Ternyata Ini Alasan Kenapa Tidak Ada Tukang Jagal Sapi di Kota Kudus

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Alasan kenapa tidak ada tukang jagal sapi di Kota Kudus ada kaitannya dengan Sunan Kudus yang dikenal toleran terhadap pemeluk Hindu (Yanto/Intisari)
Alasan kenapa tidak ada tukang jagal sapi di Kota Kudus ada kaitannya dengan Sunan Kudus yang dikenal toleran terhadap pemeluk Hindu (Yanto/Intisari)

Kota Kudus dan Sunan Kudus erat ada kaitannya. Juga sikap Sunan Kudus yang menghormati pemeluk Hindu masih berbekas ke sebagian masyarakat Kudus hingga sekarang, emoh makan daging sapi di antaranya.

Penulis: G. Sujayanto untuk Majalah Intisari edisi Desember 1994 -- tayang kembali dengan beberapa penyuntingan

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kudus boleh-boleh saja dijuluki sebagai Kota Kretek. Tapi jangan lupa, Kudus juga berhak menyandang sebutan kota masakan daging kerbau.

Ada sate kerbau, soto kerbau, dendeng, dan penganan khas Kudus yang serba berbahan daging kerbau lainnya. Daging kerbau pun mudah dicari di pasar-pasar, untuk kebutuhan konsumsi protein hewani sehari-hari warganya.

Makanya di sana pun ada beberapa rumah jagal atau rumah pemotongan hewan (RPH) kerbau.

Memang warga kota yang juga terkenal dengan dodolnya, pasti tahu corned beef, steak, bakso, dan penganan serba daging sapi. Tapi kenyataannya tak semua orang di sana suka makanan itu.

Sebab dalam menu sajian restoran pun, tidak gampang menemui sajian asal daging sapi ini. Selain itu, daging sapi sendiri sulit dicari dan ditemui di tempat penjualan resmi daging.

Maklumlah, di kota yang berjarak 50 km timur Semarang itu, memang tak ada RPH sapi alias rumah jagal lembu. Kenapa tidak ada jagal sapi di Kudus?

Cocok daging kerbau

Lo, apakah orang Kudus itu antidaging sapi? Tidak juga.

Sebab ada sebagian yang makan daging sapi, sedangkan ada sebagian warga Kudus lainnya yang sejak dulu tak suka makan daging sapi dan pantang menyembelih sapi.

Menurut H. Em Nadjib Hassan (pada 94 adalah ketua Yayasan Masjid Menara dan Makan Sunan Kudus), barangkali tradisi ini berawal sejak Sunan Kudus, salah satu dari sembilan wali (Wali Sanga) yang pada masa Kesultanan Demak menyebarkan agama Islam.

Ketika itu, masih menurutnya, sebagian dari masyarakat zaman itu masih ada kaitannya dengan agama Hindu yang sangat menghormati sapi.

"Untuk mencapai sasaran, salah satu kiat Sunan Kudus antara lain memberi fatwa kepada masyarakat muslim supaya tidak menyembelih lembu. Kalau saya terjemahkan, ini sebagai salah satu bentuk toleransi," katnaya.

Bila ditilik lebih lanjut dalam buku Menara Masjid Kudus (1985) tulisan Drs. Syafwandi, tertulis:

"Cara Sunan Kudus menyiarkan agama Islam dengan bijaksana tanpa kekerasan atau paksaan. Di antaranya dengan menyuruh mengikat lembu di halaman masjid (pohon untuk mengikat lembu ini sekarang sudah tidak ada) dan melarang memotong hewan tersebut. Karena lembu adalah binatang yang dianggap suci oleh pemeluk agama Hindu."

Sunan Kudus atau Amir Haji kemudian sejak bermukim di Kudus dikenal sebagai Ja'far Shodiq (setelah wafat dan dimakamkan di Kudus baru disebut Sunan Kudus), terkenal sebagai wali yang cakap di bidang agama, pemerintahan, dan kesusastraan, menganjurkan kepada masyarakat Kudus agar tidak menyembelih sapi.

Anjurannya rupanya diikuti kebanyakan warga Kudus. Dalam perjalanan waktu selama empat abad, anjuran tidak menyembelih sapi itu pun masih tetap dilakoni sebagian masyarakat Kudus -- bahkan berkembang sampai tidak suka memakan daging sapi juga.

Khususnya soal menyantap hidangan berdaging sapi, rupanya sudah menjadi kebiasaan tersendiri di beberapa kalangan masyarakat Kudus.

Hal ini kelihatan juga dalam hidangan khas Kudus dalam perhelatan sunatan, pernikahan, atau kenduri. Hidangan masakan khas Kudus yang berupa uyah asem atau aseman dan jangkring goreng, pasti menggunakan daging kerbau.

"Kalau pakai daging sapi yang berserat lembut malah nggak bakal berhasil, bisa-bisa dagingnya hancur luluh. Jadi nggak enak juga. Cocoknya memang daging kerbau. Masakan lainnya akhirnya juga menyesuaikan diri, macam sate kerbau, soto kerbau," jelas Nadjib.

Memang, tidak semua masyarakat Kota Kudus tidak makan daging sapi. Meski begitu, untuk mendapatkannya terbilang sedikit ribet (Yanto/Intisari)
Memang, tidak semua masyarakat Kota Kudus tidak makan daging sapi. Meski begitu, untuk mendapatkannya terbilang sedikit ribet (Yanto/Intisari)

Sembelih sapi gulung tikar

"Kudus seluas 422,21 km persegi dan jumlah penduduknya hampir 600 ribu jiwa, kalau dibandingkan antara mereka yang makan daging sapi dan tidak kira-kira 50:50," ujar Nadjib, yang juga pengusaha muda bordir ini.

"Mereka yang masih bertradisi adalah masyarakat yang tinggal di Kudus Wetan. Sementara yang tinggal di sebelah barat Sungai Gelis dan di sekitar Menara Masjid Kudus yang disebut Kudus Kulon atau Kudus Tuwo, tampaknya tidak peduli dengan kebiasaan tradisi ini."

Kendati tidak ada acuan yang melarang menyembelih sapi bagi umat Islam, namun pemotongan sapi untuk keperluan sehari-hari hampir tidak ada di Kudus.

Rumah pemotongan hewan di Ploso yang terletak ± 2 km dari Menara Masjid Kudus yang (pada 1994 ketika artikel ini ditulis) menjagal rata-rata 8 ekor kerbau setiap hari antara pukul 05.00 dan 08.00, menurut penjaganya sudah ada sejak zaman Belanda.

"Jumlah itu akan bertambah bila ada hajatan yang meminta memotongkan hewannya di RPH. Tapi tetap saja semuanya kerbau," ujar penjaga RPH yang siang itu kosong lagi kegiatannya.

Begitu juga dua RPH lainnya yang ada Lumbar dan Ploso, selalu hanya memotong kerbau. "Namun suatu kali di Ploso, seingat saya antara tahun 1980 dan 1982 pernah sebentar memotong sapi, langsung gulung tikar. Umumnya Kudus itu memang menyembelih kerbau, kalau dipaksakan menyembelih sapi katanya akan gulung tikar," ujar penjaga itu.

Penjaga RPH ini dulu pernah berdagang bakso di Kudus Wetan. Setiap kali dia ditanya apakah baksonya terbuat dari daging sapi atau kerbau, dia mengatakan baksonya berdaging sapi.

"Jadi pembeli itu memesan, tapi hanya mi tanpa bakso. Itu 'kan artinya mereka tidak doyan sapi," katanya.

Tradisi pantang memotong sapi, konon berihwal dari "kepercayaan" kalau seseorang berani menyembelih lembu, pasti akan tertimpa kemalangan.

Sebab ada cerita perihal kejadian di zaman Belanda, sekitar tahun 1940-ah, seorang ulama Kudus, K.H. R. Asnawi yang masih keturunan ke-21 Sunan Kudus, menyembelih sapi. Konon ceritanya, sehabis ulama itu menyembelih sapi ia ditangkap Belanda.

Kejadian ini rupanya salah satu penyebab, hingga muncul "kepercayaan" menyembelih sapi itu sama dengan mengundang sial.

Pantangan dan "tabu" daging sapi ini, masih terlihat pada acara buka luwur yang diadakan tahunan setiap tanggal 10 Muharram (10 Suro) untuk mengenang jasa almarhum Sunan Kudus dan Sunan Muria.

Hewan kurban selalu kerbau dan kambing, misalnya acara tahun 1993 lalu hewan yang dagingnya dibagi-bagikan ke masyarakat umum itu, berasal dari hewan kurban 7 ekor kerbau dan 60 ekor kambing.

"Namun 1 - 2 tahun belakangan sudah ada yang berani menyembelih sapi, alasannya bukanlah untuk demonstratif, tetapi untuk lebih ekonomis karena lebih murah apalagi saat musim kurban," ujar Nadjib.

"Tapi menyembelih sapi itu lebih repot," tambahnya.

Ternyata tindakan anggota masyarakat tersebut tidak menimbulkan dampak khusus, misalnya timbul bencana atau tertimpa kemalangan, seperti yang selama ini ditakuti beberapa penduduk.

Masalahnya, seperti diakui Nadjib, justru kerepotan kalau memotong sapi di Kudus.

"Tukang jagalnya harus didatangkan dari luar. Belum lagi menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Daripada repot ya lebih baik nggak usah. Wong nyatanya daging kerbau juga lebih gampang diperoleh di Kudus," tutupnya.

Artikel Terkait