Alasan Golongan Tua Belum Berani Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia Meski Mengetahui Jepang Telah Kalah

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Peristiwa Rengasdengklok yang terjadi sebelum peristiwa proklamasi sejatinya adalah bentuk perbedaan pendapat Golongan Tua dan Golongan Muda.
Peristiwa Rengasdengklok yang terjadi sebelum peristiwa proklamasi sejatinya adalah bentuk perbedaan pendapat Golongan Tua dan Golongan Muda.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Fajar menyingsing di ufuk timur, namun langit Indonesia masih diselimuti mendung ketakutan. Kabar kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II telah sampai ke telinga para pemimpin bangsa, bagai bisikan angin yang membawa harapan sekaligus kecemasan.

Kemerdekaan, yang selama ini menjadi mimpi indah, kini tampak begitu dekat, namun jalan menuju ke sana masih terjal dan berliku.

Di tengah euforia dan desakan kaum muda yang bergelora, para sesepuh bangsa, yang kita kenal sebagai "golongan tua", justru dilanda kebimbangan.

Mereka, yang telah makan asam garam perjuangan, tak ingin tergesa-gesa memetik buah yang belum matang.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi sikap hati-hati golongan tua ini, yang terukir dalam catatan sejarah perjuangan bangsa.

Mari kita telusuri lebih dalam, menyelami pemikiran mereka, memahami kegelisahan yang membayangi langkah mereka, dan mengungkap hikmah di balik setiap keputusan yang diambil.

Pertama, kekhawatiran akan kekacauan dan pertumpahan darah. Indonesia, yang baru saja terlepas dari cengkeraman penjajahan, masih rapuh bagai bayi yang baru lahir.

Para pemimpin golongan tua, seperti Soekarno dan Hatta, menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan bukanlah sekadar pengumuman di atas kertas, melainkan langkah awal menuju sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Mereka tidak ingin kemerdekaan yang diraih dengan susah payah justru menjadi awal dari disintegrasi bangsa, perpecahan, dan perang saudara.

"Kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan; yang penting kita mencapai tujuan di seberang jembatan itu," ujar Bung Karno suatu ketika, seperti dikutip dalam buku Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Jembatan itu, dalam pandangan Soekarno, haruslah kokoh, dibangun dengan fondasi yang kuat, agar mampu menopang langkah bangsa menuju cita-cita luhur.

Proklamasi kemerdekaan harus dilakukan dengan persiapan matang, perencanaan yang matang, dan dukungan yang luas dari seluruh rakyat Indonesia, agar tidak berakhir dengan kekacauan yang justru menghancurkan impian kemerdekaan itu sendiri.

Kedua, bayang-bayang kekuatan Sekutu. Jepang memang telah kalah, namun Perang Dunia II belum sepenuhnya usai.

Sekutu, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris, masih memiliki kekuatan militer yang besar di Asia Pasifik.

Para pemimpin golongan tua khawatir jika Indonesia terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan, Sekutu akan menganggapnya sebagai tindakan sepihak yang melanggar kesepakatan internasional.

Hal ini bisa berujung pada intervensi militer Sekutu, yang tentu saja akan mengorbankan lebih banyak nyawa dan harta benda.

Ketakutan ini bukanlah isapan jempol belaka. Sejarah mencatat, Sekutu pernah melakukan intervensi militer di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, meskipun dengan dalih melucuti tentara Jepang.

Pertempuran Surabaya, yang pecah pada bulan Oktober 1945, menjadi bukti nyata betapa berbahayanya konfrontasi dengan Sekutu.

Dalam buku Revolusi Indonesia (1965), sejarawan Belanda J.M. Pluvier menggambarkan Pertempuran Surabaya sebagai "pertempuran paling berdarah dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia".

Ketiga, keinginan untuk menghindari konflik internal. Di internal bangsa Indonesia sendiri, terdapat perbedaan pandangan mengenai waktu dan cara memproklamasikan kemerdekaan.

Golongan muda, yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Sutan Sjahrir dan Chaerul Saleh, mendesak agar proklamasi segera dilakukan, tanpa menunggu persetujuan Jepang atau Sekutu.

Mereka berpendapat bahwa kemerdekaan adalah hak mutlak bangsa Indonesia, dan tidak boleh dikaitkan dengan kepentingan negara lain.

Di sisi lain, golongan tua lebih memilih jalan diplomasi dan negosiasi. Mereka berusaha memanfaatkan situasi kekalahan Jepang untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan secara internasional, sekaligus menghindari konflik dengan Sekutu.

Perbedaan pandangan ini menimbulkan ketegangan antara golongan tua dan golongan muda, yang mencapai puncaknya dengan peristiwa penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok, yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945, merupakan gambaran nyata dari pergulatan pemikiran antara dua generasi pejuang kemerdekaan.

Golongan muda, yang diwakili oleh Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh, menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan mendesak mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

Namun, Soekarno dan Hatta tetap pada pendirian mereka, bahwa proklamasi harus dilakukan melalui jalan yang konstitusional dan mempertimbangkan segala risiko yang mungkin timbul.

Keempat, keinginan untuk melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Para pemimpin golongan tua menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan bukanlah milik sekelompok orang atau golongan tertentu, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.

Mereka ingin memastikan bahwa proklamasi kemerdekaan mendapatkan dukungan yang luas dari seluruh lapisan masyarakat, dari Sabang sampai Merauke.

Untuk mewujudkan hal ini, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang beranggotakan tokoh-tokoh dari berbagai daerah dan golongan.

PPKI bertugas untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kemerdekaan, mulai dari penyusunan konstitusi, pembentukan pemerintahan, hingga pengibaran bendera merah putih.

Kelima, keyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak sejati bangsa Indonesia. Meskipun berhati-hati dalam melangkah, para pemimpin golongan tua tetap teguh pada pendirian bahwa kemerdekaan adalah hak sejati bangsa Indonesia.

Mereka yakin bahwa Indonesia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas dari belenggu penjajahan.

Keyakinan ini tercermin dalam pidato proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Kalimat-kalimat penuh tekad itu menggema di seluruh nusantara, menandai lahirnya sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Akhirnya, fajar kemerdekaan pun menyingsing. Setelah melalui perdebatan panjang dan peristiwa bersejarah di Rengasdengklok, proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Peristiwa ini menandai puncak perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Keputusan golongan tua untuk berhati-hati dalam memproklamasikan kemerdekaan terbukti bijaksana. Mereka berhasil menghindari kekacauan dan pertumpahan darah yang lebih besar, serta meletakkan fondasi yang kokoh bagi masa depan Indonesia yang merdeka.

Hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa ini adalah pentingnya kebijaksanaan, kesabaran, dan persatuan dalam menghadapi tantangan sejarah.

Sumber:

Adams, Cindy. (1965). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Pluvier, J.M. (1965). Revolusi Indonesia.

Ricklefs, M.C. (2008). _Sejarah Indonesia Modern 1

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait