Di era Oerip dan pasukannya latihan di Sunter, Jakarta belum sepadat saat ini. Peta Batavia en Omstreken terbitan Topographische Inrichting Batavia 1914 memperlihatkan daerah yang disebut kota masih meliputi, Jakarta Kota, Kecamatan Gambir, Salemba hingga Jatinegara saja.
Kawasan elite Menteng kala itu masih dibangun. Di luar daerah itu hanya ada kampung-kampung yang dihuni orang Indonesia yang terpinggirkan dan juga persawahan. Setelah era 1930-an, daerah yang disebut kota pun juga tidak banyak berubah.
Peta Batavia Military Guide Map 1945 memperlihatkan Jakarta masih dikepung banyak kampung dan sawah-sawah. Di era-era ini Menteng sudah menjadi perumahan elite. Di selatan Menteng hanya ada kampung-kampung. Begitu juga di selatan daerah Jatinegara.
Setengah abad setelah Letnan Oerip berlatih bersama anak buahnya di Sunter, daerah Sunter bahkan masih sepi juga. Pemerintah di era 1960-an juga tak hendak menjadikan Sunter sebagai daerah ramai.
Buku Pelita I Jakarta Utara, 1 April 1969-31 Maret 1974 (1974) menyebut Semper, Cilincing, Tugu, Kelapa Gading. Pegangsaan, Sunter dan Petukangan hendak dijadikan daerah pertanian. Perannya bukan tidak penting tapi sebagai penyangga ibukota dengan pangan.
Bukan sebagai hunian seperti sekarang. Sunter setelah 1970-an menjadi hunian setelah pada 1973, ketika perusahaan milik Thong Sit Lim alias Anton Haliman (1926-1999) membangun kawasan perumahan Sunter Agung Podomoro.
Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016:242) mencatat Ciputra pernah ditawari Liem Sioe Liong untuk menggarap daerah itu sebagai hunian yang dilengkapi pusat perbelanjaan dan pendidikan, namun Ciputra menolaknya dan memilih Pondok Indah, di selatan Jakarta.
Setelah Sunter, daerah Kelapa Gading digarap sebagai perumahan setelah 1970-an. Kelapa Gading, seperti dicatat Arifin Pasaribu dalam Hotel Indonesia: Gagasan Bung Karno, Cagar Budaya Bangsa, Dibangun dengan Dana Perampasan Perang Jepang (2014:161) menyebut bahwa hingga tahun 1974 daerah Kelapa Gading masih berupa rawa-rawa dan resapan air.
Wajah Kelapa Gading mulai berubah tahun 1975, ketika Summarecon Agung yang dipimpin Liong Sie Tjien alias Soetjipto Nagaria menjadikannya proyek Real Estate yang kemudian terkenal ramai. "Saya merasa tahun 1974 inilah permintaan rumah para ekspatriat ini mencapai masa keemasannya," aku Soetjipto Nagaria, seperti dikutip Hermawan Kertajaya dkk dalam Creating land of golden opportunity (2005:8).
Di sisi barat Jakarta, beberapa pengembang juga merubah rawa-rawa menjadi perumahan yang tidak bisa dibeli kebanyakan orang di Jakarta. Kini di daerah itu muncul perumahan mewah Pantai Indah Kapuk (PIK). Selain PIK, daerah Cengkareng dan Kalideres juga berubah.
Perusahaan pengembang milik Ciputra membangun perumahan Citra Garden. Kehadiran bandara Soekarno-Hatta (Soetta) sejak 1985 ikut meramaikan kawasan itu. Perumahan-perumahan terus bermunculan di daerah Cengkareng dan Kalideres itu.
Semakin ke barat, yang secara administratif tidak dalam wilayah DKI Jakarta lagi, seperti Serpong dan Bintaro bahkan ikut menjadi ramai.
Di selatan Jakarta, tak hanya daerah Pondok Indah saja yang berkembang menjadi perumahan yang bonafid. Di daerah Kebayoran muncul pusat keramaian bernama Blok M setelah era 1980-an. Setelah Blok M daerah Kemang dan sekitarnya menjadi ramai. Tak hanya daerah yang termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta Selatan saja yang ramai, daerah yang termasuk Depok dan Tangerang Selatan juga menjadi ramai.
Para pekerja Jakarta adalah orang-orang yang memilih tinggal di luar wilayah DKI Jakarta, demi mendapatkan hunian nyaman dengan harga miring, sesuatu yang tidak bisa didapat lagi di Jakarta.
Banyaknya pekerja Jakarta yang tinggal di luar DKI Jakarta menjadi penyebab kemacetan di Jakarta pada jam pulang dan pergi kerja. Setelah tahun 2000 menjadi sulit menemukan daerah dengan reputasi sebagai tempat jin buang anak di dalam provinsi DKI Jakarta.
Daerah perbatasan ibukota dengan provinsi lain saja sudah cukup ramai saat ini. Ramainya daerah perbatasan provinsi DKI Jakarta dengan Banten dan Jawa Barat itu, tentu ada kaitannya sentralisasi orde baru yang membuat Jakarta dianggap pusat segala-galanya.
Bahkan di antara pemilik rumah di Jakarta bukan golongan orang yang dianggap sebagai penduduk dengan KTP Jakarta. Orang kaya dari daerah bahkan kerap menempatkan asetnya di DKI Jakarta.
Begitulah riwayat dan perubahan Jakarta dari sebuah kota dagang menjadi kota modern seperti sekarang ini.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR