Strategi Kolonialis Belanda Menghadapi Perlawanan Kedaerahan Dengan Menggunakan Bangsa Indonesia Sendiri

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Belanda semakin semena-mena terhadap Keraton Yogyakarta setelah berhasil menangkap Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa
Belanda semakin semena-mena terhadap Keraton Yogyakarta setelah berhasil menangkap Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Angin Timur berbisik pilu, menyapu pucuk-pucuk kelapa di pesisir Jawa. Ombak Laut Selatan menggulung gelisah, seakan turut merasakan nestapa yang merundung Nusantara.

Di tanah yang subur dan kaya raya ini, secercah harapan kemerdekaan mulai bersemi di hati para pribumi.

Namun, di balik keindahan alam yang memesona, tersimpan duka lara akibat penjajahan yang kejam. Kolonialis Belanda, dengan ambisi menguasai rempah-rempah dan kekayaan alam, datang dengan janji manis namun berujung nestapa.

Perlawanan demi perlawanan berkobar di seantero Nusantara. Para pahlawan dari berbagai daerah, dengan gagah berani, mengangkat senjata melawan penjajah.

Pangeran Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatera, Pattimura di Maluku, dan banyak lagi pejuang lainnya, menjadi simbol perlawanan terhadap tirani. Mereka berjuang dengan segenap jiwa raga, mengobarkan semangat patriotisme yang membara.

Namun, Belanda tak tinggal diam. Mereka menyadari bahwa kekuatan fisik semata tak cukup untuk menundukkan semangat juang bangsa Indonesia. Dibutuhkan strategi licik dan keji untuk meredam perlawanan yang kian membara.

Maka, lahirlah strategi "devide et impera", politik adu domba yang bertujuan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Devide et Impera: Senjata Mematikan Penjajah

Devide et impera, atau politik adu domba, merupakan strategi kuno yang telah digunakan oleh berbagai imperium di dunia. Belanda, dengan cerdik, mengadopsi strategi ini untuk menghadapi perlawanan di Nusantara. Mereka memanfaatkan perbedaan suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia untuk menciptakan konflik internal.

1. Memanfaatkan Konflik Internal

Belanda dengan jeli melihat potensi konflik yang ada di masyarakat Indonesia. Mereka mengobarkan api permusuhan antara kerajaan-kerajaan, suku-suku, dan kelompok-kelompok masyarakat. Dengan mengadu domba satu sama lain, Belanda berharap dapat melemahkan kekuatan perlawanan.

Contoh nyata dari strategi ini adalah intervensi Belanda dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Belanda mendukung pihak kerajaan yang berseberangan dengan Pangeran Diponegoro, sehingga memperlemah kekuatan sang pangeran.

2. Menciptakan Kelas Sosial Pribumi

Belanda juga menciptakan kelas sosial baru di kalangan pribumi. Mereka memberikan privilese dan kedudukan istimewa kepada sebagian kecil pribumi yang loyal kepada Belanda. Kelas priyayi ini kemudian dijadikan alat untuk mengontrol dan mengawasi masyarakat.

Strategi ini menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat. Pribumi non-priyayi merasa terpinggirkan dan tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak. Hal ini memicu kecemburuan sosial dan konflik internal.

3. Politik "Pintu Terbuka"

Pada akhir abad ke-19, Belanda menerapkan politik "pintu terbuka" yang mengizinkan masuknya modal asing ke Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi kolonial, namun justru menciptakan persaingan antara pengusaha pribumi dan pengusaha asing.

Pengusaha pribumi, yang kalah bersaing, semakin terpuruk dan kehilangan mata pencaharian. Hal ini memperburuk kondisi ekonomi masyarakat dan memicu keresahan sosial.

4. Sistem Pendidikan yang Diskriminatif

Belanda menerapkan sistem pendidikan yang diskriminatif. Sekolah-sekolah didirikan untuk anak-anak Belanda dan pribumi dari golongan priyayi. Sementara itu, rakyat jelata hanya memiliki akses terbatas terhadap pendidikan.

Sistem pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan generasi pribumi yang terdidik namun tetap loyal kepada Belanda. Mereka diharapkan menjadi perpanjangan tangan Belanda dalam menjalankan pemerintahan kolonial.

Dampak Devide et Impera

Strategi devide et impera yang diterapkan Belanda memiliki dampak yang sangat merusak bagi bangsa Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa terpecah belah, semangat perlawanan melemah, dan penderitaan rakyat semakin bertambah.

1. Melemahnya Semangat Perlawanan

Politik adu domba berhasil memecah belah kekuatan perlawanan rakyat Indonesia. Konflik internal antar kelompok masyarakat membuat mereka sulit bersatu melawan penjajah. Belanda dengan mudah menundukkan perlawanan satu per satu.

2. Penderitaan Rakyat

Rakyat Indonesia semakin menderita akibat penjajahan dan politik adu domba. Kemiskinan, kelaparan, dan penyakit merajalela. Banyak rakyat yang kehilangan tanah dan mata pencaharian.

3. Terhambatnya Perkembangan Bangsa

Devide et impera menghambat perkembangan bangsa Indonesia. Konflik internal dan diskriminasi sosial menghambat kemajuan di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial.

4. Trauma Sejarah

Politik adu domba meninggalkan luka mendalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Trauma sejarah ini masih terasa hingga kini, dan menjadi tantangan dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa.

Kesimpulan

Strategi devide et impera merupakan senjata mematikan yang digunakan Belanda untuk menghadapi perlawanan di Nusantara. Politik adu domba ini berhasil memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, melemahkan semangat perlawanan, dan memperburuk penderitaan rakyat.

Meskipun penjajahan telah berakhir, namun dampak devide et impera masih terasa hingga kini. Kita harus belajar dari sejarah kelam ini dan senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Hanya dengan bersatu, kita dapat membangun Indonesia yang lebih baik dan mencapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya.

Sumber:

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Reid, Anthony. (1974). The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Australia Pty Ltd.

Kahin, George McTurnan. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Vickers, Adrian. (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. (1990). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Artikel Terkait