Isu global warming alias pemanasan global adalah persoalan semua orang di seluruh muka bumi ini. Dalam hal ini, sejatinya Indonesia bisa memberikan sumbangsihnya–lewat jalan arsitektur lokalnya.
Penulis: Axel Natanael untuk Intisari Juli 2015
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dalam pandangan sebagian orang, keunggulan arsitektur lokal Indonesia mungkin hanya terletak pada bentuknya yang eksotis dan indah. Tapi tahukah Anda? Di balik bentuknya yang unik itu, tersimpan jawaban untuk menyelamatkan dunia dari global warming.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan tradisi. Salah satu elemennya sangat terasa ketika kita memandangi kekhasan arsitektur lokal Indonesia. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan arsitektur lokal Indonesia itu?
Tentu tak mudah menjawab pertanyaan ini dalam sebuah kalimat. Karena Indonesia itu begitu majemuk. Keberagaman arsitekturnya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sederhananya, menurut Mohammad Cahyo Novianto, Arsitek Nusantara yang akrab disapa MADcahyo, arsitektur lokal Indonesia merupakan arsitektur yang mengekspresikan kebudayaan Indonesia dan mampu menanggapi lingkungan alam Indonesia.
Baca Juga: Jelaskan Bagaimana Ilmu Sains Digunakan Dalam Pekerjaan Arsitek
Misalnya kawasan Indonesia yang beriklim tropis dan lembab, maka arsitekturnya pun pasti akan disesuaikan dengan kondisi tersebut. Tapi jangan pula berpikir arsitektur lokal itu selalu bersifat otentik dan tidak terpengaruh dunia luar.
Untuk negara kepulauan yang pernah dijajah dan menjadi pusat perdagangan, perubahan pada arsitektur lokal merupakan hal yang lumrah. “Justru menerima pengaruh, berubah, dan beradaptasi adalah keseharian dari arsitektur lokal kita,” ujar MADcahyo.
Arsitektur lokal Indonesia setidaknya punya tiga ciri khas, yakni berakar pada tradisi, terbuka terhadap perubahan, dan bisa beradaptasi terhadap perubahan tersebut.
Menjawab isu global warming
Bicara soal keunggulan, Intisari edisi November 2014 membahas bahwa arsitektur lokal Indonesia memiliki kemampuan yang sangat baik untuk menanggapi gempa. Berkat konstruksinya yang bisa bergoyang, saat terjadi gempa, rumah tradisional akan bergoyang-goyang saja mengikuti irama gempa.
Rahasianya terdapat pada sambungan antar komponen pembentuknya, yakni struktur ikat, knock down, dan hybrid (alias gabungan dari keduanya).
Selain itu, menurut MADcahyo, arsitektur lokal Indonesia juga bersifat sangat ramah lingkungan. Misalnya seperti kayu yang paling sering digunakan sebagai bahan utama untuk membangun rumah tradisional. Bahan ini memenuhi tiga solusi menjaga lingkungan, yakni recycle, reuse, dan reduce.
Misalkan salah satu bagian kayu bangunan itu rusak. Maka bagian itu bisa dilepas dan digantikan dengan kayu yang baru. Sementara bagian yang rusak tadi bisa digunakan untuk hal lain, seperti untuk alat pertanian, alat masak, atau paling buruk jadi kayu bakar. Akibatnya, sampah pun jadi berkurang. Tapi pertanyaannya, apakah semua keunggulan itu bisa tetap terasa jika diterapkan di tengah tren arsitektur masa kini?
Menurut MADcahyo, bicara soal keunggulan arsitektur itu tak bisa dipandang dari fisik arsitektur itu saja. Karena arsitektur lokal itu bisa unggul kalau ia berada di dalam konteksnya.
Konteks pertama ialah cara hidup manusianya. Kalau dulu membangun rumah itu ada siklusnya, dari baru, mengalami tua, lapuk, dan nanti dibangun kembali. Tapi kalau cara hidup manusia sekarang saat membangun rumah, “Sebisa mungkin menggunakan bahan-bahan yang forever young,” begitu MADcahyo menggambarkannya.
Kedua, konteks lingkungannya. Coba bayangkan rumah tradisional dari kayu dibongkar dan dirakit kembali di kawasan perkotaan. Artinya ia dilepaskan dari konteks lingkungannya yang berbeda sama sekali. Tentunya keunggulannya untuk merespon dan menyatu dengan alam tidak ada lagi.
Jadi keunggulan rumah “dulu” dan sekarang itu tidak bisa dibandingkan. Tergantung konteksnya dilihat dari kacamata siapa. Namun, MADcahyo berpendapat bahwa semua keunggulan arsitektur lokal Indonesia mungkin akan bermanfaat di kemudian hari. Karena menurutnya, semua jawaban dari isu global warming itu ada di dalam arsitektur lokal Indonesia. Mulai dari hemat energi, sampai ramah lingkungan.
Baca Juga: Sejarah Taman Sari Yogyakarta: Sebuah Perjalanan Menuju Keindahan dan Kemegahan Masa Lalu
Tugas kita menuliskannya
Hingga saat ini arsitektur lokal Indonesia masih bisa kita jumpai di tanah Nusantara. Sebut saja misalnya seperti di Papua, Toraja, Sumatera, Sulawesi, NTT, dsb.
Namun sayang, keberadaannya memang semakin sedikit. Menurut MADcahyo, memang tidak bisa dihindari kalau suatu peradaban pasti akan punah. Tapi pengetahuan di balik peradaban itu sangat penting untuk diketahui. Mungkin saja pengetahuan itu bisa berguna di masa yang akan datang.
Permasalahannya, pengetahuan tentang arsitektur tradisional tidak seperti ilmu arsitektur masa kini yang sudah tertulis dan banyak dipelajari di bangku pendidikan formal. Selama ini pengetahuan itu hanya diturunkan secara lisan, turun-temurun. Akhirnya ketika masyarakat di suatu daerah telah mengalami perubahan cara hidup, pengetahuan itu akan terkubur.
Itu sebabnya, sebelum arsitektur lokal kita punah semua, cepat-cepatlah kita rekam, tuliskan, dan dokumentasikan. “Tugas kitalah (para arsitek Indonesia) yang menuliskannya,” ujar MADcahyo yang aktif merevitalisasi rumah-rumah tradisional di Indonesia, serta merekamnya dalam bentuk buku, foto, maupun video. Dengan begitu, kita akan semakin sadar, betapa kerennya Indonesia.