Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini
___
Intisari-online.com - Di bawah langit senja yang kelabu, Gajah Mada melangkah gontai menyusuri lorong-lorong sunyi Madhapura, istana megah Majapahit yang pernah menjadi saksi bisu kejayaannya.
Kini, istana itu hanya dihuni gema masa lampau, kenangan akan ambisi besarnya untuk menyatukan Nusantara di bawah panji Majapahit.
Sumpah Palapanya yang menggelegar telah mengantarkan kerajaan pada era keemasan, membentang dari Sabang sampai Merauke.
Namun, di balik kejayaannya yang gemilang, tersimpan luka mendalam di hati sang Mahapatih.
Gajah Mada harus menelan pil pahit perpecahan internal di Majapahit. Faksi-faksi politik saling berebut pengaruh, dan Gajah Mada terjebak dalam pusaran intrik dan pengkhianatan.
Kesetiaannya kepada Hayam Wuruk, sang Raja Majapahit, mulai diragukan!
Kesepian menyelimuti Gajah Mada di hari-harinya. Para punggawa muda yang dulu mengaguminya, kini mulai menjauhinya. Mereka lebih tertarik dengan intrik politik dan kekuasaan, daripada kesetiaan dan pengabdian.
Gajah Mada merasa terasing, bagaikan fosil hidup di era yang telah berubah.
Suatu malam, Gajah Mada terbangun dari tidurnya. Rasa sakit yang menusuk di dadanya membuatnya terengah-engah. Ia tahu, ajalnya semakin dekat.
Peristiwa Perang Bubat menjadi titik balik tragis dalam perjalanan hidup Gajah Mada.
Cita-citanya untuk mempersatukan Nusantara di bawah panji Majapahit, tercoreng oleh tragedi pernikahan Hayam Wuruk, sang Raja Majapahit, dengan Dyah Pitaloka, putri Sunda. Perang Bubat yang berkecamuk, menelan korban jiwa tak terhitung, dan meninggalkan luka mendalam bagi Gajah Mada.
Baca Juga: Benz Victoria Mobil Legendaris Milik Sultan Pakubuwono X
Di mata banyak orang, Gajah Mada dianggap sebagai dalang di balik kegagalan pernikahan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Amarah dan dendam menyelimuti istana, dan Gajah Mada menjadi target utama. Pasukan Majapahit mengepung rumahnya, menuntut pertanggungjawaban atas tragedi yang terjadi.
Namun, Gajah Mada tak gentar. Dengan gagah berani, ia memilih bersemedi, memohon keselamatan kepada Wisnu, sang dewa pelindungnya. Dan dalam sekejap mata, Gajah Mada moksa, menghilang ke alam gaib, meninggalkan rasa kehilangan dan kebingungan bagi semua orang.
Mahapatih Gajah Mada, sang penakluk Nusantara yang melegenda, telah moksa, meninggalkan luka mendalam di hati rakyatnya. Kematiannya menandai akhir dari era keemasan Majapahit, dan membungkus kisah tragis tentang cinta, pengkhianatan, dan ambisi yang berdarah-darah.
Kematian Gajah Mada tak hanya menandai akhir dari seorang pahlawan, tetapi juga awal dari masa-masa kelam bagi Majapahit. Tanpa kepemimpinan Gajah Mada yang visioner dan tegas, kerajaan mulai dilanda perpecahan dan perebutan kekuasaan.
Di sisi lain, Ken Bebed, istri Gajah Mada yang setia, tak mampu menanggung derita. Ia memilih mengikuti jejak sang suami, moksa dengan cara menusuk diri dengan keris pusakanya.
Kematian Ken Bebed menjadi simbol cinta sejati dan pengabdiannya kepada Gajah Mada, memperkuat tragedi yang melanda Majapahit.
Gajah Mada pergi meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu semangat juang dan pengabdiannya yang tak kenal lelah. Namun, di balik kejayaannya, ia juga meninggalkan kisah tragis tentang seorang pemimpin yang terasing dan tersesat dalam pusaran politik dan ambisi.
Kematian Gajah Mada menjadi pengingat bagi kita semua bahwa puncak kejayaan tak selamanya abadi.
Tanpa persatuan, kesatuan, dan kepemimpinan yang bijaksana, kejayaan yang diraih dengan susah payah dapat runtuh dalam sekejap mata.
Gajah Mada telah pergi, namun kisahnya akan terus hidup, menginspirasi generasi penerus untuk membangun bangsa yang lebih kuat dan bersatu.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan artikel terbaru kami di sini
___