Kehadiran etnis Tionghoa di Kalimantan Barat tak terpisahkan dari perjalanan panjang sejarah kawasan itu. Bersama dua suku besar lain, Melayu dan Dayak, ketiganya saling berinteraksi dan mempengaruhi secara budaya. Hingga kini, mereka bertahan di Bumi Khatulistiwa ini, meski kehidupan mereka banyak yang berkekurangan.
Penulis: Tjahjo Widyasmoro untuk Majalah Intisari Agustus 2004
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sebuah cerita tragis tersiar pada 17 Juli 1998. Hiu Po Thin (58) secara tragis mengakhiri hidupnya beserta keempat anaknya yang berusia 5-15 tahun.
Di gubuk yang teramat sederhana, berdinding kayu, dan beratapkan daun, mereka ditemukan tewas dalam posisi berdampingan di tempat tidur setelah menelan makanan yang dicampur racun serangga.
Saat kejadian, istri dan putra tertuanya kebetulan sedang tidak berada di rumah.
Menurut keterangan polisi, Hiu Po Thin nekat membawa anak-anaknya ke alam baka diduga karena tidak kuat menanggung beban ekonomi yang berat. Penghasilannya sebagai buruh tani sangatlah kecil dan tidak menentu.
Bukan,cerita itu tidak terjadi di daratan Cina sana, tapi di Indonesia. Tepatnya di Desa Roban, Singkawang, Kalimantan Barat.
Di tengah isu tentang kelompok keturunan yang dikatakan begitu menguasai perekonomian hingga menjadi sasaran kerusuhan, khususnya di Jawa beberapa bulan sebelumnya, kisah Hiu Po Thin seakan menyentil masyarakat bahwa tidak semua orang dari etnis Tionghoa di negeri kita hidup berkecukupan.
Datanglah ke kawasan sekitar Pontianak atau Singkawang. Terkuaklah wajah-wajah suram kaum keturunan itu.
Lihatlah rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu bercat kusam beratapkan daun kering. Longoklah ke dalam, tak ada perabotan yang cukup berarti. Paling-paling beberapa peralatan memasak dan makan seadanya, serta alas tidur yang semuanya berada dalam satu ruangan.
Jangan juga bicara sanitasi di sini. Sumur dengan air yang keruh, bahkan selokan yang mengalir lamban di depan rumah pun dipakai untuk keperluan sehari-hari.
Sebuah pemandangan yang seragam di desa-desa tak beraspal dan tak berlistrik itu.
Menunggu rombongan tentara
Migrasi etnis Cina ke Kalimantan Barat sudah dimulai saat Dinasti Han (206 SM-221 M), meski dalam kelompok kecil. Arus migrasi itu bertambah saat Cina dikuasai bangsa Manchu.
"Demam emas" di Kalbar membuat arus itu membludak, terutama ketika Panembahan Mempawah (1750) dan Sultan Sambas (1760) mengimpor kuli yang akan dipekerjakan di pertambangan.
Tercatat tidak kurang dari 32.000 lelaki dan 4.000 perempuan kuli ditempatkan di Monterado, 40 km di sebelah tenggara Singkawang.
Awalnya, hubungan para pekerja Cina dengan penguasa setempat masih berjalan baik, karena pembayaran upeti dari pertanian maupun tambang masih lancar jaya. Tapi tekanan keras dari sultan mendorong mereka untuk mengelola tambang sendiri.
Bahkan, mereka kemudian membentuk organisasi keluarga yang disebut kongsi (dari bahasa Mandarin gongsi= perusahaan).
Anggotanya keluarga atau kerabat dekat sekampung. Kongsi dikelola seperti sebuah negara, lengkap dengan dewan pemerintahan, pengadilan, penjara, bahkan juga tentaranya.
Semakin hari kongsi itu semakin berkembang, sempat mencapai 14 kongsi. Begitu berpengaruhnya kongsi, Lo Fong - pemimpin kongsi Lan Fong (1777) - pernah diangkat oleh Sultan menjadi pemimpin daerah seluas Kabupaten Sambas saat ini.
Merasa jengkel pada perkembangan kongsi yang semakin mengancam, Sultan Abu Bakar Tajuddin (Raja Sambas) minta bantuan Belanda untuk menggempurnya.
Ibarat kucing disodori ikan, Belanda langsung cancut tali wanda, menyingsingkan lengan baju. Mereka sih mengincar emas dan intan.
Sayang, saat itu Belanda sedang berperang dengan Pangeran Diponegoro di Jawa. Berbekal pasukan seadanya, mereka keok menghadapi angkatan bersenjata sekutu para kongsi.
Namun, sejarawan dari Universitas Indonesia, Dr. Onghokham, berpendapat lain. Pihak Belanda-lah yang sebenarnya berinisiatif masuk ke Kalbar karena kekayaan alamnya.
"Memanfaatkan konflik yang terjadi antara Sultan dengan Cina saat itu yang mungkin saja terjadi," kata Onghokham (meninggal 31 Agustus 2007) dengan nada bicara terputus-putus akibat stroke beberapa tahun sebelumnya.
Begitu Pangeran Diponegoro bisa ditekuk (1830), Belanda menggempur Monterado dengan kekuatan penuhnya. Para kongsi mengalami kekalahan total pada 1854 yang disusul larangan pendirian kongsi.
Pada saat yang sama, terjadi gelombang migrasi bangsa Cina ke seluruh dunia. Tak terkecuali ke Kalbar.
Pendatang yang dikenal sebagai kaum singke (untuk membedakan dengan generasi pendatang sebelumnya) ini tidak bertani karena sudah tidak ada lahan, melainkan berdagang. Di sisi lain, kolonial Belanda sengaja mengundang mereka sebagai perantara dagang dengan kaum bumiputra Melayu dan Dayak.
Generasi kaum singke ternyata memberi kesegaran baru bagi Kalbar, khususnya Singkawang. Diperkenalkan oleh para pengrajin dari Sarawak, muncullah keramik Singkawang.
Industri keramik mampu menjadi pelipur tambang yang tutup, yang sempat bertahan sekitar 50 tahun sebelum redup digerus zaman.
Ketenangan kaum Cina di Kalbar terusik oleh peristiwa PGRS/Paraku tahun 1967. Konflik yang berawal dari penumpasan Pasukan Gerilyawan Rakyat Sarawak (PGRS) berhaluan komunis Kuomintang di perbatasan Kalimantan dan Sarawak itu menyeret Suku Dayak berhadapan dengan etnis Cina di pedalaman.
Kerusuhan selama dua bulan (Oktober-November) itu selain menewaskan banyak korban, ribuan keturunan Cina dipaksa mengungsi ke wilayah perkotaan, yaitu sekitar Pontianak, Singkawang, Mempawah, dan Bengkayang.
Pengungsi yang ditempatkan di Singkawang dan Kecamatan Tujuh Belas diberi lahan garapan.
Tapi ledakan penduduk membuat sumber penghidupan itu tidak imbang, dan menghasilkan kaum miskin hingga sekarang. Selain menjadi petani penggarap, tak sedikit mereka juga menjadi pekerja kasar, penarik becak, bahkan gelandangan atau tunawisma.
Tidak berbahasa Indonesia
Dari segi jumlah, keturunan Cina menempati urutan ketiga terbesar, hampir 17% penduduk Kalbar. Khusus di Kabupaten Sambas, jumlahnya mencapai 50%. Dengan jumlah hampir berimbang dengan suku lain, nuansa kecinaan sangat kental.
Tak heran kalau banyak kelenteng (pekong) yang tersebar di kota maupun desa. Biasanya dibangun di puncak-puncak bukit, pinggir sawah, atau di tepian sungai.
Meski tempat ibadah tiga keyakinan ini sudah ada sejak dulu, bahkan ada yang berusia ratusan tahun, namun baru dua tiga tahun terakhir (seiring reformasi) kembali dipercantik. Ini terlihat dari catcat merah klenteng yang terlihat baru dengan renovasi di sana-sini.
Salah satu kelenteng terbesar dan termegah di Tanah Air ada di sini, yakni Vihara Vajra Bumi Kertayoga yang terletak di Kecamatan Sungai Raya, Pontianak. Selesai dibangun Maret 2004, kelenteng ini memiliki luas 1.800 m2.
Konon, ornamennya ditiru dari vihara-vihara di Tibet dengan gapura berupa sepasang rusa, pasung pusaka, dan roda dharma.
Masyarakat etnis Cina yang selama lebih dari 30 tahun lalu "malu-malu" beribadah menghormati leluhurnya kini bebas menjalankannya. Setiap hari selalu ada pengunjung yang memohon berkah keselamatan atau minta kelancaran rezeki, misalnya.
Mereka membawa persembahan buah-buahan dan membakar kertas berisi tulisan doa-doa. Pada pagi hari suasana klenteng biasanya lebih ramai dan menjadi pemandangan khas di Kalbar.
Jika dicermati betul, mayoritas keturunan Cina di Kalbar berasal dari Suku Hakka. Ini tampak dari bahasa pergaulan sehari-hari dan penamaan benda yang menggunakan bahasa Khek.
Seperti nama Desa Sa Liung dan Desa Sa Kok, penamaan makanan seperti bubur lat moi, bahkan konon nama Singkawang berasal dari San Kew Jong (sebuah tempat di kaki gunung dengan mulut laut).
Kentalnya budaya leluhur ini juga terasa dari banyaknya warga yang tidak lancar berbahasa Indonesia, sehingga kadang menyulitkan saat berkomunikasi.
Meski saat ini masih banyak yang menghormati tradisi nenek moyang seperti berdoa di kelenteng, banyak kalangan menilai pemahamannya sudah jauh berkurang.
"Tidak banyak mengetahui pasti tentang sejarah tradisi-tradisi itu sendiri. Mereka mengikuti saja," papar Hasyim, kepala seksi Koleksi Museum Kalimantan Barat.
Sejak Orde Baru misalnya, masyarakat memang banyak "beralih" agama ke Kristen atau Buddha, namun sesekali pada masanya mereka masih memuja dewa-dewa tertentu sesuai ajaran leluhur, seperti Dewa Bumi, Dewi Kwan Im, atau Dewa Samudera.
Keteguhan memegang tradisi ini tidak hanya pada warga yang masih tinggal di Kalbar, tapi juga yang sudah merantau. Kemeriahan perayaan Cap Go Meh yang berlangsung dua minggu setelah Tahun Baru Cina (Imlek) bahkan melebihi Tahun Baru Masehi.
Berpusat di Pontianak dan Singkawang, diadakan festival barongsai dan festival permainan naga. Kemeriahan itu masih berlanjut sebulan kemudian dengan ritual sembahyang kubur (ceng beng).
Hampir seluruh keturunan Cina asal Kalbar yang telah merantau ke Taiwan, Hongkong, Singapura, atau Amerika akan kembali ke kampung halaman untuk berdoa. Saat itu suasana di kawasan pecinan seperti reuni keluarga besar.
Tingkat hunian hotel mendadak tinggi dan perekonomian bergairah walau sesaat.
Momen tradisi budaya dan keagamaan ini cuma sekali dalam setahun, selebihnya tak banyak yang bisa disaksikan di wilayah ini. Kecuali, denyut kehidupan mereka seperti hari-hari sebelumnya.