Begini Nasib Bumiputra Anggota KNIL Setelah Jepang Menguasai Indonesia

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Tak bisa dipungkiri, banyak Bumiputra yang menjadi anggota KNIL, dinas ketentaraan kolonial Hindia Belanda. Mereka pun jadi buron setelah Jepang datang.
Tak bisa dipungkiri, banyak Bumiputra yang menjadi anggota KNIL, dinas ketentaraan kolonial Hindia Belanda. Mereka pun jadi buron setelah Jepang datang.

Tak bisa dipungkiri, banyak Bumiputra yang menjadi anggota KNIL, dinas ketentaraan kolonial Hindia Belanda. Mereka pun jadi buron setelah Jepang datang.

Penulis: Sukendar, untuk Intisari edisi Agustus 2021

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Dinas ketentaraan kolonial Hindia Belanda, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dan juga Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Koninklijk Marine (KM), sudah sangat terlambat untuk bekerja lebih keras menghalau serangan musuh.

Dalam hitungan minggu, Hindia Belanda pun harus menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang.

Banyak orang Belanda dan Indonesia di KM dan KNIL. Mereka yang Belanda menjadi tawanan dalam jangka waktu lama. Sementara orang Indonesia dengan cepat dibebaskan, namun mereka yang jadi perwira kerap jadi sasaran kecurigaan tentara Jepang.

Tidak sedikit bekas perwira KNIL yang dibebaskan ditangkap lagi setelah 1943 oleh tentara Jepang. Di antara mereka yang menjadi tawanan, tidak sedikit yang meninggal karena siksaan, sakit dan juga eksekusi.

Di barak No. 6

Kapal motor Tjisaroea berlayar lambat dari pelabuhan Cilacap. Tujuan mereka adalah Australia. Kapal ini dikawal oleh kapal perang Exeter dan Houston, yang akhirnya menghilang dari pandangan Tjisaroea. Dua kapal perang itu ditenggelamkan armada laut Jepang. Tjisaroea sendiri sebagai kapal angkut tampak jadi santapan empuk bagi armada Jepang.

“Kira-kira dekat Pulau Bali kapal kami ditembaki oleh kapal perang Jepang dan disuruh berhenti,” aku kelasi kapal selam Belanda Raden Sanjoto pada buku Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan IV, (1991:298). Penumpang Tjisaroea lain, tak lupa kejadian itu.

“Pada pukul tiga atau empat petang yang naas itu, kapal kami dikelilingi oleh sebuah eskadron kapal perang Jepang. Eskadron itu terdiri atas tiga kapal penjelajah berat, mungkin saja dari kelas Asagiri, dan dua kapal perusak,” aku Hadjiwibowo dalam Anak Orang Belajar Hidup Pendewasaan 1924-1942 (2000:193-194). Terlihat semua artileri diarahkan ke Tjisaroea. Tjisaroea yang terdesak akhirnya digiring oleh armada Jepang ke Makassar.

Mereka yang berpangkat rendah dibebaskan setelah beberapa bulan ditawan, sementara yang berpangkat perwira ditahan. Termasuk Hadjiwibowo, taruna laut Akademi Angkatan Laut Surabaya, dan salah seorang rekannya bernama Muhammad Sidik Mulyono. Keduanya ditawan di Kamp Subsistentie Kader Makassar, sebelum dipindah ke Jakarta di kamp bekas tangsi Batalyon Infanteri X, sekitar Hotel Borobudur sekarang.

Di kamp itu, mereka ditahan di barak No. 6.“Penghuninya terdiri atas tawanan perang asli Indonesia, di bawah pimpinan Kapten Thijs Nanlohy dari KNIL, yang dikenal sebagai Cabe Rawit," aku Hadjiwibowo, dalam Anak Orang Belajar Hidup: Dinamika Hidup 1942-1970 (2000:30).

Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische O cieren uit het KNIL 1900 - 1950 (1995:373) menyebut Thijs yang tertangkap pada 13 Maret 1942 berada di kamp tersebut karena mencoba kabur bersama orang-orang Ambon lainnya. Thijs pernah mencoba ke Cilacap sebelum ditawan.

Mengacu padakartu tawanannya, Thijs adalah letnan kelas satu di batalion Infanteri XI, Resimen Pertama Divisi Pertama KNIL. Lahir pada 3 Februari 1906, dia adalah putra dari Hendrik Nanlohy dan Magdalena Wattimury. Istrinya Jeane Amalia Angenetta Niels, yang dinikahi pertengahan 1937, tinggal di Jakarta.

Bagi Jepang, Thijs adalah sosok yang mencurigakan. Karena itulah dia pernah berkali-kali dipindah. Pernah di Penjara Glodok pada Januari hingga Maret 1943, lalu dipindah ke kamp bekas depot infanteri di Bandung.

Dua Mayor Minahasa

Saat Perang Dunia II, Hindia Belanda merekrut banyak pemuda dan mengaktifkan kembali pensiunan-pensiunan militer. Termasuk Mayor Alexander Herman Hermanus Kawilarang yang pada 1942 sudah berusia sekitar 53 tahun. Bahkan putranya, Alex Evert Kawilarang, sudah jadi anggota KNIL, mengikuti jejaknya.

Alex adalahsersan taruna di Akademi Militer Bandung yang cepat-cepat diluluskan sebagai letnan muda untuk segera dikirim ke medan pertempuran. Tak lama berselang, Alex jadi tawanan Jepang.

Setelah lebih dari dua bulan di kamp tawanan, Alex kabur bersama beberapa bekas taruna. Sebelum kabur lebih jauh, Alex pulang dulu ke rumahnya. Ibunya sempat menyuruhnya kembali ke kamp. Ibunya khawatir nanti Jepang akan membunuhnya jika tertangkap setelah kabur.

"Jangan! Jangan kembali! Maksudmu sekarang bagaimana?" gertak sang ayahnya, Kawilarang Senior, berdasar ingatan Alex seperti diakuinya dalam AE Kawilarang: Untung Sang Merah Putih (1988:10) yang disusun oleh Ramadhan KH.

“Mandi dulu, lantas ke Keluarga Suryo di Jalan Lengkong dan besok ke Batavia dengan kereta api,” jawab Alex.

“Bagus,” sahut ayahnya.

Ibu Alex gelisah melihat anaknya dalam bahaya. Setelah mandi Alex pamit pada orangtuanya.

“Selamat, selamat! Kalau ada jalan, beri tahu kami, di mana kamu berada. Selamat!” kata ayahnya yang memberinya sejumlah uang. Setelah ke Jakarta, Alex memisahkan diri dari kawan-kawannya. Alex berpindah-pindah kerja hingga ke Palembang dan Bandar Lampung. Tentu saja dengan identitas palsu.

Ketika ituorang Manado dan Ambon, apalagi bekas anggota KNIL kerap diawasi tentara Jepang. Setelah 1943, mereka kadang dicurigai sebagai potensi mata-mata Sekutu. Di Lampung Alex sempat ditahan, diperiksa dan juga disiksa selama 40 hari. Setelah lolos dari maut, dia berusaha jangan sampai pernah mengaku sebagai bekas KNIL. Berbohong adalah jalan keselamatannya kala itu.

Kawilarang Senior ditangkap Jepang pada 1943, bersama Mayor Benjamin Thomas Walangitang. Keduanya berasal dari Minahasa. Fakta lainnya: keduanya adalah senior Oerip Soemohardjo dalam kedinasan KNIL.

Seperti Kawilarang, putra Walangitang juga sudah berdinas di KNIL. Willem Lucas Walangitang namanya. Berdinas di di bagian udara KNIL.

Maut bagi Junyo Maru

Pertengahan September 1944, Thijs dibawa ke pelabuhan Tanjung Priok dan bertemu anggota KNIL lainnya. Di sana sudah ada kapal angkut Junyo Maru yang disiapkan untuk mereka. Kapal buatan Robert Duncan & Co yang berpusat di Glasgow, Skotlandia, itu juga akan mengangkut 4.200 romusha dan 2.300 tawanan perang seperti Thijs.

Sebelum bernama Junyo Maru, kapal itu bernamaSureway, Hartmore, Hartland Point dan juga Ardgorm.

Di antara 2000-an tawanan perang itu, rupanya ada adik Thijs yaitu Benoni Pedro Anthoni Nanlohy. Benoni, yang bertugas di batalion infanteri II, resimen pertama divis pertama KNIL, juga letnan kelas satu sana.

Kawilarang Senior dan Walangitang juga ada di atas kapal Junyo Maru itu. Tujuan kapal itu adalah ke Padang. Di sana, para tawanan itu akan dikerahkan untuk proyek-proyek infrastruktur pemerintah militer Jepang.

Kapal Junyo Maru berangkat dari Tanjung Priok pada16 September 1944. Di sekitar perairan Bengkulu, ternyata sudah mengintai kapal selam berbendera Inggris, HMS Tradewind. Junyo Maru menghadapi ancaman.

“HMS Tradewind, yang bersembunyi di Samudera Hindia sekitar Pasar Bantal, menyelinap lebih dekat,” tulis H. Hovinga dalam The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe, 1943-1945 (2014:42). Sekitar pukul sembilan, empat torpedo ditembakan ke Junyo Maru. Dua di antaranya mengenai lambung kapal penumpang itu dan Junyo Maru pun terancam tenggelam. Hovinga menyebut, beberapa tawanan mulai mengumandangkan lagu kebangsaan Belanda "Wilhelmus van Nassau", sementara beberapa serdadu Maluku memperdengarkan lagu "Haroekoe Saparoea".

Ternyata, banyak romusha yang tak bisa berenang. Itulah kenapa, ketikakapal tenggelam di sekitar perairan Muko-muko, hanya sebagian tawanan yang selamat. Thijs termasuk golongan yang selamat, sementara Benoni yang berusia 34 tahun, tidak. Kawilarang Senior, Walangitang, dan Mantiri juga dinyatakan hilang. Alex Kawilarang yang berada di Lampung, baru tahu ayahnya meninggal sekitar Agustus 1945.

Melanjutkan hidup

Thijs, dan tawanan lain yang selamat, kemudian mencapai Sumatera. Mereka dikerahkan untuk membangun rel kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung sepanjang 220 km.

Thijs dibebaskan dari Kamp Logas, dekat Pekanbaru sekitar pertengahan Oktober 1945. Dia kemudian melanjutkan hidupnya dengan berdinas kembali di KNIL. Dia diberi kenaikan pangkat sebagai kapten. Rupanya, setelah 1945, Thijs tidak hidup tenang, karena Belanda memutuskan berperang lagi untuk merebut koloninya yang sekarang sudah merdeka: Indonesia.

Terlebih, Thijs termasuk yang terlibat di dalamnya, tentu berada di pihak Belanda.

Setelah revolusi, Thijs naik pangkat lagi menjadi mayor. Pada 1950, dia ditunjuk menjadi salah satu anggota komisi terkait pemindahan bekas anggota KNIL ke Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia dianggap bekerja dengan baik bagi pihak Indonesia.

Setelah KNIL bubar, Thijs memutuskan pindahke Angkatan Darat Belanda, Koninklijk Landmacht atau KL, hingga pensiun dengan pangkat letnan kolonel dan tutup usia pada 1961. Di Belanda, Thijs sangat dihargai atas usaha pelariannya semasa menjadi tawanan perang Jepang. Hadjiwibowo sendiri melanjutkan dinasnya di Angkatan Laut Belanda hingga 1950 dan kuliah di Belanda. Dia kemudian bekerja di Unilever yang kemudian menjadi pimpinan Unilever Indonesia.

Lalu bagaimana nasib Alex Kawilarang? Dia memutuskan kembali ke Jakarta dan bergabung denganRepublik, bahkan sampai menjadi Panglima di Jawa Barat. Alex sendiri dikenal sebagai pendiri pasukan khusus Angkatan Darat, Kopassus.

Sementara itu keluargaWalangitang kemudian ke Negeri Belanda dan hidup susah. Bennie, anak bungsu Walangitang, lalu pindah ke Amerika untuk menjadi sersan di Angkatan Udara Amerika yang dikirim ke Vietnam. Bennie terbunuh pada 22 Agustus 1969 dalam serangan roket.

Artikel Terkait