangan Portugis lalu mengubah namanya menjadi Jayakarta (pada zaman Kompeni diubah menjadi Batavia) disebut masih keturunan Kerajaan Samudera Pasai. Siapa sosoknya?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Secara tidak langsung, Jakarta atau Batavia atau Jayakarta punya "utang" kepada Kerajaan Samudera Pasai, meskipun tidak secara langsung. Seperti apa ceritanya
Ternyata ini ada kaitannya dengan Jayakarta, yang kemudian berubah menjadi Batavia di masa Kompeni, lalu jadi Jakarta ketika zaman Jepang. Berbicara tentang Jayakarta artinya berbicara tentang keberhasilan Fatahillah merebut kota dagang itu dari tangan Portugis yang ketika itu masih bernama Sunda Kelapa.
Baca Juga: Inilah Lokasi Dan Sumber Sejarah Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara
Mengutip Majalah Intisari edisi Juni 2001, tidak seperti kota-kota lainnya, Jakarta mengambil namanya sendiri sebagai patokan hari ulang tahunnya. Andaikata Pasar Ikan yang kemudian berganti nama menjadi Sunda Kelapa, yang oleh para ahli diyakini sebagai asal muasal Kota Jakarta menjadi patokannya, pasti umur Kota Jakarta lebih tua dari yang sekarang diketahui banyak orang.
Nama Sunda Kelapa, menurut Prof. Poerbatjaraka, sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Pajajaran 1335. Bahkan mungkin sejak zaman Kerajaan Tarumanegara (abad IV-V) yang menjadikan Sunda Kelapa sebagai bandar lautnya.
Logikanya, bagaimana mungkin agama Hindu bisa tersebar dari India sampai ke bumi Jawa Barat kalau wilayah ini tidak memiliki bandar laut.
Adalah Fatahillah, yang sering disebut Falatehan, panglima perang kerajaan Demak yang merebut Sunda Kelapa dari tangan Portugis yangdipimpin Francisco de Sa, salah seorang anak buah Panglima Angkatan Laut Portugis Vasco da Gama, pelopor pelayaran armada Portugis ke Timur Jauh.
Fatahillah kemudian mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, artinya Hari Kemenangan Akhir. Konon, nama ini dia pilih sebagai peringatan kebrutalan tentara Portugis waktu menyerang dan menduduki Kerajaan Samudera Pasai, kampung halamannya.
Lantas apa hubungannya dengan nama-nama tempat di Jakarta yang mirip dengan nama daerah di Cirebon? Apakah lantaran Fatahillah ingin bernostalgia sehingga mengabadikan beberapa nama di Jakarta untuk dipindah ke Cirebon? Tak ada yang tahu pasti.
Salah satu pasar swalayan teramai di Cirebon bernama Grage Mall. Swalayan ini, awalnya sebuah stadion dan kolam renang bernama Gunung Sari.
Dinamakan Gunung Sari, karena terletak di Kampung Gunung Sari. Dalam bahasa Sunda Gunung Sari berarti gunung yang indah.
Dari tempat itu bisa tampak keindahan Gunung Ciremai di kejauhan. Apalagi pada pagi dan sore hari saat udara cerah.
Boleh jadi ini tak jauh berbeda dengan nenek moyang orang Betawi menikmati keindahan Gunung Salak dari wilayah Gunung Sahari. Tentu ini cerita ratusan tahun lalu sebelum Jakarta jadi rimba beton macam sekarang.
Di barat Gunung Sari terdapat Kampung Cideng. Nama itu berasal dari bahasa Sunda ci artinya air atau sungai, dan hideung adalah hitam.
Jadi Cideng berarti air payau, atau sungai kotor berwarna hitam. Sebelum terbentuk pemukiman penduduk, wilayah ini memang digenangi air payau dengan sungai yang mengalirkan air berwarna hitam. Ini tidak jauh berbeda dengan Sungai Cideng di Jakarta yang juga berair hitam.
Satu kilometer arah timur laut Gunung Sari terdapat Kampung Kramat. Di timurnya ada Kampung Pegambiran, sementara di selatan ada Cideres atau sungai deras, yang mengingatkan orang pada Kalideres di Jakarta. Kampung-kampung itu kini masuk wilayah Kotamadya Cirebon.
Di luar Kota Cirebon, kira-kira 6 km ke utara, ada Desa Grogol. Beberapa kilometer ke barat ada Desa Cangkring, bisa jadi berasal dari Cengkareng.
Dari Desa Grogol ke utara ada Desa Srengseng. Ke arah timur Kota Cirebon menuju perbatasan dengan Jawa Tengah, terdapat Kecamatan Losari. Di selatannya ada Kecamatan Ciledug, sementara di baratnya ada Desa Lemah Abang.
Ke arah selatan Kota Cirebon terdapat Desa Pejaten. Ada pula Desa Caracas yang mengingatkan pada nama Ciracas di Jalan Raya Bogor.
Sementara Desa Ciniru mengingatkan pada wilayah elite Cinere. Bila terus ke selatan sampailah di Kota Kuningan sebagai ibukota Kabupaten Kuningan. Sementara daerah Kuningan di Jakarta menjadi salah satu kawasan bisnis ibukota.
Kalau diadakan penelitian lebih lanjut, mungkin-masih banyak nama-nama desa di wilayah Cirebon yang sama dengan nama-nama kampung di Jakarta.
Riwayat singkat Fatahillah
Di kalangan orang-orang Portugis, Fatahillah dikenal sebagai Faletehan. Nama itu didapat dari orang Portugis bernama Joao de Barros dalam bukunya yang berjudul Decadas da Asia.
Meskipun begitu, asal-usulnya masih diperdebatkan oleh para ahli hingga saat ini. Bahkan ada yang menganggap bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.
Mengenai asal-usul dari Fatahillah terdapat banyak pendapat dan riwayat. Salah satu pendapat mengemukakan bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang memilih untuk hijrah ke Mekkah setelah tanahnya dikuasai Portugis.
Setelah beberapa tahun di Mekkah, Fatahillah kembali ke tanah air, tetapi bukan ke Aceh, melainkan ke Jawa, tepatnya di Kerajaan Demak. Selain itu, ada pendapat yang meyakini bahwa Fatahillah adalah keturunan raja dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad, yang kemudian menikahi putri Raja Pajajaran.
Pendapat lain menyebutkan bahwa Fatahillah lahir pada 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda dan Nyai Rara Santang. Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda disebut sebagai pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim, sedangkan Nyai Rara Santang adalah putri Raja Pajajaran.
Soal hubungan keluarga, banyak yang meyakini Fatahillah merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati. Tapi terlepas dari perdebatan asal-usulnya, Fatahillah diakui sebagai panglima perang yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Para sejarawan berpendapat bahwa Fatahillah menginjakkan kakinya di Jawa pada 1525, tepatnya di Tanah Sunda. Kedatangannya disambut baik oleh Raja Sunda, Prabu Surawisesa, yang dikenal oleh Portugis sebagai Raja Samio.
Kerajaan Sunda pada saat itu telah melakukan kerja sama dengan Portugis guna melegitimasi kekuasaannya di Sunda Kelapa dari kekuatan politik Islam di wilayah Jawa atau Mataram. Namun, Fatahillah menilai bahwa kehadiran Portugis di Sunda Kelapa merupakan ancaman bagi seluruh wilayah Nusantara, terutama Jawa.
Dia lalu pergi ke Demak dan mengabdikan dirinya kepada Sultan Trenggono, penguasa Kerajaan Demak saat itu. Sultan Trenggono kemudian menikahkan adik perempuannya dengan Fatahillah.
Selain itu, Fatahillah juga diberikan kuasa terhadap ribuan prajurit untuk mengislamkan Sunda dan merebut Sunda Kelapa dari Portugis. Dalam perjalanannya ke Sunda Kelapa, Fatahillah singgah di Kesultanan Cirebon untuk menggabungkan kekuatannya.
Fatahillah diperkirakan membawa 20 kapal yang mengangkut sekitar 1.500 pasukan di bawah pimpinannya. Ekspedisi itu mulai dilancarkan pada 1526 dan berakhir pada 22 Juni 1527, ketika pasukannya berhasil mengalahkan Portugis dan menguasai Sunda Kelapa.
Setelah berhasil mengusir Portugis, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Penaklukkan Fatahillah atas Portugis pada 22 Juni 1527 kemudian diperingati sebagai hari jadi Jakarta.
Sejarawan seperti Slamet Muljana dan Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan orang yang sama. Mereka meyakini bahwa Fatahillah, selain sebagai penakluk Sunda Kelapa, juga sebagai seorang pendakwah agama Islam di Cirebon hingga akhir hayatnya pada 1570.
Namun, pendapat itu dibantah, bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua orang yang berbeda. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam Fatahillah dan Sunan Gunung Jati yang berada di lokasi berbeda.
Selain itu, pendapat terkait sepak terjangnya juga berbeda. Fatahillah dikenal sebagai seorang panglima perang Demak. Sedangkan Sunan Gunung Jati adalah anggota dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
Terlepas dari asal-usulnya yang banyak perdebatan itu, Fatahillah tak diragukan lagi adalah panglima perang jempolan. Keturunan Kerajaan Samudera Pasai itu memimpin pasukan Islam mengalahkan Portugis dan merebut Sunda Kelapa kemudian mengubahnya menjadi Jayakarta.
Baca Juga: Selain Pusat Penyebaran Islam Ini Peran Penting Kerajaan Samudera Pasai