Rabu (11/9) ada kabar menghebohkan di media massa tentang hilangnya beberapa benda koleksi yang terbuat dari emas di Museum Nasional atau Museum Gajah. Seperti apa sebenarnya benda-benda emas dari museum terbesar di Indonesia, bahkan konon di Asia Tenggara itu? Berikut catatan wartawan Intisari saat berkunjung ke sana.
Begitu masuk ke ruangan pertama di Ruang Khasanah Emas, pandangan kita pastilah akan langsung tersita pada sebuah mangkuk di sebuah kotak kaca dan disoroti lampu. Mangkuk berlekuk enam dengan ukuran panjang 28,8 cm, lebar 14,4 cm, serta tinggi 9,3 cm ini; tampak begitu menyita perhatian lantaran kilauan emasnya yang begitu indah. Inilah Mangkuk Ramayana, salah satu benda yang menjadi masterpiece di ruangan itu.
Mangkuk ini terasa istimewa karena pada sisi-sisinya tergambarkan relief dari cerita Ramayana, yakni masa pembuangan Rama, Shinta, dan Laksmana hingga penculikan Shinta oleh Rahwana. Kisah epik itu dibuat dengan teknik tempa dari sisi dalam (repousse). Ukiran-ukirannya yang begitu halus, menunjukkan bahwa pembuatannya memerlukan cita rasa seni serta tingkat ketelitian yang tinggi. Saya sampai tidak berani untuk menaksir berapa nilainya.
Jika kita mengayunkan langkah lagi, benda-benda berkilau lainnya seolah sudah menunggu untuk minta dikagumi. Jenisnya ada berbagai macam, tapi kebanyakan berfungsi sebagai perhiasan. Antara lain seperti gelang bahu, gelang tangan, anting-anting, hiasan dada, hiasan pinggang, dan kalung. Meski ada juga beberapa benda perlengkapan upacara seperti wadah jimat, tasbih, atau bagian-bagian dari senjata keris. Beberapa benda lain yang bentuknya seperti ikat pinggang serta tali-tali kecil, disebutkan tidak diketahui fungsinya.
Kekaguman saya semakin menjadi-jadi, manakala mengetahui bahwa semua benda di ruangan pertama ini berasal dari satu sumber, yakni situs Wonoboyo, di Jawa Tengah. Meski ada beberapa benda yang ditemukan di situs Muteran (Jawa Timur) tapi Wonoboyo tetap dianggap sebagai penemuan paling spektakuler.
Alkisah, 17 Oktober 1990, beberapa petani di Dusun Plosokuning, Desa Wonoboyo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sedang menggarap lahan sawah milik Cipto Suwarno. Bersama enam orang tetangganya: Witalakon, Hadisihono, Widodo, Suhadi, Surip, dan Sumarno; mereka bermaksud merendahkan permukaan sawah, agar bisa dialiri air.
Saat penggalian mencapai kedalaman sekitar 2,75 m, cangkul Witalakon membentur benda keras. Awalnya dikira batu, tapi setelah digali lebih berhati-hati, ternyata sebuah guci Cina dari masa Dinasti Tang (618-907 M). Ada empat guci berwarna olive-green dan sebuah kotak bundar besar dari perunggu. Semua orang terbelalak manakala di dalam guci itu ditemukan benda-benda yang setelah dibersihkan memancarkan warna kuning dan berkilauan. Semuanya emas!
Dari situs Wonoboyo berhasil diangkat tidak kurang dari 35 kg emas termasuk 6.396 keping uang emas “piloncito” dan 600 keping mata uang perak. Para ahli memperkirakan barang-barang ini berhubungan erat dengan sejarah Candi Prambanan. Selain karena letaknya yang hanya tiga kilometer dari kompleks candi, ada kesamaan antara ukiran pada mangkuk Ramayana dengan sejumlah relief di candi. Lava dari letusan dahsyat Gunung Merapi, sekitar awal abad ke-10 telah menguburnya.
Kini temuan dari Wonoboyo seluruhnya aman tersimpan di Museum Nasional, namun replikanya juga ada di Museum Prambanan. Sedangkan wadah-wadah penyimpan berupa guci dan kotak perunggu ada di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) di Yogyakarta. Pemilik asli benda-benda ini hingga kini tidak diketahui, tapi penemuan ini tercatat sebagai salah satu penemuan arkeologi terbesar di Indonesia.