Penyebab Pemilu 1955 Kepincangan-kepincangan di Bidang Politik Sangat Dirasakan

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama di Indonesia.
Ilustrasi - Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama di Indonesia.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Tahun 1955, Indonesia menorehkan sejarah emas dalam perjalanan demokrasinya.

Pemilihan Umum pertama digelar, bak fajar yang menyingsing, menjanjikan harapan baru bagi bangsa yang baru saja merdeka.

Euforia kebebasan berpolitik menyeruak di setiap pelosok negeri, rakyat antusias menyambut pesta demokrasi yang digadang-gadang sebagai yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia.

Namun, di balik gegap gempita dan sorak-sorai kemenangan, tersembunyi luka yang menganga, kepincangan-kepincangan di bidang politik yang tak bisa diabaikan.

Pemilu 1955, yang seharusnya menjadi tonggak awal bagi demokrasi yang kokoh, justru menyisakan duri dalam daging.

Ibarat sebuah bangunan megah yang berdiri di atas fondasi yang rapuh, keindahan demokrasi kala itu ternodai oleh berbagai masalah struktural dan dinamika politik yang kompleks.

Akar Kepincangan, Sistem Multipartai dan Polarisasi Ideologi

Salah satu akar permasalahan yang menjerat Pemilu 1955 adalah sistem multipartai yang begitu liberal.

Kebebasan berserikat dan berkumpul memang menjadi pilar demokrasi, namun menjamurnya partai politik justru menciptakan fragmentasi dan polarisasi di tengah masyarakat.

Herbert Feith dalam bukunya "The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia" (1962) menggambarkan kondisi ini dengan tajam.

Ia mencatat bahwa terdapat lebih dari 20 partai politik dan organisasi massa yang ikut serta dalam Pemilu 1955.

Masing-masing membawa ideologi dan kepentingan yang beragam, mulai dari nasionalisme, agama, hingga komunisme.

Kondisi ini melahirkan persaingan politik yang begitu sengit, bahkan cenderung mengarah pada konflik.

Partai-partai politik berlomba-lomba meraih suara rakyat dengan mengobarkan sentimen primordial dan isu-isu sensitif.

Tak jarang, kampanye politik diwarnai dengan propaganda hitam, intimidasi, dan kekerasan.

Rakyat terpecah belah, terjebak dalam pusaran fanatisme buta yang mengikis nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.

Luka Demokrasi, Manipulasi dan Ketidakadilan

Di tengah atmosfer politik yang memanas, praktik manipulasi dan kecurangan dalam Pemilu 1955 tak terelakkan.

Meskipun dianggap sebagai pemilu paling demokratis, namun kenyataannya jauh panggang dari api.

Berbagai bentuk pelanggaran terjadi, mulai dari pemalsuan suara, penyalahgunaan wewenang, hingga intimidasi terhadap pemilih.

Sejarawan Rosihan Anwar dalam bukunya "Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia" (2004) mengungkapkan beberapa kasus kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 1955.

Di beberapa daerah, terdapat indikasi penggelembungan suara dan manipulasi data pemilih.

Di sisi lain, kelompok minoritas dan perempuan seringkali terpinggirkan dan dihalangi hak politiknya.

Ketidakadilan dan kecurangan ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan masyarakat. Kepercayaan publik terhadap demokrasi mulai terkikis, digantikan oleh sinisme dan apatisme.

Pemilu 1955, yang seharusnya menjadi momentum konsolidasi demokrasi, justru menorehkan luka yang mendalam bagi perjalanan bangsa.

Bayang-bayang Masa Lalu, instabilitas Politik dan Krisis Kepemimpinan

Pemilu 1955 juga dibayangi oleh instabilitas politik dan krisis kepemimpinan yang mendera Indonesia pasca kemerdekaan.

Pemerintahan berganti silih berganti, partai-partai politik berebut kekuasaan, sementara pemberontakan dan konflik internal terus berkecamuk di berbagai daerah.

Kondisi ini menciptakan kevakuman kepemimpinan yang sulit diatasi.

Presiden Soekarno, meskipun kharismatik, gagal menyatukan berbagai faksi politik yang berseteru.

Parlemen yang terfragmentasi justru menjadi arena perdebatan politik yang tak berkesudahan.

Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa memicu ketidakpuasan di kalangan rakyat.

Kepercayaan terhadap sistem demokrasi parlementer mulai memudar. Situasi ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ingin mengganti sistem demokrasi dengan bentuk pemerintahan lain, seperti demokrasi terpimpin atau bahkan komunisme.

Warisan Pemilu 1955, Pelajaran Berharga bagi Demokrasi Indonesia

Meskipun diwarnai oleh berbagai kepincangan dan kekurangan, Pemilu 1955 tetap menorehkan makna penting dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Pemilu ini menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mampu menyelenggarakan pesta demokrasi, meskipun dalam situasi yang sulit dan kompleks.

Lebih dari itu, Pemilu 1955 memberikan pelajaran berharga bagi generasi penerus bangsa.

Kita belajar bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang instan dan mudah diraih. Demokrasi membutuhkan proses panjang, perjuangan keras, dan komitmen dari seluruh elemen bangsa.

Kita juga belajar bahwa demokrasi bukanlah sistem yang sempurna.

Demokrasi memiliki kelemahan dan kerentanan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, kita perlu terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan sistem demokrasi kita, agar lebih berkeadilan, transparan, dan mampu mewujudkan cita-cita bangsa.

Sumber:

Feith, Herbert. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Anwar, Rosihan. (2004). Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1300. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait