Alasan Belanda Mendirikan STOVIA pada Awal Abad ke-20?

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Mahasiswa STOVIA Pendiri dan anggota Budi Utomo. Artikel ini akan menguraikan secara singkat sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia dari tahun 1908 hingga 1942.
Mahasiswa STOVIA Pendiri dan anggota Budi Utomo. Artikel ini akan menguraikan secara singkat sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia dari tahun 1908 hingga 1942.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com -Fajar menyingsing di Hindia Belanda, abad ke-20 baru saja menyapa. Di tengah hiruk-pikuk Batavia, di antara derap langkah para pedagang dan nyanyian burung kenari, sebuah bangunan megah berdiri kokoh.

Namanya STOVIA, singkatan dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, atau Sekolah untuk Pendidikan Dokter Pribumi.

Berdirinya STOVIA bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah langkah yang terukur dan penuh perhitungan dari pemerintah kolonial Belanda.

Di balik tembok-tembok kokoh STOVIA, tersimpan beragam alasan yang kompleks, bak benang kusut yang menunggu untuk diurai.

Mari kita telusuri lorong-lorong sejarah, menyelami masa lalu untuk memahami motif di balik pendirian STOVIA.

Awalnya, Hindia Belanda menghadapi momok menakutkan: wabah penyakit. Kolera, malaria, pes, dan berbagai penyakit lainnya merajalela, menebar maut tanpa pandang bulu.

Para dokter Eropa kewalahan, jumlah mereka terlalu sedikit untuk menangani lautan manusia yang sakit. Memanggil dokter dari Eropa pun bukan solusi, biayanya selangit, membebani kas pemerintah kolonial.

Di sinilah benih-benih gagasan untuk mendirikan STOVIA mulai tumbuh. Pemerintah kolonial menyadari perlunya tenaga medis yang murah dan mudah diakses.

Dokter pribumi menjadi jawaban yang paling logis. Mereka dapat dipekerjakan dengan gaji lebih rendah, dan lebih mudah beradaptasi dengan kondisi lokal.

Namun, alasan ekonomi hanyalah satu sisi dari mata uang. Ada faktor lain yang tak kalah penting, yaitu politik etis.

Pada awal abad ke-20, muncul gelombang pemikiran baru di Belanda yang menyerukan perlakuan lebih manusiawi terhadap penduduk jajahan.

Politik etis, yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Conrad Theodor van Deventer, menuntut pemerintah kolonial untuk "membayar hutang budi" kepada rakyat Hindia Belanda.

Pendidikan, irigasi, dan emigrasi menjadi tiga pilar utama politik etis. Pendirian STOVIA menjadi salah satu perwujudan dari pilar pendidikan.

Pemerintah kolonial berharap, dengan memberikan pendidikan kedokteran kepada pribumi, mereka dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda.

Tentu saja, kepentingan Belanda tetap menjadi prioritas utama. STOVIA didesain untuk menghasilkan dokter-dokter pribumi yang terampil, namun tetap berada di bawah kendali pemerintah kolonial.

Para lulusan STOVIA diharapkan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam bidang kesehatan, membantu menjaga stabilitas dan kelancaran jalannya pemerintahan.

STOVIA juga menjadi alat untuk menyebarkan pengaruh budaya dan ideologi Barat. Kurikulum STOVIA didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, dengan sedikit sekali ruang untuk pengetahuan medis tradisional.

Bahasa pengantarnya pun bahasa Belanda, yang secara tidak langsung mendorong proses westernisasi di kalangan pribumi.

Di balik niat awal pemerintah kolonial, STOVIA justru menjadi katalisator kebangkitan nasional Indonesia.

Di dalam gedung STOVIA, para pemuda pribumi dari berbagai daerah bertemu, bertukar pikiran, dan menjalin persahabatan.

Mereka menyadari nasib mereka yang sama sebagai bangsa terjajah, dan mulai memupuk semangat nasionalisme.

STOVIA menjadi tempat lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Soetomo.

Para lulusan STOVIA, yang terdidik dan memiliki akses ke informasi, menjadi pelopor dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Mereka menjadi dokter, jurnalis, penulis, dan pemimpin pergerakan, mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajahan.

STOVIA, yang awalnya dirancang sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan kolonial, justru menjadi senjata makan tuan.

Dari rahim STOVIA, lahirlah generasi penerus bangsa yang cerdas, berwawasan luas, dan memiliki semangat juang yang tinggi.

Mereka menjadi tonggak sejarah, mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.

Pendirian STOVIA adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, STOVIA merupakan representasi dari sistem kolonial yang eksploitatif dan diskriminatif.

Di sisi lain, STOVIA menjadi kawah candradimuka bagi para pemuda pribumi, tempat mereka menempa diri dan mempersiapkan diri untuk merebut kemerdekaan.

Sejarah STOVIA adalah pengingat bagi kita semua. Bahwa penindasan tidak selalu menghasilkan kepatuhan.

Bahwa pendidikan, meskipun diberikan dengan niat terselubung, dapat menjadi pemicu perubahan. Bahwa semangat juang dan persatuan dapat mengalahkan kekuatan kolonialisme.

Sumber:

Buku "Sejarah Nasional Indonesia" karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto

Jurnal "STOVIA dan Kehidupan Sosial Masyarakat di Hindia Belanda"

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait