Rabu (11/9) ada kabar menghebohkan di media massa tentang hilangnya beberapa benda koleksi yang terbuat dari emas di Museum Nasional atau Museum Gajah. Seperti apa sebenarnya benda-benda emas dari museum terbesar di Indonesia, bahkan konon di Asia Tenggara itu? Berikut catatan wartawan Intisari saat berkunjung ke sana.
Ada setumpuk harta tak ternilai yang tersimpan di jantung ibukota, berupa benda-benda yang mengandung emas. Persisnya tersimpan di Museum Nasional yang juga sering disebut masyarakat Jakarta sebagai Museum Gajah. Kalau sekarang harga emas di pasaran sekitar Rp500 ribuan per gram, tak terbayangkan berapa nilai koleksi di museum ini. Lebih tak ternilai lagi, tentu nilai kesejarahannya.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti ribuan koleksi lain di museum ini, tapi kali ini izinkan saya untuk langsung naik menuju ke lantai empat di Gedung Arca, karena di sanalah cerita kita ini harus berawal. Bangunan modern yang merupakan perluasan dari gedung museum yang lama itu, untuk naik ke tiga lantai pertamanya, kita masih bisa berlenggang kangkung lewat eskalator. Tapi untuk sampai ke lantai empat, tak ada pilihan selain naik lift.
Pengunjung pasti bertanya-tanya, mengapa harus naik lif? Ah, tentunya perlakuan khusus itu pastilah untuk alasan keamanan. Karena begitu keluar dari lift, kita langsung bisa merasakan upaya pengamanan dari pihak museum yang cukup maksimal. Pengunjung dilarang memotret. Pintu ruangan yang disebut Ruang Khasanah Emas itu juga terbuat dari besi setebal 5,5 cm. Kamera-kamera CCTV ikut memantau gerak-gerik pengunjung.
Ruang Khasanah Emas yang hening, sejuk oleh karena hembusan pendingin udara, serta bercahaya temaram itu, memang hanya bagian kecil dari Museum Nasional yang total luasnya mencapai 68.000 m2. Museum terbesar di Asia Tenggara ini menyimpan sekitar 142 ribu koleksi, di mana sekitar 7.000 buah berupa koleksi emas. Tapi dari keseluruhan koleksi, hanya 30 persen saja yang dipamerkan.
Kita pantas kagum karena hampir seluruh koleksi (sekitar 95%) yang dipamerkan adalah benda autentik alias benda aslinya. “Replika hanya dibuat jika tidak ada benda aslinya di museum atau sudah tidak layak untuk dipajang, seperti Arca Prajnaparamita atau Arca Ganesha,” jelas Oting.
Kalau saja ada yang perlu kita khawatirkan, tentu menyangkut pengamanan benda-benda berharga itu yang sepintas tampak amat minim. Sejauh ini penjagaan hanya mengandalkan petugas pengamanan (yang sering tidak ada di tempat) serta pantauan dari kamera CCTV di beberapa sudut ruangan.
Padahal setidaknya museum ini pernah beberapa kali menjadi sasaran pencuri seperti kasus pencurian koleksi emas oleh Kusni Kasdut (1961), pencurian koleksi uang logam (1979), pencurian koleksi keramik (1987) dan pencurian lukisan (1996). Dan yang terbaru, pencurian emas di tahun 2013 ini.