Klenteng Kwan Sing Bio, Klenteng Terbesar di Indonesia yang Keramatnya Berlipat-lipat

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Klenteng Kwan Sing Bio merupakan klenteng terbesar di Indonesia, bahkan juga Asia Tenggara. Banyak 'keramat' yang ditemukan di dalamnya (Wikipedia Commons)
Klenteng Kwan Sing Bio merupakan klenteng terbesar di Indonesia, bahkan juga Asia Tenggara. Banyak 'keramat' yang ditemukan di dalamnya (Wikipedia Commons)

[EDISI IMLEK]

Bangunan kuno, apalagi jika berperan pula sebagai rumah ibadah, biasanya sering dikeramatkan orang. Takdir seperti itu juga dimiliki klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur. Klenteng terbesar di Indonesia, bahkan mungkin Asia Tenggara.

Penulis: Muhammad Sulhi untuk Majalah Intisari edisi Oktober 2002

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Melihat letaknya di pinggir pantai utara P. Jawa yang selalu ramai kendaraan, dekat terminal bus, bersebelahan dengan SPBU, serta dikelilingi warung tenda sea food jika malam tiba, Kwan Sing Bio sepintas sama dengan tipikal klenteng dalam kota lainnya: terjepit berbagai fasilitas umum dan tempat hiburan.

Namun, cobalah berhenti sebentar di depan pintu gerbangnya. Tengadahkan kepala ke atas dan pandanglah duplikat kepiting raksasa di atas tembok pintu gerbangnya.

Baca Juga: Menelusuri Kawasan Pecinan Sambil Menikmati Kudapan

Sebuah sambutan yang tiada duanya, karena gerbang klenteng (paling tidak di Indonesia) biasanya berhiaskan naga atau burung hong (peacock). Tanda tanya mulai mencuat dalam hati: kejutan apa lagi yang bakal muncul?

Nuansa darurat

Belum sempat kaki melangkah jauh, seorang petinggi dinas pariwisata daerah (Diparda) Tuban mengingatkan untuk membalikkan badan, lurus ke belakang. Ah, syukurlah, tak ada apa-apa dan tak terjadi apa-apa.

Sejauh mata memandang, cuma tampak lautan luas terbentang. Ternyata justru pemandangan tanpa batas itu, jika dilihat dari sisi lain, menjadi sesuatu yang sangat luar biasa dan tak temilai.

"Lihat, gerbang ini langsung menghadap ke pasir pantai tanpa teralang apa pun. Ini satu-satunya klenteng di Indonesia yang langsung menghadap ke laut," cerita teman dari Diparda tadi. Ah, benar juga.

Entah mengapa, tiba-tiba langsung terbayang betapa khidmat manakala berdoa kepada Sang Pencipta Alam seraya menatap salah satu karyanya yang menakjubkan.

Mengapa Kwan Sing Bio bisa dibangun persis di pinggir laut? Banyak versi cerita yang berkembang. Salah satunya tentang upaya pemindahan area Kwan Kong.

Kwan Kong dulunya jenderal yang dikenal jujur dan setia kepada kaisar. Maka, patungnya pun dipercaya bisa melindungi dan menjauhkan diri, keluarga, dan masyarakat dari marabahaya.

Berdirinya Kwan Sing Bio sendiri berawal dari keberadaan sebuah klenteng tanpa nama di Tambakboyo, sekitar 40 km dari pusat Kota Tuban. Tak jelas atas pertimbangan apa, para pengurusnya bersepakat memindahkan area sembahan mereka dari Tambakboyo ke Surabaya lewat jalur laut.

Namun, malang tak dapat ditolak. Tak jauh dari pantai Tuban, kapal mereka kandas terbentur karang. Walaupun segala upaya dikerahkan, kapal tetap bergeming.

Di tengah keputusasaan, para awak kapal berdoa memohon petunjuk dewa. Anehnya, semua menerima wangsit yang sama, yakni perintah untuk membangun tempat ibadah baru di pantai tempat mereka berlabuh paksa.

Lebih aneh lagi, tak ada yang protes sewaktu salah satu dari mereka mengusulkan kepiting besar sebagai lambang klenteng. Maka dibangunlah klenteng sederhana, seluas tak lebih dari 100 m2, berdinding campuran papan dan kayu.

"Keputusan untuk membangun Kwan Sing Bio di lokasinya sekarang, selain lantaran petunjuk dewa, juga pertanda betapa daruratnya kondisi saat itu," terang Handjono Tanzah, humas Kwan Sing Bio.

Area Kwan Kong tak bisa dibiarkan berlama-lama di dalam kapal yang hampir karam. Nilai-nilai "darurat" itu hingga kini terus dipertahankan.

"Kita enggak mau mengubah maksud awal leluhur mendirikan tempat ibadah ini," imbuh Handjono.

Bangunan utama klenteng, tempat pengunjung bersembahyang atau berdoa misalnya, masih menggunakan dinding kayu dan papan. Hanya bangunan-bangunan penunjang yang dibuat dari tembok, seperti ruang pertemuan, ruang serbaguna, tempat penyimpanan duplikat area, atau ruang latihan barongsai.

Jadi, bukan lantaran pihak pengelola tak punya cukup uang untuk menggantinya dengan bata atau batako. "Suasananya justru terasa lebih sakral," komentar Kusnanto, pengunjung asal Semarang.

Kedaruratan Kwan Sing Bio juga tercermin dari kenyataan bahwa Tuban sebenarnya sudah punya klenteng yang cukup representatif. Saudara tua itu, Tjoe Ling Kiong, berada persis di depan alun-alun, tak jauh dari Pantai Boom, lokasi pendaratan pasukan Mongol ketika hendak menyerang Singasari.

Klenteng yang kini kalah pamor dengan Kwan Sing Bio itu berdekatan dengan Masjid Agung dan Gereja Katolik. Situasi khas kota-kota di Jawa yang melambangkan betapa rukunnya kehidupan beragama kala itu.

Meski legenda kepindahan area Dewa Kwan Kong dari Tambakboyo dipercaya sebagai cikal-bakal berdirinya Kwan Sing Bio, tak ada catatan yang memastikan kapan persisnya migrasi itu terjadi. Ada sumber menyebut, area tersebut sudah ada di Tambakboyo jauh sebelum pendaratan tentara Mongol di Tuban (sekitar abad ke-13).

Namun, sumber lain menyebut area berasal dari tentara Mongol yang melarikan diri ke Tambakboyo untuk menghindari pasukan Raden Wijaya.

Tiadanya data tertulis berakibat sulitnya menentukan usia Kwan Sing Bio. "Yang pasti, klenteng ini bukan yang tertua di Indonesia," ujar Handjono, meralat kesalahan yang selama ini dilansir berbagai media.

Menurut lelaki separuh baya ini, berdasarkan penelitian terhadap ornamen-ornamen klenteng, di antaranya kayu kuno bertuliskan doa-doa, dia menyimpulkan usia klenteng sekitar 300-an tahun. Sedangkan Tjoe Ling Kiong diperkirakan berumur 350-an tahun.

Makan gratis tiap hari

Lantas, apa yang membuat Kwan Sing Bio begitu tinggi pamornya? Handjono mengaku tak berani memastikan. Termasuk menyebut posisi menghadap langsung ke laut, lambang kepiting, atau dinding papan kayu sebagai anasir-anasir penambah keramat.

"Banyak yang bilang begitu, apalagi buat mereka yang suka memperhitungkan fengshui atau elemen supernatural lainnya,” katanya menjelaskan.

Sampai di mana kebenarannya, terpulang pada keyakinan masing-masing. Yang pasti, kepopuleran Kwan Sing Bio memang menyebar dari mulut ke mulut.

Mereka yang pernah datang dan merasa kunjungannya berdampak positif biasanya kembali dengan membawa pengunjung baru. Sistem getok tular ini terus berkembang, sehingga tamu yang datang akhirnya tak terbatas pada penganut Tri Dharma, tapi juga lain keyakinan.

Niat mereka bukan cuma beribadah sesuai keyakinan klenteng, tapi memohon pada leluhur, meramal masa depan, mencari berkah, hingga menyembuhkan penyakit menahun.

Dari segi religiusitas, keyakinan orang keturunan Cina memang beragam. Ada yang beragama Islam, Protestan, Katolik, Buddha, atau Hindu. "Tapi masih banyak pula yang meyakini keyakinan tradisional mereka, beberapa pakar sosiologi agama menyebutnya Shenisme," sebut Prof. Gondomono, Ph.D., pakar antropologi dan sinologi.

Inti ajarannya, keberhasilan seseorang tidak bergantung pada kerajinan, kepandaian, dan kerja keras semata, tapi juga bantuan arwah (sheri) para dewa atau tokoh yang didewakan, termasuk arwah leluhur sendiri.

Hubungan itu bersifat timbal-balik dan terus berlangsung, misalnya antara orangtua yang telah meninggal dengan anak atau cucu yang masih hidup. Almarhum butuh persembahan, sedangkan anak cucu perlu doa restu supaya hidup selamat dan sejahtera.

Menelantarkan arwah leluhur, bisa kena sial. Selain sembahyang istimewa yang dihadiri puluhan ribu orang, saban harinya Kwan Sing Bio disinggahi antara 50 - 100 orang.

Acara sembahyang paling banyak menyedot pengunjung berturut-turut peringatan HUT Kwan Sing Tee Koen (Imlek Lak Gwee 24), Kwan Ping Thay Tjoe (Imlek Go Gwee 13), Boo-tho/Tjioko (Imlek Jit Gwee 22), sembahyang Tiong Djioe (Imlek Pak Gwee 15), Kwan Sing Tee Koen Sing Thian (Imlek Kau Gwee 9), dan HUT Tjioe Djong Tjiang Koen (Imlek Cap Gwee 29).

Di acara-acara istimewa itu pula, tim Barongsai Kwan Sing Bio beraksi, diikuti benderangnya nyala kembang api. Konon, tamu yang datang tak cuma orang Tuban dan kota-kota di sekitarnya, tapi juga dari luar Jawa, bahkan mancanegara.

"Tak perlu memikirkan soal penginapan. Kalau cuma untuk tidur, tempat kami cukup untuk menampung," tegas Handjono.

Puluhan ribu orang ditampung sekaligus? Kompleks klenteng sendiri "cuma" terdiri atas ruang utama (tempat sembahyang) yang berada persis di tengah-tengah. Di sekelilingnya berdiri beberapa bangunan permanen memanjang. Ada ruang penyimpanan duplikat area dan benda-benda berharga lainnya, ruang kantor dan sekretariat, beberapa ruang untuk menerima tamu, tempat latihan dan penyimpanan perangkat barongsai.

Lantas, di mana tempat tidur buat tamu?

Dengan santai, lelaki separuh baya itu menunjuk pintu gerbang belakang. Untuk menuju gerbang tersebut, harus melewati tempat parkir internal yang cukup luas, saat itu ada dua bus ukuran besar dan sedang - operasional milik perusahaan sedang ngetem.

Seketika tampak pemandangan menakjubkan. "Lahan belakang" ini tampak jauh lebih luas ketimbang kompleks utama klenteng. Di kanan-kirinya berdiri bangunan panjang permanen mirip asrama. Sedangkan bangunan utama di bagian tengah mirip gedung pertunjukan kesenian, karena berbentuk panggung, dengan ornamen indah dan danau kecil di bawahnya.

Di beranda "asrama kanan", terdapat sebuah meja panjang berisi tumpukan ratusan piring bersih, lengkap dengan nasi dan lauk pauk.

Makan gratis di klenteng memang bukan sesuatu yang luar biasa. Tapi kalau acara makan gratis buat masyarakat umum itu dilakukan setiap hari, barangkali cuma ada di Kwan Sing Bio.

Pengelolaan klenteng yang masuk brosur daerah tujuan wisata Tuban ini terlihat cukup profesional. Konon, total karyawannya sekitar 20-an orang, semuanya digaji bulanan. Untuk menutupi biaya operasional, mereka mendapatkannya dari sumbangan ribuan donatur lepas dan ratusan jemaah tetap, serta menyewakan gedung pertemuan dan krematorium yang ada di kompleks klenteng.

Keberadaan klenteng juga ikut mengangkat sektor informal. Mulai dari pedagang kaki lima, tukang parkir hingga penjual oleh-oleh. Bahkan seorang petinggi Diparda Tuban mengakui, klenteng Tri Dharma ini secara berkala rajin menyumbang kas daerah.

"Buat Tuban, Kwan Sing Bio memang bukan sekadar tempat ibadah Tri Dharma, tapi juga aset wisata," ujar petinggi tadi.

Kleteng sebagai simbol empat kepercayaan

Nasib Kwan Sing Bio bisa termasuk beruntung. Di era Orde Baru, seiring pelarangan terhadap berbagai keyakinan tradisional Cina, serta digolongkannya Shenisme, Tao, dan Konghucu ke dalam agama Buddha, klenteng pun dipaksa mengubah nama menjadi vihara. Padahal fungsi klenteng beda dengan vihara yang notabene khusus tempat ibadah umat Buddha.

Klenteng lebih terbuka dan tidak mengenal waktu khusus untuk bersembahyang atau berdoa. Klenteng juga tak mengenal pendeta khusus. Selain penganut Tao dan Konghucu, klenteng juga kerap didatangi penganut Shenisme. Di Tiongkok klenteng mulai didirikan dan berkembang sejak abad ke-6. Saat itu, atas inisiatif pemerintah Tiongkok, didirikan tempat ibadah yang bisa menampung empat unsur: Konghucu, Buddha, Tao, dan Shenisme.

Di Indonesia, sejak keluarnya Keppres 6/2000 yang mencabut Inpres No 14/67 yang berisi pembatasan buat penganut Tao, Konghucu, dan jenis kepercayaan lainnya mengadakan kegiatan peribadatan, klenteng kembali diperbolehkan merayakan Tahun Baru Imlek. Gondomono memperkirakan, penganut Shenisme di kalangan WNI keturunan Cina sangat besar. Faktor yang selama ini ikut membentuk dan mempertahankan fungsi klenteng dibanjiri tak hanya untuk ibadah formal, tapi juga penghormatan terhadap kekuatan adiluhung.

Baca Juga: Kisah Teddy Candra Jaya, Pria Muslim yang Menjaga Kelenteng Shia Jin Kong Jatinegara

Artikel Terkait