Datangnya fajar kemerdekaan yang membawa harapan bagi banyak orang, justru membuat beberapa justru tersisish. Kusni Kasdut salah satunya.
Penulis: Tjahjo Widyasmoro, Majalah Intisari Maret 2017
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sebuah mobil jip yang usianya sudah cukup tua, memasuki halaman Museum Nasional atau kala itu dikenal sebagai Museum Pusat. Jip dengan plat nomor kendaraan Surakarta itu kemudian mengambil parkir di sisi selatan museum. Empat orang berseragam polisi turun dari kendaraan dan langsung menuju ke area loket penjualan karcis.
Pagi itu, Jumat, 30 Mei 1963, cuaca cukup cerah. Para pengunjung dari museum yang berada di jantung Ibukota itu, tampak mulai berdatangan. Keempat polisi itu pun ikut bergabung bersama pengunjung untuk mengantre di depan loket karcis.
“Selamat pagi, Pak,” sapa penjaga loket dengan nada hormat kepada para polisi yang menampilkan wajah dingin.
Sebenarnya penjaga loket sedikit heran. Tumben, polisi-polisi ini pagi-pagi sekali sudah tertarik berkunjung ke museum. Namun ia tidak tertarik untuk menyelidiki lebih jauh. Ah, biarlah, batinnya.
Di dalam museum, keempat polisi itu segera melangkah ke ruangan di sayap utara. Sempat beberapa saat mereka mengagumi berbagai model rumah rakyat Nusantara yang terpajang di sana. Tapi itu tak lama. Ketika dirasa tidak ada lagi penjaga yang memperhatikan, dengan tenang mereka keluar dan naik ke lantai atas.
Di lantai 2, Budi dan Sumali segera menguasai situasi dengan mengajak bicara seorang petugas jaga. Mereka banyak bertanya agar petugas menjadi sibuk. Sementara dua yang lain, Kusni dan Herman, langsung menyelinap masuk ke ruangan yang jadi sasaran, yakni Ruang Pusaka.
Betapa kaget dua orang itu karena ternyata ada dua penjaga yang bertugas di dalam Ruang Pusaka. Merasa kepalang tanggung, beserta sedikit kepanikan, saat berhadap-hadapan Kusni mencabut pistol dan menodongkannya.
“Tutup mulut! Kalau tidak ...” Kusni mendorong dua orang itu dan menyerahkannya kepada Herman.
Kini giliran dua petugas museum itu yang terkejut. Aneh sekali, polisi-polisi ini pakai acara ancam mengancam segala, batin mereka. Tak ada pilihan, mereka akhirnya menurut.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Kusni segera mendekati lemari pajangan emas dan berlian. Dengan obengnya yang paling besar, daun pintu lemari pajangan itu dicongkel. Tak sulit. Cukup ditekan kanan kiri beberapa kali, lemari sudah terbuka.
Saat itulah kedua petugas penjaga baru menyadari, mereka berhadapan dengan perampok. Keduanya ingin berteriak, tapi Herman segera mengancam. Sebuah situasi di luar dugaan yang membuat Kusni semakin terburu-buru untuk meraup beberapa bongkah berlian. Tak peduli soal bentuk dan ukurannya. Semua yang ada, dimasukkan ke dalam kantung kaus kaki bekas.
Tak sampai dua menit, Kusni bergegas keluar ruangan. Di pintu, ia sempat memberi kode kepada Budi dan Sumali agar segera mengikutinya. Tadinya kedua orang ini berpura-pura bersikap seperti penjaga yang menahan para pengunjung agar tidak masuk.
Kusni lebih dulu sampai ke mobil dan langsung menghidupkan mesin mobil. Akan tetapi hampir bersamaan itu pula terdengar seperti jeritan seorang pria dari lantai atas. Semoga hanya penjaga, pintanya dalam hati. Dia jadi sedikit panik. Maka begitu Herman, Budi, dan Sumali muncul, mobil langsung tancap gas.
Jip bergerak ke arah utara. Ketika sampai di simpang belakang Istana Merdeka, langsung ambil kanan ke arah Jalan Veteran, terus ke Jalan Perwira, kemudian arah Jalan Siliwangi. Di sanalah mereka berhenti di pinggir jalan yang cukup sepi.
Kini keempat penjahat itu baru bisa menarik napas. Satu per satu diatur, hingga dirasa semakin tenang. “Teriakan apa yang tadi?” nada suara Kusni terdengar gusar.
“Kedua penjaga itu.”
“Diapakan?”
“Ini!” sahut Herman. Ditunjukkannya belati yang masih belepotan bekas darah.
“Habis bagaimana lagi?” Herman langsung membela diri. “Mereka mau lari.” Semua terdiam.
Sesuai rencana yang telah disepakati, empat orang itu segera meninggalkan jip di pinggir jalan. Selanjutnya pelarian menggunakan dua becak, masing-masing memuat dua orang.
Selama perjalanan Kusni sama sekali tidak berbicara. Di tengah jalan, tangannya terlihat agak bergetar ketika membuka kaus kaki di tangannya. Sekilas, tampaklah benda-benda berkilauan di dalamnya. Entah, berapa nilainya. Untuk menaksirnya saja, ia tidak berani.
Merasa tak berayah
Di masa itu memang belum pernah ada peristiwa kriminal yang lebih hebat dari bobolnya Ruang Pusaka Museum Nasional. Maka sah jika media massa menyebutnya sebagai peristiwa perampokan terbesar. Para wartawan berspekulasi, pelakunya adalah orang yang sangat teliti, cerdas, dan berpengalaman.
Dijuluki media sebagai penjahat kelas kakap, Kusni sama sekali tak terusik. Baginya, persoalan terbesar saat itu adalah menjual barang-barang di tangannya. Jelas ini soal yang serius. Sebab beberapa pemilik toko emas yang telah dia hubungi, tak satupun yang menyatakan sanggup membeli.
“Mana sanggup mereka beli. Tujuh puluh juta,” kata Kusni menyebutkan perkiraan nilainya dari pemberitaan radio. Tiga rekannya langsung bengong.
Dalam masa penantian, di tempat persembunyian mereka, angka Rp70 juta malah membuat Kusni susah tidur. Serba salah memang. Dulu di masa-masa penderitaan semasa kecilnya, ia juga sering susah tidur memikirkan nasibnya. Kini ketika ia sudah nyaris kaya, gangguannya sama.
Kusni bin Kasdut, begitu nama yang diketahui orang banyak. Tapi sebenarnya ia punya banyak nama alias tergantung keperluannya saat itu, seperti Hamsah, Sutarto, Waluyo, Dahlan, atau Purwodjianto.
Dia lahir di Desa Jatimulyo, sebelah barat Tulungagung, tapi tanggalnya tidak tercatat. Kastun, ibu kandungnya hanya mengingat, bayinya lahir menjelang akhir 1929.
Kehidupan Kusni memang seperti lazimnya cerita-cerita rakyat jelata yang hidup melewati masa kolonialisme Belanda kemudian pendudukan Tentara Pendudukan Jepang. Irama kehidupan mereka adalah bagaimana bertahan hidup dalam kemiskinan.
Sejak usia sepuluh tahun, Kusni tinggal di Malang, daerah Gang Jangkrik. Bersama ibunya serta Kastur, kakak perempuannya, mereka tinggal di rumah kecil sewaan yang hanya punya satu ruangan. Di sanalah mereka tidur, makan, bercengkrama, sekaligus berjualan sayur-sayuran. Kusni sendiri berjualan rokok di stasiun.
Walau tidak bisa dikatakan pendiam, Kusni ternyata tak banyak melibatkan diri dalam pergaulan. Akan tetapi jika tenaganya dibutuhkan para tetangga, ia tergolong ringan tangan.
Rasa rendah diri itu bisa jadi karena Kusni merasa tak berayah. Kelahirannya sendiri terjadi di tengah pergunjingan tetangga. Pasalnya, Wonomedjo, ayah kandungnya adalah kakak dari suami pertama ibunya yang telah meninggal. Kastun serumah dengan kakak iparnya itu hingga kemudian lahir Kusni.
Meski akhirnya keduanya resmi menikah, tapi tetap ada perasaan tak enak dalam diri Kastun. Perasaan itu pula membuatnya segera minggat setelah Wonomedjo menceraikannya.
Pasukan dari dunia hitam
Jati diri Kusni mulai terukir tatkala ia bersama empat temannya sesama pelajar Sekolah Menengah Teknik Malang, diterima sebagai Heiho. Pasukan bentukan Tentara Pendudukan Jepang itu sengaja dipersiapkan untuk menghadapi ancaman pasukan Sekutu yang mulai mendekat ke Asia Tenggara.
Kusni tergabung di Batalyon Matsumura, sebuah nama pemberian Jepang untuk lapangan terbang di Timur Laut Malang. Menjadi tentara Heiho, membuat Kusni merasa punya arti hidup. Gajinya yang sejumlah Rp35 sudah terasa besar. Sehari-hari ia bisa leluasa merokok dan jajan sesuka hatinya. Ketika pulang ke rumah ibunya, ia bisa membeli sekadar oleh-oleh.
Sayangnya, kebanggaan Kusni itu tidak lama. Begitu Jepang kalah perang, Agustus 1945, Heiho dibubarkan. Bagai anak ayam kehilangan induk, Kusni berkali-kali mencoba bergabung dengan pasukan resmi Badan Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) maupun milisi-milisi yang ada kala itu. Akan tetapi, sekadar untuk mendapat tempat bernaung saja, ternyata tidak mudah.
Jalan hiduplah yang membuat Kusni akhirnya mendapat tempat di Brigade Teratai. Pasukan laskar rakyat bentukan Jenderal Moestopo ini dikenal juga Pasukan Setan. Disebut begitu, lantaran pasukan ini merekrut berbagai elemen rakyat kala itu, terutama mereka yang berasal dari dunia hitam. Jadilah Kusni bergaul dengan copet, bandit, perampok, pelacur, dll.
Jenderal Moestopo sengaja mengorganisasi para kriminal itu dan menggunakannya sebagai pasukan tempur rahasia yang ternyata sangat efektif. Tugasnya antara lain menyusup ke wilayah musuh atau mengumpulkan berbagai barang berharga untuk kepentingan perjuangan.
Salah satu misi yang pernah dijalani Kusni misalnya menyita seluruh perhiasan dari pengusaha keturunan Tionghoa di daerah Gorang Gareng, Madiun. Dari sana memboyong tiga toples emas dan berlian. Ketika itu Kusni sama sekali tidak tergiur untuk memiliki barang-barang berharga itu. Semua diserahkannya penuh untuk perjuangan.
Divonis mati
Salah satu momen bersejarah sesudah adanya Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda pada 1950, adalah reorganisasi dalam tubuh angkatan bersenjata Republik Indonesia (saat itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat - APRIS). APRIS melakukan demobilisasi atau penyeleksian tentara untuk dapat bergabung di dalam strukturnya.
Sebuah kenyataan pahit, ketika para laskar rakyat yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan, ternyata ditolak dalam seleksi. Kusni salah satunya.
Di luar ketentaraan pun, nasib Kusni juga setali tiga uang, lantaran tak kunjung mendapat pekerjaan. Padahal rasa tanggung jawabnya terhadap istrinya, Lilik Sumarahayu, yang telah memberinya dua putra, tak bisa ditepis begitu saja.
Di tengah rasa frustrasinya, di Surabaya Kusni bertemu dengan beberapa teman semasa perjuangan. Persamaan nasiblah yang kemudian membuat mereka nekat melakukan aksi kejahatan penculikan seorang dokter. Aksi berlangsung mulus, dengan nilai tebusan Rp600 ribu.
Sayangnya tidak ada catatan soal aksi kejahatan lain dari kelompok ini. Baru pada 1954, mereka terdengar beraksi di Ibukota. Sasarannya Ali Badjened, saudagar kaya pemilik usaha Marba. Tak kurang dari sebulan Kusni bersama Usman, Hasan, dan Subagyo mencari informasi mengenai pengusaha keturunan Timur Tengah itu. Sampai mereka hapal betul kebiasaan-kebiasaannya.
Penculikan rencananya akan dilakukan saat Ali mengunjungi rumah sahabatnya, Awab, di depan Pasar Boplo.
Namun ternyata, aksi itu tidak berlangsung mulus. Ali berhasil dicegat. Tapi saat Kusni menodongkan pistol dari belakang, korban ternyata melawan. Pistol meletus dan tepat mengenai jantung Ali. Korban meninggal seketika.
Selama beberapa hari, kelompok ini sempat bersembunyi untuk menunggu perkembangan. Tapi rupanya kematian Ali dikait-kaitkan dengan iklim politik saat itu, sehingga pemerintah mengerahkan seluruh sumber daya.
Polisi sampai harus mengerahkan Geng Kobra, pimpinan Syafei, geng preman yang paling ditakuti di Jakarta kala itu. Kusni akhirnya tertangkap di Surabaya dan dijatuhi hukuman mati.
Kusni tetap tenang mendengar vonis itu, bahkan kemudian mengajukan banding. Karena hakim memperhitungkan jasa-jasanya selama masa revolusi, hukuman akhirnya dijadikan seumur hidup.
Di penjara Cipinang, Kusni termasuk napi yang disegani. Ia dianggap memiliki ajian belut yang ahli meloloskan diri. Bisa jadi ajian itu bukan isapan jempol. Pada tahun kelima di penjara, ia berhasil lolos dengan cara menggergaji teralis penjara.
Dalam pelariannya, Kusni tetap berusaha untuk mencari pekerjaan, terutama terkait dengan keahliannya berperang. Ia bahkan sempat masuk ke dalam Tenaga Bantuan Operasional (TBO) untuk TNI di bawah pimpinan Letnan Kolonel Maladi yang sedang menumpas berbagai pemberontakan di Sulawesi Utara.
Di TBO, Kusni berseragam tentara, dipegangi pistol, tapi tidak berpangkat. Beberapa operasi dilakukannya hingga ke pedalaman seperti Kiawa, Airmadidi, dan Tondano. Tapi karena sempat ada persoalan dengan komandan, ia pulang ke Jawa.
Sebenarnya Kusni berminat untuk ikut menjadi sukarelawan dalam pembebasan Irian Barat pada awal 1960-an. Namun setelah tiba saat pendaftaran, ia baru tahu, sukarelawan dari sipil ternyata harus berangkat dengan biaya sendiri. Pupus sudah harapannya untuk mengabdi kepada negaranya.
Di antara hari-hari galaunya, Kusni sempat menelusuri jalan-jalan di Ibukota. Entah apa yang menuntunnya melangkah masuk ke sebuah museum, Museum Nasional.
Awalnya, benda-benda berusia ratusan tahun yang dipajang di tempat itu dilewatkannya begitu saja. Baru saat masuk ke sebuah ruangan bernama Ruang Pusaka, ada semacam kegairahan tersendiri.
Di sana terdapat pedang, keris, cincin, bros, gelang, kalung yang semuanya mengandung emas, berlian, atau permata. Sebuah rencana jahat melintas di pikirannya.
Terjual sebagian
Peristiwa perampokan Museum Nasional bukan hanya memusingkan polisi yang menyelidiki kasus ini. Kusni dan rekan-rekannya juga harus memutar otak untuk menemukan pembeli yang mampu tapi tidak menimbulkan kecurigaan.
Titik terang bagi para penjahat itu muncul lewat seorang penghubung di daerah Rawamangun, bernama Utomo Kamarun. Dengan membawa surat dari Utomo, Kusni menemui Agus Sunarto yang beralamat di Jalan Imam Bonjol, Semarang. Meski awalnya terkejut, Agus yang bekerja sebagai wartawan itu sanggup membantu.
Sekitar seminggu Kusni menunggu kabar tentang penjualan berlian. Rupanya ada kabar baik. Sebagian berlian bisa terjual, tinggal sisa dua bonggol. Hanya saja, pembayarannya baru sebagian yakni Rp3,25 juta. Kusni memutuskan untuk membawa Rp3 juta, sisanya untuk operasional Agus.
Dari segepok uang panas itu, Kusni hanya mengambil Rp1 juta untuk dibelanjakan bersama Sunarti, istri kedua setelah bercerai dengan Lilik. Sunarti tidak pernah bertanya tentang asal uang itu. Kusni memang terbiasa pergi sampai berhari-hari dan pulang membawa sejumlah uang untuk istrinya.
Kusni memang tidak bermaksud menggunakan semua uang. Ia menanti sampai semua barang terjual, baru membagi dengan tiga rekannya yang menanti di Jakarta. Tak lupa Kusni memberi kabar ke ketiga temannya beserta Utomo Kamarun, melalui surat. Sebenarnya Kusni merasa sedikit aneh, karena tak pernah ada balasan.
Selama dua bulan penantian, Kusni rajin mengecek perkembangan ke Agus. Masalahnya, wartawan itu jarang sekali ada di rumah. Hingga suatu kali ketika ia bertamu ke rumah itu, rupanya polisi sudah menyiapkan perangkap. Kusni dibuat tak berkutik dan dibawa ke kantor polisi di Jalan Pemuda. Hari itu, 8 Oktober 1963.
Meski terhitung penjahat kelas kakap, penangkapan Kusni rupanya tidak begitu menghebohkan kantor polisi. Tak ada kesiagaan sama sekali. Maka ketika berlangsung interogasi, Kusni bisa meraih pistol dan granat dari dalam tas yang dibawanya. Kusni mencoba melarikan diri sambil menembak ke arah para polisi yang kocar-kacir.
Dengan sigap, Kusni berusaha kabur. Sayangnya ia tidak tahu situasi kantor itu. Di tengah kekacauan itu ia bahkan sempat menembak Soetono, anggota polisi yang sedang bekerja di mejanya dan tidak bersenjata. Polisi berpangkat brigadir itu meninggal beberapa jam kemudian.
Kusni sempat keluar dari kantor polisi. Namun beberapa orang polisi yang dibantu masyarakat berhasil meringkusnya. Hasilnya, pahanya tertembak dan dua buah giginya tanggal akibat sepakan seorang tentara yang kebetulan lewat.
Meski sudah terpojok, sangat sulit bagi polisi untuk menembus pengakuan Kusni soal keberadaan berlian hasil kejahatannya. Semua baru terkuak ketika Sunarti tak kunjung mendapat kabar tentang suaminya. Padahal saat itu ia tengah mengandung.
Saat kebingungan itulah Sunarti memberanikan diri untuk membuka koper yang ditinggalkan Kusni di sudut kamar. Jantungnya hampir copot karena di dalamnya tersimpan uang Rp2 juta beserta dua bonggol berlian.
Sunarti membawa koper itu pulang ke rumah keluarganya di Sidoarjo. Kontan seisi kampung menjadi heboh. Dari sanalah polisi Surabaya langsung bergerak. Meski tidak tahu menahu, hukum ternyata tak pandang bulu. Sunarti dikenai hukuman dua tahun, sementara salah seorang saudaranya yang ikut membantu membuka koper kena setahun penjara.
Delapan kali kabur
Aksi perampokan di Museum Nasional sekaligus menjadi akhir perjalanan kejahatan Kusni Kasdut. Namun rupanya tidak begitu dengan upaya pelariannya dari penjara. Selama berurusan dengan hukum, setidaknya delapan kali Kusni berusaha kabur dari penjara atau tahanan polisi. Lima di antaranya berhasil, sementara sisanya hanya menghasilkan luka-luka dan cacat di tubuhnya.
Bisa jadi karena usianya yang sudah memasuki 40, membuat Kusni mulai banyak berpikir tentang kehidupannya. Perbaikan sistem pembinaan terhadap para narapidana di lembaga pemasyarakatan (LP) juga mendorong Kusni untuk berubah.
Dia mulai menekuni kegemarannya membuat kerajinan tangan. Atas bantuan Yayasan Dismas, selama di LP ia memperoleh alat-alat pertukangan. Kusni sendiri takjub, alat-alat semacam itu dipercayakan kepadanya yang dikenal memiliki “ajian belut” alias ahli dalam meloloskan diri.
Akan tetapi rupanya ia tidak ingin mengecewakan banyak orang. Berbagai hiasan dihasilkannya dengan memanfaatkan barang-barang bekas di sekitar LP.
Dari pemberitaan media, nama Kusni semakin melegenda. Bahkan media membesar-besarkan sosoknya menjadi mirip Robin Hood, karena disebut-sebut sering membagikan hasil rampokannya untuk orang miskin. Padahal tidak ada buktinya. Di dalam LP, ia juga menyatakan diri telah bertobat dan dibaptis menjadi Katolik. Namanya menjadi Ignatius Waluyo.
Namun semua fakta itu tidak bisa membebaskannya dari serangkaian hukuman yang harus dijalani. Yakni hukuman seumur hidup untuk pembunuhan Ali Badjened, hukuman mati untuk pembunuhan Brigadir Polisi Soetono, lima setengah tahun untuk penculikan dokter, dan dua belas tahun untuk perampokan museum.
Selama di Cipinang, Kusni menjadi penghuni di Blok 2E. Ia bahkan menjadi pemuka, dan dipercaya oleh para narapidana untuk memimpin. Ia mengupayakan perbaikan atas perlakuan terhadap narapidana dan lingkungan LP.
Kesibukannya dalam membuat beraneka barang kerajinan semakin membuat Kusni tenang. Salah satu karyanya saat ini masih terpasang di Museum Katedral Jakarta.
Meski sudah berupaya dengan berbagai cara, pada 10 November 1979, permohonan grasinya tetap ditolak Presiden Soeharto. Keputusan itu diterima Kusni di LP Kalisosok, Surabaya. Dua bulan sebelumnya ia memang sempat kabur lagi untuk kedelapan kalinya dari LP Lowokwaru, Malang.
Kabarnya ia dipindah dari LP Cipinang ke Malang lantaran berkonflik dengan petugas. Eksekusi hukuman mati Kusni Kasdut dilaksanakan Rabu, 6 Februari 1980, pukul 04.35 WIB.
Sekitar 17 kendaraan mengantarkan perjalanan terakhirnya menuju tempat eksekusi, di tengah area tambak tradisional daerah Gresik. Usai berdoa bersama Romo Tandyo Sukmono, rohaniwan yang sepanjang malam terus mendampinginya, ia menyatakan telah siap.
Tuhan, selesai sudah. (Sumber: Kusni Kasdut oleh Parakitri T. Simbolon/Kliping MBM Tempo)