'Jalan Dewa' yang Dibawa Jepang ketika Menjajah Nusantara

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Bagaimana perlawanan terhadap pendudukan Jepang yang dilatarbelakangi Kewajiban melakukan Seikerei di wilayah Singaparna Jawa Barat?
Ilustrasi - Bagaimana perlawanan terhadap pendudukan Jepang yang dilatarbelakangi Kewajiban melakukan Seikerei di wilayah Singaparna Jawa Barat?

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Fajar menyingsing di ufuk timur, semburat jingga membelai lembut langit Nusantara. Namun, cahaya mentari pagi itu tak lagi sama.

Di tahun 1942, bayang-bayang matahari terbit telah menyelimuti kepulauan ini, membawa serta angin perubahan yang menerpa keyakinan dan spiritualitas bumi pertiwi.

Jepang, sang penguasa baru, datang tidak hanya dengan kekuatan militernya, tetapi juga dengan keyakinan yang telah mengakar kuat dalam jiwa mereka: Shinto.

Shinto, yang secara harfiah berarti "jalan dewa", adalah agama asli Jepang yang memuja kami, roh-roh suci yang mendiami alam semesta.

Bagi masyarakat Jepang, kami hadir di setiap sudut kehidupan, dari gunung-gunung yang menjulang hingga sungai-sungai yang mengalir, dari pohon-pohon yang rindang hingga bebatuan yang kokoh.

Kami adalah manifestasi kekuatan alam, leluhur, dan pahlawan yang dihormati.

Kepercayaan ini telah membentuk karakter dan budaya Jepang selama berabad-abad, mengajarkan nilai-nilai seperti kebersihan, harmoni, dan penghormatan terhadap alam.

Ketika Jepang menginjakkan kaki di Nusantara, Shinto pun turut serta, dibawa dalam hati setiap prajurit, administrator, dan penduduk sipil yang datang.

Pemerintah Jepang, dalam ambisinya untuk menciptakan "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya", menyadari pentingnya pendekatan kultural dalam menguasai Nusantara.

Mereka melihat Shinto sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai Jepang dan membangun rasa persaudaraan antara penjajah dan penduduk pribumi.

Berbagai upaya pun dilakukan untuk menyebarkan pengaruh Shinto. Kuil-kuil Shinto didirikan di berbagai kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.

Jinja, sebutan untuk kuil Shinto, ini menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi masyarakat Jepang di Nusantara, sekaligus simbol kehadiran dan dominasi Jepang.

Selain itu, pemerintah Jepang juga mendorong penduduk pribumi untuk menghormati kami dan leluhur mereka. Upacara penghormatan kepada arwah pahlawan, seperti Pangeran Diponegoro dan Jenderal Sudirman, diselenggarakan dengan khidmat, memadukan ritual Shinto dengan tradisi lokal.

Salah satu contoh nyata perpaduan ini adalah upacara penghormatan di makam Imogiri, Yogyakarta, tempat para raja Mataram dimakamkan.

Di tempat yang sakral ini, para pejabat Jepang dan pemimpin lokal berdiri berdampingan, memanjatkan doa dan memberikan penghormatan kepada arwah leluhur, menciptakan ilusi harmoni dan persatuan di tengah penjajahan.

Namun, di balik upaya-upaya tersebut, terdapat tujuan tersembunyi. Pemerintah Jepang ingin menggantikan pengaruh agama-agama lain, seperti Islam dan Kristen, dengan Shinto.

Mereka berharap dengan menanamkan nilai-nilai Shinto, penduduk pribumi akan lebih mudah dikendalikan dan diarahkan untuk mendukung kepentingan Jepang.

Strategi ini diterapkan melalui berbagai cara. Sekolah-sekolah diwajibkan untuk mengajarkan tentang Shinto dan budaya Jepang.

Siswa-siswa diajarkan untuk menghormati Kaisar Jepang, yang dianggap sebagai keturunan kami matahari, Amaterasu. Setiap pagi, mereka diharuskan membungkuk ke arah timur, tempat matahari terbit, sebagai tanda penghormatan kepada Kaisar.

Selain itu, pemerintah Jepang juga melarang penggunaan bahasa Belanda dan mempromosikan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah dan instansi pemerintahan.

Nama-nama jalan dan bangunan diubah menjadi nama-nama Jepang. Semua ini bertujuan untuk menghapus jejak penjajahan Belanda dan mengukuhkan dominasi Jepang di Nusantara.

Namun, upaya Jepang untuk menyebarkan Shinto tidak sepenuhnya berhasil. Mayoritas penduduk Nusantara tetap teguh memegang keyakinan mereka.

Islam, Kristen, dan agama Hindu-Buddha tetap menjadi sumber kekuatan spiritual bagi masyarakat Indonesia.

Meskipun di permukaan tampak tunduk, dalam hati mereka menolak pengaruh Shinto. Mereka melihat Shinto sebagai agama asing yang bertentangan dengan nilai-nilai dan tradisi mereka.

Penolakan ini terkadang muncul ke permukaan dalam bentuk perlawanan pasif, seperti menolak untuk mengikuti upacara Shinto atau secara diam-diam mempraktikkan agama mereka sendiri.

Salah satu contoh perlawanan tersebut adalah kisah Kyai Haji Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Ketika dipaksa untuk membungkuk ke arah timur, Kyai Hasyim menolak dengan tegas. Beliau menyatakan bahwa sebagai seorang Muslim, beliau hanya akan bersujud kepada Allah SWT.

Sikap teguh Kyai Hasyim ini menjadi inspirasi bagi umat Islam untuk tetap mempertahankan keyakinan mereka di tengah tekanan penjajah.

Perlawanan terhadap Shinto juga datang dari tokoh-tokoh agama lain. Para pemimpin Kristen dan Hindu-Buddha turut serta membangkitkan semangat perlawanan dan menjaga keyakinan umat mereka.

Mereka menyadari bahwa Shinto bukan hanya sekadar agama, tetapi juga alat politik yang digunakan Jepang untuk menguasai Nusantara.

Meskipun gagal menggantikan agama-agama lain, Shinto tetap meninggalkan jejak dalam budaya Indonesia.

Beberapa tradisi Jepang, seperti upacara minum teh dan seni bela diri, diadopsi dan diadaptasi oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, beberapa kata dalam bahasa Indonesia, seperti terima kasih dan buku, berasal dari bahasa Jepang.

Pengaruh Shinto juga terlihat dalam arsitektur beberapa bangunan peninggalan Jepang, seperti Gedung Sate di Bandung dan Lawang Sewu di Semarang.

Bangunan-bangunan ini memadukan gaya arsitektur Eropa dengan elemen-elemen Shinto, menciptakan estetika yang unik dan menarik.

Namun, jejak Shinto yang paling nyata mungkin adalah monumen-monumen peringatan perang Jepang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Monumen-monumen ini, yang didirikan untuk menghormati para tentara Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II, seringkali dihiasi dengan simbol-simbol Shinto, seperti torii (gerbang kuil) dan komainu (patung singa penjaga).

Monumen-monumen ini menjadi pengingat akan masa lalu yang kelam, ketika Nusantara berada di bawah kekuasaan Jepang.

Namun, di sisi lain, monumen-monumen ini juga menjadi saksi bisu dari interaksi budaya antara Jepang dan Indonesia, sebuah interaksi yang kompleks dan penuh dinamika.

Ketika Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, Shinto pun turut surut pengaruhnya di Nusantara.

Masyarakat Indonesia kembali memeluk agama-agama mereka dengan penuh semangat, membangun kembali kehidupan spiritual yang sempat terusik.

Namun, Shinto tidak lenyap begitu saja. Keyakinan ini tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, terukir dalam sejarah sebagai bagian dari perjalanan bangsa ini.

Shinto, sang tamu dari negeri matahari terbit, telah meninggalkan jejaknya di bumi pertiwi, sebuah jejak yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga jati diri dan keyakinan di tengah arus perubahan zaman.

Sumber:

Benda, Harry J. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. The Hague: W. van Hoeve, 1958.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1300. Stanford: Stanford University Press, 2001.

Shimazono, Susumu. "Shinto and the State." Dalam The Oxford Handbook of Japanese Religions, diedit oleh John Breen dan Mark Teeuwen. Oxford: Oxford University Press, 2010.

Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait