Sebuah "orkes mini" (biasanya satu bipla, satu atau dua gitar, selo, kadang-kadang juga tambur) memperdengarkan lagu-lagu mars atau irama lain dengan bersemangat di depan gedung.
Mereka berusaha menarik perhatian khalayak. Para penonton bergerombol di sana-sini; melihat-lihat still photos yang terpampang di balik kaca pada dinding, mengamat-amati poster, antri di loket atau bersandar pada pilar gedung sambil ngobrol dan mengunyah palamanis, kwaci atau yang dinamakan kacang arab.
Anak-anak tanggung penjaja makanan berseliweran di antara orang banyak itu sambil menawarkan barang-barang dagangan mereka dengan suara lantang. Teriakan "Palamanis! Palamanis!', "Kwaci! Kwaci!" dan "Kacang Arab!" seakan-akan hendak menyaingi lagu-lagu orkes mini, percakapan calon-calon penonton dan hiruk pikuk kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan raya depan gedung.
Akan halnya kacang Arab, makanan yang populer pada masa itu, kini tidak pernah terlihat ada yang memperdagangkannya lagi. Kacang ini berwarna kekuningg-kuningan, agak lebih besar daripada biji lada putih dan dijual sudah tergoreng kering (tanpa minyak).
Rasanya lezat dan renyah. Dengan uang satu sen kita mendapat satu contong kecil. Satu contong besar berharga sebenggol, cukup banyak untuk dinikmati bersama beberapa teman tanpa ada yang merasa kekurangan.
Lumayan juga untuk 'goyang janggut' sambil menantikan pertunjukan dimulai.
Lain dulu lain sekarang
Sama halnya dengan kebiasaan sekarang, tempo doeloe pun ada dua kali pertunjukan malam: jam 7.30 dan jam 9.00 (istilah sekarang jam 19.30 dan 21.00). Pertunjukan matine di hari-hari Minggu dan raya, pagi atau siang belum dikenal masa itu. Apalagi pertunjukan tengah malam atau midnight show.
Sementara itu, berbeda dengan keadaan sekarang, tempo doeloe tempat duduk bagi penonton-penonton wanita dan pria dipisahkan sebuah lorong yang membelah sepanjang tengah-tengah bangsal dari depan ke belakang. Papan penunjuk dengan tulisan "perempuan" di bagian kiri bangsal menunjukkan bahwa kursi-kursi di situ untuk wanita.
Di sebelah kanan ada papan pemberitahuan bahwa kursi-kursi di sana untuk para penonton "lelaki". Hal itu mungkin berdasarkan pertimbangan sopan santun yang berlaku di zaman itu. Aturan pemisahan itu tidak dipatuhi dengan ketat. Biasanya mereka yang membawa istri duduk bersama di bagian "perempuan" atau bagian "lelaki", tanpa ada yang menghiraukan, melarang atau memrotes.
Maklum, mereka tidak mau duduk terpisah, karena bisa berabe kalau nanti pertunjukan bubar dan penonton berjubelan keluar. Hal lain yang berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan bioskop sekarang adalah bahwa tempo doeloe tidak ada peraturan "untuk 13 tahun (atau 17 tahun) ke atas".
Akibatnya banyak anak-anak kecil ikut orangtuanya menonton. Bahkan kadang kala bayi-bayi yang menyusu bukan merupakan pemandangan aneh.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR